Rabu 19 Aug 2015 14:00 WIB

Para Pekerja yang Masih Dianggap 'Membantu' (Bagian 1)

Red:

Pekerja rumah tangga (PRT) sering disebut dengan istilah "pembantu". Padahal, dari segi waktu, upah, dan ketentuan kerja, status mereka lebih dari para pekerja pada umumnya. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki aturan khusus terkait PRT. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT sejak 2004 tak kunjung rampung. Wartawan Republika, Andi Mohammad Ikhbal, melakukan liputan mendalam untuk mengetahui persoalan seputar perlindungan PRT ini. Berikut tulisan pertama dari tiga tulisan.

"Tok ... tok...," suara ketukan pintu. Samar-samar, jarum jam dinding terlihat di angka sebelas. Sudah nyaris larut malam. "Marokah, bangun dulu sebentar," kata seorang perempuan di balik papan kayu tersebut. Panggilan itu pelan, tapi mengagetkan. "Iya, Bu," sontak ia menjawab.

Mata Marokah (25 tahun) masih terasa berat. Namun, ia paksa tubuhnya bergerak. Seketika ia beranjak dari tempat tidur. Sambil sempoyongan berjalan, ia membuka pintu kamar. Wanita itu sudah menunggunya. "Ade minta bikinin susu, kamu buatin dulu yah," perintah dia.

Marokah hanya membalas dengan anggukan. Dia langsung melangkah ke dapur. Wajahnya tertunduk. Tangannya masih mengucek-ngucek mata. Ia membatin, menetapkan hati bahwa seperti ini risiko seorang "pembantu". Meski tak jarang, ia menggerutu habis-habisan atas profesinya.

Bukan sekali atau dua kali, ia terjaga tengah malam untuk mengurus anak majikannya yang masih balita. Entah sekadar minta dibuatkan susu, menyiapkan makan, hingga mengasuhnya jika menangis. Padahal, sebelum azan Subuh berkumandang, Marokah harus bangun menyiapkan sarapan.

"Saya ndak punya jam istirahat," keluh perempuan ini dengan logat Jawa.

Untungnya, ia masih memperoleh hak upah sesuai dari mereka. Setidaknya, Marokah mengantongi Rp 2 juta per bulan selama bekerja sebagai PRT. Sejauh ini, belum ada kata 'telat' bayar untuk gaji buruh rumahan ini. Itulah alasan ia masih betah bekerja di Depok, Jawa Barat, hampir satu tahun.

Sejak 2009, ia keluar dari kampung halamannya di Semarang, Jawa Tengah, menuju Jakarta sebagai PRT. Marokah sudah empat kali berganti majikan. Alasannya selalu sama, yakni masalah waktu dan beban kerja. Hanya satu kali, ia punya masalah terkait pembayaran gaji.

"Itu waktu di Pasar Minggu, majikan pernah tunda-tunda bayar gaji," ungkap Marokah.

Saat ia menagih gaji ke majikannya, mereka hanya berkata "nanti". Bosan dengan alasan itu, setelah gajinya dibayar, Marokah keluar dari rumah. Ia berpindah tempat ke Tebet, Tangerang, hingga sekarang di kawasan Depok. Pekerjaannya sebagai PRT tak pernah memberi kenyamanan.

"Sekarang sih gaji udah enak. Cuman beban kerja dengan upah segitu tetap saja kurang," kata dia.

Marokah mengenang masalah lain selama menjadi PRT. Mulai dari Tebet, Tangerang, dan Pasar Minggu, ia tak pernah terima uang lebih dari Rp 900 ribu. Padahal, beban kerja berat, nyaris tak punya kesempatan menghela napas. Ada yang tak seimbang antara upah per bulan dan waktu istirahat.

Sama halnya dengan Marokah, seorang PRT asal Yogyakarta, Murtini (34), juga pernah merasakan lelahnya bekerja dengan majikan di Ibu Kota. Pertama kali ia menjadi PRT pada 1997 di kawasan Rawamangun. Dia mendapat tawaran dari agen PRT dengan iming-iming gaji Rp 100 ribu.

Nyatanya, upah dia hanya Rp 50 ribu. Belum lagi perlakuan majikan seperti tak membolehkannya keluar rumah, tidur di kamar sekaligus gudang, kerja dari pagi sampai tengah malam, bahkan pekerjaan laki-laki, seperti mencuci mobil, ia lakoni demi nominal pas-pasan.

"Udah gitu, saya nggak pernah bisa izin pulang. Kalau sakit, baru bisa pulang," ungkap Murti.

Hanya tujuh bulan ia bertahan di Jakarta. Merasa tak betah dengan perlakuan itu, ia balik ke kampung halaman. Di sana, Murti kembali sebagai PRT, tapi merasa cocok dengan kultur kerja masyarakat Yogyakarta. Makanya, ia sanggup bekerja dalam kurun waktu lama dengan majikan yang sama.

"Sekarang saya bekerja dengan sistem kontrak," kata dia.

Murti merupakan contoh PRT ideal. Ia tergabung dalam Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY). Berbekal pengalaman di Jakarta, Murti tak ingin kembali ke siklus melelahkan seorang 'pembantu'. Ia selalu mengantungi surat perjanjian tertulis sebagai kontrak kerja.

Dalam surat tersebut, ia meminta jaminan upah sesuai standar PRT daerah, memiliki jaminan sosial, serta BPJS. Selain itu, tercantum juga berapa lama jam kerja Murti, fasilitas akomodasi di rumah majikan harus layak, dan ia berhak memperoleh jatah libur per pekan serta cuti.

Orang yang menjabat sebagai Wakil Ketua KOY ini juga masih sempat mengurus organisasinya. Ia mengambil waktu pada malam hari bila ada rapat atau pertemuan dengan para PRT sebab batas waktu kerjanya hanya sampai sore hari. Pun hari libur, biasanya ia ambil pada Ahad.

Menurut Murti, sebagian besar majikan masih mau menerima kondisi ini. Ada sebuah LSM dengan nama Rumpun Tjoet Nyak Dien, kerap memediasi hubungan kerja antara PRT dan majikan. Para PRT juga sering kali mendatangi yayasan tersebut untuk meminta bantuan atas hak-hak mereka.

"Jadi, kalau ada PRT yang menolak dengan kesepakatan kerja dengan majikan, mereka meminta bantuan mediasi Rumpun Tjoet Nyak Dien," ujar Murti.

Sayangnya, tak banyak PRT yang sadar atas pemenuhan hak tersebut. Mereka masih menyimpan rasa takut kalau nanti majikan enggan memperkerjakan mereka dengan tuntutan semacam itu. Padahal, kenyataannya tak demikian. Mereka justru dianggap lebih profesional.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida Noor menjelaskan, memang butuh regulasi untuk mengatur hal ini, setidaknya tercantum adanya surat perjanjian kerja. Kira-kira apa saja hak PRT dan kewajiban mereka. Begitu juga komitmen majikan yang mempekerjakan mereka.

Kota-kota besar sekarang ini, semisal Jakarta, hubungan PRT dan majikan bukan hanya sekadar relasi sosial, melainkan relasi ekonomi. Berbeda dengan sejumlah daerah tertentu, masih mempertahankan kekerabatan. "Kondisi itu biasanya di desa-desa," kata Ida.

Mempekerjakan PRT dengan relasi sosial sebagian malah tak membayar gaji bulanan. Ada ajakan kepada tetangga, kerabat, hingga saudara membantu urusan rumah tangga dengan jaminan mendapat fasilitas tempat tinggal, makan, hingga biaya pendidikan sekolah.

Hal semacam ini, menurut Ida, hanya terjadi di daerah. Sedangkan, di kota cenderung bersifat rasional. Artinya, majikan merekrut PRT yang bukan orang terdekatnya sehingga perlu perubahan pola pikir. Dari relasi sosial ke relasi ekonomi. Mereka bukan sekadar membantu, melainkan bekerja.

"Syaratnya, PRT harus punya kompetensi dan kualifikasi khusus. Jangan lagi PRT yang tidak bisa apa-apa, lalu berapa hari tinggal dengan majikan langsung tidak betah," ujar dia

Sebenarnya, banyak majikan yang belum sadar kalau keberadaan PRT itu memiliki pengaruh ekonomi. Untuk keluarga karier yang memiliki anak, mau tidak mau harus membayar sewa jasa penitipan anak sampai jutaan rupiah per hari. Padahal, jika mempekerjakan PRT, tak harus seperti itu.

Ia memperjelas maksudnya, bukan berarti PRT bisa dibebankan pekerjaan banyak tanpa upah sesuai. Sebagai seorang majikan, Ida mendukung kalau PRT punya standar gaji. Bukan berarti mengikuti gaji buruh formal, tetapi ada minimum upah tersendiri. RUU tersebut menjadi landasan aturannya.

"RUU memang membahas secara umum, namun keluar lagi peraturan di daerah, itu yang harus disesuaikan," katanya menambahkan.

Setelah ada regulasi resminya, kesepakatan antara PRT dan majikan tetap harus ada. Bagaimana penetapan hari libur, jatah cuti, jam kerja, serta jaminan sosial mereka. Mereka harus duduk bersama membicarakan hal tersebut. Kondisi semacam ini tak bisa disamaratakan.

"Kita punya berbagai macam majikan. Ada yang rumahnya besar, kecil, punya anak, tidak punya anak. Semua itu harus ada pembicaraan awal dengan majikan. Seperti apa kesepakatannya," kata dia.

Pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Totok Daryanto punya pendapat berbeda. Ia mengatakan, lebih baik urusan PRT ini tak perlu aturan. Biarkan berjalan dengan sistem seperti sekarang ini, tetapi harus ada imbauan agar para majikan memperlakukan PRT secara manuasiawi.

Sebab, kalau harus mengaturnya, bagaimana mengklasifikasikan PRT relasi ekonomi dan relasi sosial. Menurut dia, tak boleh ada perbedaan antara kedua jenis PRT tersebut selama mereka punya urusan terkait rumah tangga. RUU diajukan itu, kata dia, masih rancu kajian akademisnya.

"Kalau PRT dianggap sebagai hubungan kerja, lalu berlaku juga untuk PRT relasi kerabat, maka akan ada masalah," ujar Totok.n ed : subroto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement