Rabu 26 Aug 2015 14:00 WIB

KPK Tetap Tindak Kebijakan

Red:
KPK
Foto: i-net
KPK

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, kesalahan administrasi yang dilakukan penyelenggara negara tetap bisa diseret ke ranah pidana. Jika ditemukan kerugian negara dari kesalahan administrasi yang terjadi, penyelenggara negara tetap bisa dikenai pasal pidana.

"Apa iya kalau jelas kerugian negaranya bisa diabaikan begitu saja?" kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandhu Praja, kemarin. Hal tersebut ia sampaikan terkait pemintaan Presiden Joko Widodo agar penegak hukum tak menindak pidana pejabat negara berdasarkan kebijakan yang mereka buat.

Adnan mengatakan, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tetap bisa diterapkan kepada siapa pun. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memberi perlindungan pada kebijakan pejabat, menurut dia, tidak bersinggungan dengan UU Tipikor.

Ia menegaskan, setiap kebijakan, baik disebabkan kesalahan administrasi atau apa pun, jika mengakibatkan kerugian keuangan negara merupakan suatu tindak pidana. "Selama ini pemahamannya seperti itu," ujar dia.

Hanya saja, menurut Adnan, persoalannya adalah besaran kerugian negara yang bisa ditoleransi yang dimungkinkan oleh UU. Sejauh ini, dalam UU Tipikor diatur bahwa KPK bisa menindak pidana yang merugikan negara minimal Rp 1 miliar.

Sebelumnya, pemerintah memberikan jaminan tak akan memidanakan kepala daerah hanya karena kesalahan administrasi dalam penggunaan anggaran. Hal ini dilakukan demi mendorong penyerapan anggaran sehingga pertumbuhan ekonomi tumbuh cepat.

Menurut Jokowi, kebijakan yang dikeluarkan hanya bisa dipidana bila digunakan memperkaya diri sendiri atau orang lain. Artinya, kerugian negara yang tak masuk ke kantong pelaku bisa tak ditindak pidana.

Pimpinan KPK, Polri, dan kejaksaan melakukan pertemuan di Pekanbaru, Riau, kemarin. Salah satu yang mereka perbincangkan adalah soal permintaan Presiden tersebut.

Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki selepas pertemuan meminta kepala daerah yang berniat menyukseskan pembangunan tidak perlu takut dikriminalkan. Menurut dia, KPK bisa mendeteksi mana kepala daerah yang sudah punya niat buruk melakukan penyimpangan. "Kebijakan yang dikriminalisasi adalah apabila sudah ada niat buruk. Begitu itu terdeteksi, kami akan sadap (kepala daerah) karena sudah dibilang jangan menyimpang. Jadi, jangan takut," katanya mengingatkan.

Menurut Ruki, alasan bahwa penyerapan anggaran tersendat karena kepala daerah takut dikriminalkan tak tepat. Sebab, anggaran dari pemerintah pusat sebelum ditransfer ke daerah sudah merunut pada perancangan APBD.

Artinya, belanja modal dan kegiatan dalam perencanaannya sudah jelas. "Uangnya sudah ada dan tinggal lakukan, lalu kenapa mesti takut dan ragu," katanya. Ia menegaskan, gebrakan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi adalah untuk mengawal proses pembangunan berjalan sesuai aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan kerugian negara.

Ruki tak menyangkal bahwa diskresi kebijakan kepala daerah diperlukan dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya perbaikan kerusakan infrastruktur penting secara mendadak atau peristiwa bencana. Namun, kebijakan-kebijakan itu juga mesti bisa dipertanggungjawabkan dan tak didasari niat buruk.

Jaksa Agung M Prasetyo juga mengatakan, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi harus bisa dipertanggungjawabkan secara terukur dan menghindari kriminalisasi. "Yang benar, pemimpin daerah tak perlu takut asal tak bersalah. Yang takut itu yang (punya) salah," katanya.

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menambahkan, permintaan Presiden Joko Widodo yang meminta penegakan hukum jangan sampai menghambat penyerapan anggaran pembangunan, bukan serta-merta membuat institusinya mengendurkan pengawasan. "Kalau ada aliran dana (pembangunan) ke rekening dia (kepala daerah), ya kita harus proses tak bisa didiamkan," ujar Badrodin menegaskan. n antara ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement