Rabu 27 May 2015 14:00 WIB

Luka di Jiwa dan Raga Pengungsi Rohingya

Red:

Dil Moriza, gadis kecil berusia enam tahun, tampak santai duduk di pangkuan salah seorang relawan, Selasa (26/5). Gadis asal Kota Mundo, Myanmar, ini tampak telah cukup akrab dengan relawan muda di pos relawan Rumah Ceria, siang itu.

Perilaku Moriza tidak sekaku saat awal tiba di Posko Pengungsian Kuala Langsa, Kota Langsa, sepuluh hari lalu. Saat itu, gadis berambut sebahu ini enggan berinteraksi dengan orang lain, termasuk terhadap para relawan. Ia lebih suka berdiam diri.

"Mungkin karena mengalami trauma akibat terombang-ambing selama tiga bulan di tengah lautan, kondisi psikologis mereka terganggu," ujar relawan dari UIN Sumatra Utara, Dayat Hasugian, kepada Republika, Selasa (26/5).

Waktulah yang akhirnya mencairkan kondisi psikologis Moriza. Lambat laun perilaku Moriza mulai berubah. Moriza menunjukkan keakraban dengan para relawan. Saat ini, gadis berkulit gelap ini datang setiap hari ke posko tersebut sekadar untuk menggambar atau bermain dengan beberapa peralatan yang telah disediakan.

Selain Moriza, kondisi psikologis yang tak jauh berbeda dialami Rafika (6 tahun). Ia mengalami trauma psikologis yang lebih parah. Rafika bahkan enggan menyentuh mainan yang disediakan oleh relawan selama beberapa hari.

Rafika diprediksi mengalami gangguan psikologis yang lebih berat setelah kedua orang tuanya meninggal di Myanmar. "Katanya, orang tuanya meninggalnya dibantai di sana (Myanmar)," ujar Dayat. Dia pergi meninggalkan negaranya setelah dibawa oleh kerabat.

Sejak kedatangannya di sana, Rafika katanya sering tampak termenung. Dibandingkan temannya yang lain, ia lebih banyak diam.

Bahkan setelah beberapa hari, setelah teman-teman lainnya berani berinteraksi dengan relawan, Rafika masih lebih banyak diam dan hanya berbicara kepada teman-temannya.

"Baru kemarin dia mau berinteraksi dengan kami. Rafika sebenarnya pintar. Setelah dia terbuka kepada kami, baru kami tahu, ternyata dia pandai anaknya," ujar Dayat. Rafika bahkan mengajari para relawan beberapa nama benda menurut bahasa Myanmar.

Rafika dan Moriza merupakan dua dari puluhan pengungsi cilik yang membutuhkan penanganan khusus. Syahfitri (21), yang berasal dari Komunitas Cinta Baca Kota Langsa, juga terlibat dalam penanganan masalah anak menggunakan pendekatan dengan cara bermain terhadap para pengungsi cilik dari Myanmar. "Program kami kebanyakan bermain, menggambar. Melalui itu kami berupaya mengangkat beban psikologis anak-anak Rohingya," ujar Syahfitri.

Hasil dari gambar yang dihasilkan oleh pengungsi kecil ini dipajang di depan tenda. Puluhan hasil gambar anak-anak Rohingya dipajang untuk menambah kesan ceria di kawasan tenda ceria.

Posko Rumah Ceria telah dibuka sejak sepekan lalu. Puluhan anggota posko Rumah Ceria lebih mamfokuskan pada penanganan masalah psikologi anak. Psikologi anak, menurut dia, lebih terguncang daripada pengungsi dari usia yang lebih tua.

Selain terganggunya kondisi psikologis, para pengungsi pun mengalami masalah kesehatan. Persoalan kesehatan yang paling banyak dialami para pengungsi adalah penyaki diare, dehidrasi, dan asam lambung. "Mereke kan dua bulan di laut, kekurangan cairan dalam tubuh itulah alasan utamanya," ujar Surgiani, perawat di pos pengungsi Kuala Langsa.

Dari penanganan kesehatan selama hampir dua minggu, ia menyimpulkan menurunnya kesehatan para pengungsi disebabkan kurangnya asupan makanan dan minuman selama di atas kapal. Surgiani juga melaporkan, terdapat seorang balita berusia tiga tahun yang meninggal akibat penyakit yang dideritanya.

Surgiani menjelaskan, penanganan kesehatan pengungsi secara umum dibagi menjadi dua. Pertama, selama penyakit yang dideritanya belum akut, akan ditangani di posko kesehatan yang ada di lokasi pengungsian.

"Kalau penyakitnya tidak parah, akan ditangani di sini (posko kesehatan di pengungsian), tapi kalau sudah akut akan dirujuk ke RSUD Kota Langsa," ujarnya. Di posko kesehatan tersebut, terdapat tiga pengungsi dewasa yang dirawat. Ketiganya diduga mengalami diare.

Guna berjaga-jaga, terdapat puluhan petugas di posko kesehatan di kawasan pengungsian. Mereka berasal dari berbagai puskesmas di kawasan Kota Langsa. "Kami berjumlah sekitar 25 orang. Jadi, tiap hari diberi jadwal jaga," kata Surgiani menjelaskan. n ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement