Senin 01 Jun 2015 13:00 WIB

Dorong Pemenuhan Hak Anak

Red:
Mahaka Kids
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Mahaka Kids

Konvensi International Women Democratic Federation yang digelar di Moskow pada 1949 telah menetapkan 1 Juni sebagai Hari Anak Internasional. Sudah lebih dari enam dasawarsa Hari Anak Internasional ini diperingati.

Namun, berbagai persoalan yang menyangkut kelangsungan hidup anak-anak, mulai dari hak hidup, pendidikan, dan kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah setiap negara di dunia, khususnya Indonesia. Jutaan anak di Indonesia masih berada dalam kondisi memprihatinkan.

Berdasarkan data Kemensos RI, pada 2014 jumlah anak telantar yang tersebar di 34 provinsi mencapai 4,1 juta jiwa. Mereka yang seharusnya dalam perlindungan dan kasih sayang orang tuanya, justru harus bertahan dan berjuang di jalanan agar tetap bisa hidup.

Potret suram nasib anak-anak juga datang dari dunia pendidikan. Di negeri ini, menurut data Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal (PAUDNI), pada 2014 tercatat ada 7,39 juta anak yang putus sekolah.

Harapan mereka untuk meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tak bisa terwujud akibat berbagai persoalan. Salah satunya bisa dipastikan karena faktor ekonomi alias kemiskinan.

Bahkan, laporan tahunan Unicef tahun 2012 menyebutkan kemiskinan anak di Indonesia lebih besar dari kemiskinan orang dewasa. Jumlah anak miskin di negeri ini pada tahun 2012, mencapai 44,4 juta anak atau lebih dari 50 persen dari seluruh anak.

 

Menurut Unicef, angka ini menunjukkan bahwa tidak setiap orang bisa memperoleh manfaat dari transformasi yang terjadi di Indonesia, dan anak-anak adalah pihak yang paling banyak terkena dampaknya.

Yang lebih miris lagi, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), separuh dari 83 juta anak-anak di negeri ini tak memiliki akta kelahiran. Itu artinya, lebih dari 40 juta anak kesulitan mendapatkan fasilitas negara yang seharusnya menjadi hak mereka. ‘’Akte kelahiran adalah hak yang wajib diberikan oleh negara untuk melindungi hak hidup seorang anak,’’ ujar Komisioner KPAI Susanto.

Lalu, bagaimana kondisi kesehatan dan gizi anak di negeri ini? Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah anak Indonesia yang kekurangan gizi pada 2014, meningkat dari 15 persen menjadi 17 persen. Mereka berasal dari daerah kantong-kantong kemiskinan, terpencil, terluar, dan tertinggal.

Akibat asupan gizi yang kurang baik, South East Asia Nutritions Surveys menyebut, sekitar 24,1 persen anak laki-laki dan 24,3 persen anak perempuan Indonesia mengalami ukuran tubuh pendek.

 

Merujuk  survei yang dilakukan terhadap lebih dari 7.000 anak-anak Indonesia yang berusia 6 bulan hingga 12 tahun, menunjukkan sekitar 1 dari 3 balita Indonesia mengalami masalah pertumbuhan tinggi badan.

Catatan buram tentang nasib anak di negeri ini juga ditunjukkan dengan terus meningkatnya jumlah anak yang berhadapan dengan hukum. Pada Juli 2013, jumlah anak yang berstatus tahanan atau narapidana adalah sebesar 5.730 orang.

 

Sebanyak 2.233 di antaranya adalah anak berstatus tahanan dan 3.497 narapidana anak. Anak-anak yang seharusnya berada dalam perlindungan orang tua justru harus berada di balik jeruji besi akibat pengaruh buruk lingkungan di sekitarnya.

Ya, anak-anak adalah korban dari buruknya kondisi lingkungan di sekitar mereka. Badan Narkotika Nasional menyebut, 22 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah pelajar dan mahasiswa.

 

Menurut data, jumlah perokok aktif di kalangan anak-anak meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Global Adult Tobaco Survey menyebut, Indonesia memiliki prevalensi perokok aktif tertinggi sebanyak 36,1 persen orang dewasa, dan 67 persen pria remaja. Anak usia 13-15 tahun sudah menjadi perokok aktif.

Belum lagi, setiap hari media massa tak pernah luput memberitakan anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga serta pelecehan dan kekerasan seksual. Anak-anak tak berdosa itu kehilangan masa depannya akibat menjadi korban berbagai jenis kekerasan.

Yang paling memilukan, para pelaku kekerasan terhadap anak-anak adalah orang-orang terdekat mereka. Kekerasan terhadap anak-anak juga banyak terjadi di sekolah. Sekolah dan rumah seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak-anak.

 

Faktanya, justru tak sedikit anak yang mengalami kekerasan di sekolah dan rumah mereka. Setiap hari, anak-anak di Indonesia juga diberondong aneka tayangan televisi yang kurang mendidik.

Padahal, setiap hari mereka menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi. Saat ini anak-anak Indonesia juga dikepung aneka konten pornografi melalui internet. Akibatnya, anak-anak Indonesia yang menjadi korban dan terjerumus dalam pornografi.

Sederet potret buram tentang nasib sebagian anak-anak Indonesia itu sudah seharusnya mengetuk pintu kesadaran kita semua. Seluruh eleman bangsa harus bahu-membahu menyelamatkan anak-anak kita yang bernasib kurang baik.

Pemerintah pusat dan daerah harus berjuang keras untuk memenuhi segala hak hidup anak-anak yang ada di negeri ini, mulai dari hak hidup, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan tayangan televisi dan internet yang sehat bagi anak.

APBN dan APBD harus lebih banyak menyentuh kebutuhan anak-anak. Bila kondisi anak-anak saat ini tak diperhatikan, alih-alih menjadi berkah, bonus demografi yang akan didapatkan Indonesia pada 2030 bisa berubah menjadi musibah. Kini saatnya kita lindungi anak-anak kita. Oleh Heri Ruslan ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement