Rabu 29 Jul 2015 14:06 WIB

Hukum Harus Jalan, tidak Balas-membalas

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sekelompok massa dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) menyerang umat Islam saat sedang melaksanakan shalat Id, di halaman Koramil Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7) lalu. Akibat penyerangan tersebut, sebuah masjid terbakar. Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan pejabat tinggi negara yang langsung merespons insiden yang mencederai toleransi beragama di Indonesia tersebut. Berikut wawancara Republika dengan Jusuf Kalla, di kantornya, Senin (27/7).

Bisa ceritakan soal Tolikara?

Insiden Tolikara itu saya kira begini. Ada rekamannya nggak di situ? Yang Tolikara (JK bertanya kepada Husain Abdullah, media officer JK. Setelah menerima transkrip dari Husein, JK pun menyerahkan berkas tersebut kepada Republika--Red).

Ya, kalau yang ini sudah kami terima. Sudah dimuat juga.

Nah, itu pertanyaan dari wartawan yang mengetahui.... Ya begini, saat itu saya sedang jabat tangan di sini terima tamu, lalu dibisiki ajudan. "Pak, ada peristiwa." Sambil dibisiki dari belakang. "Ada apa?" "Ada penyerbuan di Papua." "Coba cek sama Kapolda ada apa?" Kemudian saya dapat SMS dari Hery Sucipto (salah satu penulis buku JK—Red). Dia SMS saya, forward SMS begitu datang setengah jam datang jawaban dari polisi. "Pak, ini peristiwa penyerangan karena memprotes suara yang kencang melalui speaker."

Nah, begitu selesai acara mau Jumatan, biasa wartawan kumpul. Wartawan ada yang tanya, "Pak, apa benar menurut Kapolda bahwa ini soal speaker?" "Ya, mungkin begitu." Jadi, Anda punya teman-teman semua minta saya mengonfirmasi ke Kapolda. Kebetulan Kapolda sudah lapor. Oh ya, saya dengar begitu kemungkinannya. Tapi, saya bilang ini harus ditegakkan hukum saja. Ini kan masalah hukum. Sudah biasa. Dan, ini ada wawancara Kapolda. Kalau Anda baca, jelas semua itu.

Bupati dan Kapolda mengatakan itu karena memprotes, semuanya diprotes. Itu takbirannya subuhan. Biasalah. Kita begitu subuh kan takbir. Di situ ada dua acara di sana, satunya seminar. Kira-kira jaraknya 10 meter. Itu kan kayak kecamatan kalau di sini. Kampung Tolikara itu, penduduknya 10 ribu orang. Saya tahulah, saya sudah surat-menyurat. Nah, jadi kita tahulah kejadiannya, protes. Tapi, besok saya dikirimi lagi surat (GIDI) itu. Aneh surat ini.

Jadi, hari itu juga saya telepon Kapolri. Karena, saya sendiri di sini kan? Presiden sedang di Aceh. Saya katakan, "Pak Kapolri, ambil tindakan tegas, jangan dibiarin. Waktu itu dapat surat lagi, saya telepon lagi. "Pak Kapolri, tolong teliti siapa (yang membuat) asal surat ini, aneh surat ini. Tapi, sementara itu saya telepon, saya bilang begini, kalau ada orang paling emosi, saya yang paling emosi. Kenapa? Pertama, ini saya sebagai wapres ini kan rakyat mengamuk satu sama lain ini kan harus tegas. Kedua, sebagai ketua umum Dewan Masjid Indonesia ini masjid terbakar, bukan saya katakan dibakar, tapi terbakar. Boleh dibakar, boleh terbakar.

Saya kan orang Bugis, 90 persen korban ini orang Bugis. Mereka yang dagang di sana di Papua kan orang Bugis semua di pasar. Ya, saya telepon ketuanya, "Ada apa kalian di situ?” Pertanyaan saya dua hal. "Tahun lalu, Lebaran nggak?" "Oh, Lebaran." "Di mana?" "Di situ juga, Pak." Nha, artinya Lebaran tak terhalang dan tiap tahun Lebaran. Sudah berpuluh tahun Lebaran di situ. Kemudian saya tanya, "Itu kau punya mushala ada izinnya tidak?" "Ada, Pak. Resmi." Luasnya mushala itu 4x6 meter. Saya tidak tahu saya tidak pernah liat kan. Jadi, kehidupan agama itu sebenarnya berjalan lancar selama ini.

Kenapa tiba-tiba ada insiden?

Kenapa ini kejadian? Karena, dua peristiwa bersamaan di sini di tempat yang sama, yang salah satunya menganggap terganggu sehingga menyerang. Jadi, insiden Tolikara ini terjadi karena berlebihan, salah lah pasti yang menyerang. Tapi saya ingin katakan, semua agama ada kelompok kecilnya yang radikal. Islam ada, Kristen ada, Hindu ada, Buddha ada. Memang di Papua ini mereka (GIDI—Red) yang puritan, eksklusif. Tapi, yang lebih eksklusif ke sesama Kristen. Kenapa? Ya, sama dengan kita. Islam juga begitu toh? Kelompok kita di sini marah nggak ke Kristiani? Tidak kan? Marah nggak ke Buddha? Tidak kan? Marahnya ke Syiah dan Ahmadiyah. Jadi, suatu peristiwa memang melanggar hukum, harus ditegakkan. Saya bilang harus ditegakkan hukum, tidak boleh tidak. Itu peristiwa bukan hal yang menurut saya tiap tahun terjadi. Buktinya orang-orang Bugis itu Lebaran tiap tahun, ada masjidnya, ada ustaznya. Jadi, tidak seperti surat itu. Mungkin aja surat itu ada, tapi tidak diberlakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak memberlakukan. Buktinya yang kau dengar tidak boleh Lebaran, tidak boleh berjilbab, tapi Anda lihat di televisi sendiri kan? Perempuan-perempuan itu tetap pakai jilbab, Tolikara itu waktu peluk-pelukan, ya tidak apa-apa. Ya, sama saja kelompok radikal kita bikin edaran macam-macam tidak boleh, tidak boleh. Kan ada juga.

Polisi sudah memastikan bahwa surat itu palsu?

Tidak palsu. Menurut saya, tidak benar. Ada, tapi sama saja seperti edaran orang meminta ini, meminta itu. Tapi, kan pemerintah tidak menganggapnya itu harus ditaati. Buktinya tetap ada mushala, tetap ada Idul Fitri, tetap ada jilbab. Kan tidak dilarang. Ya, sama saja orang kita tidak ini, tidak ini. Kalau pemerintahnya mengiyakan, itu baru salah. Itu emang salah, tapi artinya itu tidak mengikat kan? Jadi, ini suatu kejadian, masalah, harus dihukum. Pemerintah sangat tegas menghadapinya.

Buktinya pakai tembakan. Ada 12 yang kena, tapi HAM-nya itu karena melanggar apa? HAM itu harus sesuai hukum. Jadi, yang menyerbu itu yang melanggar HAM duluan karena ingin melarang orang sana. Saya nggak tahu diperiksa atau tidak diperiksanya, tapi saya lihat fotonya. Semua mengatakan itu pecahan peluru yang naik ke atas, bukan langsung karena ditembak ke depan supaya tidak maju kan?

Ditembak ke bawah, rata-rata kan ke bawah juga.

Cuma kalau Anda lihat foto di sana, di sana kan tidak ada aspal, jalan batu-batu. Kan di gunung. Jadi, mungkin kena batu peluru naik lagi. Kalau aspal atau di tanah beda. Ini batu-batu. Ini saya lihat fotonya, saya tidak pernah ke sana. Tapi, yang pasti pemerintah sudah tegas sekali.

Kalau nggak tegas, nanti kayak Ambon, kayak Poso lagi, Pak.

Nah. Kenapa? Orang-orang nanya kok Bapak tidak tegas? Memangnya Anda menunggu saya mengatakan, "Saudara-saudara, ada umat kita yang diserang, ayo balas, bakar gereja juga". Memangnya ada kalimat begitu, saya? Kalau saya ngomong begitu, seluruh Indonesia terbakar. Pengalaman kita menghadapi yang begini dua macam. Kalau terjadi tindakan kekerasan dari mayoritas ke minoritas agama setempat, itu pasti selesai di daerah itu. Tidak akan berbalas karena minoritas akan diam, tapi dibalas di daerah mayoritas yang lain.

Karena itu, begitu besoknya saya ketemu Presiden di Solo, saya katakan, "Pak, hati-hati di Jawa Tengah dan di Makassar. Ini bisa terjadi lagi nanti di dua tempat ini." Presiden katakan, "Ya, ya, ya .... Langsung telepon Kapolri, Kapolda. Bilang ke Pak Kapolda Jateng, hati-hati malam ini. Khususnya malam ini dan besok dan jelaskan bahwa ini insiden." Saya ke Makassar, kumpulkan lagi kapolda-kapolda, jaga yang pasti. Benar kan walaupun kecil, bom molotov itu ada di Jawa Tengah, Purworejo, dan Makassar. Makassar tidak meletus, itu ada di belakang gereja. Persis perkiraan saya, Jawa Tengah dan Makassar. Karena di situlah daerah yang paling keras.

Kemudian datang menteri ke Papua. Orang Papua bilang, "Pak, kenapa pemerintah terlalu panik kirim Kapolri, kirim Panglima, kirim Kapolda. Kan tidak ada apa-apa di Tolikara". Memang saya bilang tidak apa-apa. tapi kalau pemerintah tidak tegas cepat, meledaknya di Solo, meledaknya di Makassar.

Saya bilang, nanti terbalas lagi di Kupang. Perang itu selalu terjadi di daerah yang 50:50 penduduknya. Kenapa terjadi perang itu di Ambon dan di Poso karena penduduknya 50:50. Kalao di Makassar, Solo, Papua, Kupang, tidak ada perang, hanya kekerasan. Perangnya di daerah yang seimbang. Nah, ini kalau mau melebar, perangnya di daerah yang seimbang agamanya. Sudah saya hentikan. Silakan saja bapak mau macam-macam.

Pernah tidak melihat puluhan mayat karena perang agama? Saya berkali-kali berada di daerah itu, di Poso di Ambon, berkelimpangan mayat di depan kita. Mau begitu, bangsa ini kalau kita mau ribut terus? Tapi hukum harus jalan, saya bilang, tidak balas-membalas. Begitulah masalah Tolikara.

Kalau perda itu bagaimana, Pak?

Perda itu ada, tapi belum resmi. Walaupun diminta buktinya, mereka tidak bisa lihat. Saya tidak tahu ada, nggak.

Jadi, masih disimpan perdanya?

Ya, saya tidak tahu di mana, tapi saya tanya Kapolda ada nggak  perda itu.

Tapi, kenapa masjidnya dibangun tidak di tempat itu. Akhirnya, dibangun di tanah milik Koramil?

Saya tidak tahu. Tapi, mungkin karena kecil sekali, masjid itu 4x6 meter. Mungkin ingin dibangun di tanah yang lebih luas.

Katanya nggak boleh, Pak? Akhirnya dikasih di Koramil.

Ya, begini. Sama waktu (JK memutus percakapan dan bergegas mengambil bukunya yang berjudul Harmoni dan Damai dalam Perbedaan--Red). Ini pidato saya di depan 700 pendeta tentang harmoni yang diterbitkan Hery Sucipto. Waktu mereka protes tentang Gereja Yasmin di Bogor, saya bilang begini bahwa Tuhan itu menerima doa kita, sembahyang kita di manapun, tidak tergantung di Jalan Yasmin itu. Di manapun Dia terima doa kita. Kedua, toleransi itu kedua belah pihak. Toleransi kita dan toleransi Anda. Yang kedua, hak asasi itu adalah beribadahnya. Ada di Undang-Undang Dasar pasal 28, semua orang berhak menjalankan ibadah sesuai agamanya. Sedangkan, membangun rumah ibadah itu urusan wali kota, bukan urusan Tuhan. Sama dengan hak asasi orang mendapatkan pendidikan. Tapi, tidak berarti sembarang jalan bisa bikin sekolah, kan tidak. Sama juga dengan hak asasi orang mendapatkan pekerjaan, tapi tidak di manapun boleh bikin pasar. Hak asasi orang untuk beribadah iya, tapi tidak berarti semua membangun masjid dan gereja di manapun yang kita mau. Tidak. Jadi, urusan wali kota itu rumah bangunan. Kalau wali kota tidak izin, ya kita harus turut. Kenapa pada ngotot saya bilang. Itu 700 pendeta lho. Saya bilang di depan mereka, "Saudara-saudara, Anda ini memprotes suatu gereja kecil, tapi Anda tidak pernah berterima kasih bahwa gereja terbesar di Asia ada di Kemayoran. Kenapa Anda tidak berterima kasih, kenapa Anda bilang ke seluruh dunia bahwa kita hendak halangi membangun gereja? Saya tidak ngomong itu di kalangan Islam, saya ngomong itu di kalangan pendeta. Anda boleh baca nanti. Kalau soal itu, soal harmoni itu, saya panggil wali kota, kau bertahan di situ saya bilang. Jangan kasih izin. Kan ini (putusan) Mahkamah Agung. Iya, di atas hukum ada rasa keamanan, ada ketertiban, dan ada keadilan di atas hukum. Kalau dikasih izin, terjadilah ketidakamanan di sini, mana yang lebih suka? Sama juga yang di sana (Papua). Wali kota juga mengatakan jangan di sini, ya harus taat. Ini urusan bangunan, bukan urusan ibadah yang tidak boleh. Beda, misalnya, kalau dibilang, "Hei, tidak boleh kau shalat, ya. Wah, itu melanggar hak asasi. Kalau Anda jangan bikin bangunan di sini, di sini, ya itu hak wali kota. Itu pengertiannya. Satu soal ibadah, satu soal bangunan. Itu kira-kira.

Banyak orang bertanya-tanya juga banyaknya bendera sama lambang Israel.

Saya tidak tahu, saya tidak jawab itu. Saya coba lihat fotonya. Kabarnya GIDI itu punya hubungan dengan organisasi keagamaan di Israel. Mungkin hanya ingin memperlihatkan kami ini juga simpatisan Anda. Mungkin. Itulah mungkin dikatakan ada pengaruh dari luar. Itu ya tergantung temuan nantilah. Kita tidak bisa berandai-andai. Bahwa itu ada, iya. Dia ngaku sendiri ada tamu dari Israel.

Tapi, kan bisa menjadi indikasi bahwa sepertinya kurang terurus di Tolikara. Bendera negara orang lebih banyak daripada bendera negaranya sendiri.

Ya, mungkin itu mereka tidak mengerti bahwa itu bendera orang. Emangnya pasti mengerti bahwa itu lambang Israel? Banyak juga orang mengatakan, oh ini kan kapoldanya kristen, kan namanya Yotce. Saya cek, itu ternyata kapolda orang Gorontalo. Dari namanya saya pikir bukan Islam. Tapi, Islam itu. kapolresnya juga Islam itu, Suroso. Ikut shalat dia dan mengatakan itu memang yang diprotes awalnya speaker. Jadi, saya kutip mereka. Wartawan nanya, saya kutip ulang.

Tidak ada unsur politik dalam kerusuhan itu?

Saya kira nggak. Politik apa di situ? Kalau mau bikin, jangan di Tolikara, bikin di Bandung, Bogor.

Bisa saja tekanan soal otsus atau apa begitu?

Nggak. Saya kira nggak. Kalau menurut saya, ini emosional ingin memperlihatkan bahwa kita (GIDI) ini besar di sini. Hari biasanya tidak apa-apa. Tiap Jumat, ya shalat Jumat.

Kemarin, dari GIDI itu diundang ke Presiden, ke istana. Kalau kita cermati pernyataan-pernyataan pimpinannya kenapa terjadi rusuh, dan Bapak tadi menyebut mereka ini puritan, ini kan jadi semacam endorsement. Seolah-olah negara memberikan tempat terhadap kelompok yang keras.

Saya tidak ikut di situ, tapi ya Presiden tentu ingin persoalan ini selesai. GIDI kan resmi terdaftar. Artinya, secara hubungan tetap jalan, hukum jalan juga. Presiden perintahkan jalankan hukum. Periksa, siapa yang salah, masukkan ke pengadilan.

Apakah akan berhenti pada dua nama yang kini sudah menjadi tersangka?

Saya tidak tahu. Saya tanya, biasanya begitu. Kan diambil dari video. Saya tanya siapa itu, diambil dari video. Biasa kan kalau sedang ada ramai-ramai, ada polisi yang merekam peristiwa pakai kamera. Baru itu tahu dari mana (provokasinya—Red).

Dia yang kasih komando?

Iya. Saya tanya, itu dasarnya apa? Itu yang diambil dari video. Jadi, kan awalnya kita tidak tahu berasal dari mana perintahnya. Ya, periksa dulu yang ada bukti nyata.

Orang mendengar bahwa Pak JK itu semacam menyalahkah penggunaan speaker atas kejadian itu. Mungkin mereka gak menerima itu.

Saya tidak soal. Saya bilang, kalau marah-marah tidak apa-apa. Tapi, saya mesti punya hak jawab untuk menyampaikan supaya orang tidak salah paham. Apalagi, tetap ada hal yang sama berturut-turut. Jadi, saya suruh kirim penjelasannya. NU sendiri bilang bahwa itu haram mengaji keras-keras dengan kaset. Bukan saya bilang, itu penjelasan NU. Saya minta maaf, saya orang mengatur agama, tapi kita bukan kiai untuk menjelaskan itu. Tapi, sebelum itu juga banyak (protes) saya tidak peduli. Itu biasa saja orang kritik, saya tidak berurusanlah. Saya dibilangin, "Bapak di medsos ada kritikan, ah biar saja, lebih baik marah sama saya daripada dia marah-marah terus suruh serbu gereja, biar saja.

Saya kira begitu. Saya ketawa saja, ah biar saja, masih baguslah kalau dia marah sama saya. Tidak ada soal. Toh, nanti saya jelasin saya bilang, toh itu juga klarifikasi untuk Kapolda bukan saya bilang bahwa itu gara-gara speaker. Mana saya tahu, saya tidak lihat kok. Tapi, resmi penjelasannya begitu kok. Oh iya, kemungkinan begitu. Wah, tiba-tiba kenapa dibilang Pak JK itu.

Ya, persepsi orang kan begini, Pak. Dari berita itu memang seolah-olah menimbulkan tafsir bahwa speaker itu penyebabnya. Jadi, umat Islam salah lagi, sudah jadi korban salah pula. Nah, sementara dalam benak orang kan biasanya kalau rusuh itu tidak seketika, terencana. Apalagi, mengumpulkan orang sebanyak itu.

Saya jelaskan di situ, kan ada dua peristiwa. Alasannya speaker, penjelasannya Kapolri (yang dimaksud JK adalah Kapolda—Red) alasannya memprotes speaker. Ya, kita mungkin faktanya bagaimana, itu fakta saja memang begitu.

Mungkin banyak orang yang nggak terima dengan fakta itu, Pak.

Ya, bagaimana? Jujur kan, kita kan ingin apa yang terjadi sebenarnya. Itulah sebenarnya kan? Masak kita bohong bahwa dia sejak dulu akan merencanakan menjalani itu. Wartawannya saja sudah tahu duluan daripada saya, hanya ingin konfirmasi ke saya dan penyelesaian saya apa. Ya, kemungkinan-kemungkinan begitu. Pokoknya biasa sajalah. Saya tidak persoalkan marah-marah, yang saya persoalkan kenapa berturut-turut memuat dengan besar-besar seperti itu. Diulang-ulang lagi. Dessy Saputri ed: Eh Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement