Rabu 19 Aug 2015 14:00 WIB

Benahi Penerbangan Perintis

Red:
Petugas menunjukkan foto udara lokasi kecelakaan pesawat Trigana Air di Kantor Basarnas, Jakarta, Selasa (18/8).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Petugas menunjukkan foto udara lokasi kecelakaan pesawat Trigana Air di Kantor Basarnas, Jakarta, Selasa (18/8).

JAKARTA -- Kecelakaan pesawat Trigana Air PK-YRN dengan nomor penerbangan IL 257 di Pegunungan Bintang, Papua, dipastikan menewaskan seluruh penumpang. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, kecelakaan itu akan dijadikan bahan evaluasi untuk pembenahan penerbangan perintis, terutama di Tanah Papua.

Menurut Luhut, perlu ada pemeriksaan mengenai prosedur penerbangan, terutama dalam penerbangan-penerbangan perintis. Pemeriksaan ini termasuk sistem instrument landing system (ILS) dan pemeriksaan pesawat.

Luhut mengakui, kondisi peralatan navigasi pesawat di daerah-daerah terpencil dan di penerbangan-penerbangan perintis memang masih minim. Terlebih jika melihat kondisi cuaca di suatu lokasi yang cepat sekali berubah, seperti di daerah Pegunungan Bintang, Papua.

Untuk itu, diperlukan pembenahan dalam sistem penerbangan perintis, terutama ILS. Dalam dunia penerbangan, ILS ini merupakan sebuah sistem pendekatan instrumen darat yang memberikan panduan pada pesawat yang akan mendekati landasan. ''Perlu penelitian ulang mengenai pesawat, prosedur, dan sistem instrument landing system (ILS),'' ujar Luhut, di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (18/8).

Luhut pun mengakui, berdasarkan pengalamannya mengunjungi Papua, dia menilai sejumlah alat-alat untuk bisa membantu pesawat memang masih minim. ''Kalau kabut, alat-alat di bawah untuk memandu pesawat kita memang masih sangat minim, terutama di penerbangan-penerbangan perintis,'' lanjut mantan menteri perindustrian dan perdagangan tersebut.

Pesawat Trigana Air IL 267 rute Jayapura-Oksibil dilaporkan hilang kontak pada Ahad (16/8). Pesawat tersebut membawa 5 orang kru, 44 orang penumpang dewasa, 2 orang anak-anak, dan 3 bayi.

Pesawat lepas landas dari Bandara Sentani, Jayapura, pada pukul 14.22 WIT. Kemudian pada pukul 15.00 WIT, menara Bandara Oksibil, Pegunungan Bintang, berusaha melakukan kontak dengan Trigana, tetapi tidak ada jawaban.

Tim SAR Gabungan mendeteksi serpihan pesawat tersebut di Distrik Okbape, Pegunungan Bintang, sekitar 12 kilometer arah utara dari Bandara Oksibil. Lokasi tersebut telah dikonfirmasi sebagai tempat jatuhnya pesawat kemarin.

Menurut Kepala Basarnas Marsekal Madya FHB Soelistyo, kotak hitam penerbangan tersebut juga telah ditemukan. Tak ada korban selamat dari penerbangan tersebut. Setidaknya, 38 jenazah telah ditemukan.

Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, kondisi geografis dan cuaca yang kurang baik serta minimnya infrastruktur navigasi di Papua menjadi salah satu penyebab kecelakaan tersebut. "Minimnya infrastruktur navigasi memaksa penerbangan berdasarkan penglihatan visual (VFR/visual flight rule)," kata Alvin, kemarin.

Padahal, kondisi geografis di Papua dikelilingi pegunungan sehingga setiap pesawat sering mengalami kesulitan dalam proses pendaratan atau tinggal landas. Kemudian, cuaca yang cepat berubah juga salah satu faktor tidak kondusifnya penerbangan di Papua.

Terlebih fasilitas meteorologi di Papua yang sangat minim sehingga penerbang tidak bisa mengetahui kondisi cuaca di sepanjang rute penerbangannya. "Perubahan cuaca, seperti pembentukan awan, kabut tebal, atau hujan, sangat menghambat daya pandang. Akhirnya, meningkatkan risiko penerbangan," ujarnya menjelaskan.

Karena itu, sambungnya, pemerintah wajib meningkatkan infrastruktur navigasi, seperti VOR dan panduan untuk pendaratan (approach guide). Dengan begitu, pesawat-pesawat di Papua dapat memanfaatkan intstrumen navigasi untuk instrument flight rule (IFR) yang lebih andal dan akurat.

Alvin menambahkan, bandara di Papua juga belum didukung dengan fasilitas meteorologi sehingga sangat terbatas kemampuannya untuk mengukur indikator cuaca secara akurat dan tidak mampu melakukan prakiraan/forecast cuaca. "Pemerintah wajib memperbaiki kedua infrastruktur tersebut untuk mencegah berulangnya kecelakaan penerbangan di Papua yang sudah terlalu sering," ujarnya. n c07 ed: fitriyan zamzami

Kecelakaan di Wilayah Perintis

5 Mei 2006: Pesawat Twin Otter milik Trigana Air jatuh di Ilaga, Puncak Jaya, Papua.

Penyebab Kecelakaan: Menabrak gunung.

Korban: 9 penumpang dan 3 kru tewas.

2 Agustus 2009:

Pesawat Merpati Nusantara Airlines jenis Twin Otter jatuh di Abmisibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Penyebab: Cuaca buruk.

Korban: 12 penumpang dan 3 kru tewas.

7 Mei 2011:

Pesawat Merpati Nusantara Airlines MA60 jatuh di perairan dekat Bandara Utarom, Kaimana, Papua Barat.

Penyebab Kecelakaan: Miskomunikasi pilot dan awak pesawat.

Korban: 21 penumpang dan 6 kru tewas.

9 September 2011:

Pesawat Caravan Susi Air jatuh di Distrik Pasema Kabupaten Yahukimo, Papua.

Penyebab Kecelakaan: Cuaca buruk.

Korban: Pilot dan kopilot tewas.

23 November 2011:

Pesawat Susi Air jenis Caravan jatuh di Bandara Sugapa, Intan Jaya, Papua.

Penyebab Kecelakaan: Mengindari anak-anak di landasan.

Korban: Pilot tewas

 

22 September 2011:

Pesawat Yayasan Jasa Aviasi Indonesia jenis Pilatus PC-6 jatuh di kawasan pegunungan Paspalei, Yalimo, Papua.

Penyebab Kecelakaan: Menabrak gunung.

Korban: Pilot dan dua warga tewas.

8 April 2012

Pesawat Trigana PK-YRF menabrak bangunan di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua.

Penyebab Kecelakaan: Ditembaki kelompok sipil bersenjata.

Korban: Satu penumpang tewas.

Sumber: Pusat Data Republika

Kecelakaan Pesawat per Pulau (2007-2012)

Papua: 25 kecelakaan

Jawa: 20 kecelakaan

Sumatra: 12 kecelakaan

Kalimantan: 12 kecelakaan

Maluku: 12 kecelakaan

Sumber: KNKT

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement