Selasa 26 May 2015 14:00 WIB

Kami Ditinggalkan Kapten Kapal di Tengah Lautan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Waktu shalat Zhuhur sudah tiba. Ratusan warga pengungsi Rohingya dan Myanmar berbaris di lapangan dekat lokasi penampungan di Kuala Langsa, Kota Langsa, Provinsi Aceh, Senin (25/5). Tak memedulikan panas yang mencapai 35 derajat Celcius, para pengungsi menunaikan shalat Zhuhur berjamaah dengan khusyuk.

Ratusan warga yang kebanyakan berkulit gelap ini menunaikan ibadah shalat Zhuhur hanya dengan beralas tikar tipis. Sinar menyengat matahari menyentuh kepala mereka tanpa penghalang apa pun. Empat rakaat shalat Zhuhur pun dilaksanakan dengan tenang.

Sepuluh hari lalu, ratusan warga pengungsi ini masih terombang-ambing di tengah laut setelah berlayar dari perairan di antara Bangladesh dan Myanmar. Selama berbulan-bulan tak menjumpai daratan, mereka hanya bisa pasrah berada di atas kapal kayu sepanjang tak lebih dari 200 meter.

“Sebelum naik kapal itu, kami dari darat menggunakan kapal kecil,” ujar Mahmudul Hasan (17 tahun) kepada Republika, usai melaksanakan shalat Zhuhur di Pelabuhan Kuala Langsa, Langsa, Provinsi Aceh, Senin (25/5).

Menurut Hasan, perjalanan dari darat menuju kapal besar ditempuh malam hari. Mereka berangkat dari darat selepas shalat Maghrib dan baru sampai di kapal pada dini hari. Dari kapal kecil itulah, ratusan warga ini berpindah ke satu kapal yang lebih besar.

Sambil duduk di sebuah kapal di dermaga Kuala Langsa, Hasan terus mengisahkan kejadian demi kejadiannya kala itu. “Walaupun kapal itu lebih besar, tapi terlalu kecil untuk semua orang. Kami bertumpuk di dalamnya. Sangat sesak. Bahkan di ruang mesin, terdapat ratusan orang di sana,” ujar hasan.

Awalnya, kata Hasan, tujuan utama dari kapal tersebut bukanlah Indonesia. Mereka hendak menuju Malaysia. Berdasarkan keterangan kapten kapal, jarak antara perairan tempat mereka berangkat hingga ke Malaysia bisa ditempuh dalam tujuh hari. Namun, setelah berhari-hari di tengah lautan, sesuatu yang tak pernah disangka para penumpang kapal terjadi. “Kapten kapal pergi dengan dengan kapal kecil meninggalkan kita,” ujar Hasan.

Setelah kapten kapal pergi, kondisi penumpang semakin buruk. Kapal yang berisi ratusan orang tersebut pun kehabisan bahan bakar. Praktis, kapal melaju tanpa tujuan dengan hanya mengandalkan angin semata. Ke mana angin membawa, ke sanalah kapal bergerak.

Setelah berminggu-minggu di tengah lautan tanpa tujuan, para penumpang mulai dicekam ketakutan yang teramat sangat. Penyebabnya, persediaan bahan makanan di atas kapal mulai berkurang mendekati habis. Persediaan yang semakin menipis membuat para pengungsi mengencangkan ikat pinggangnya lebih ketat.

Persediaan makanan dan minuman yang masih tersisa diprioritaskan untuk anak-anak dan perempuan. Ratusan pria di dalam kapal harus rela menahan lapar dan haus hingga berhari-hari demi mendahulukan keselamatan hidup wanita dan anak-anak.

Di tengah menipisnya semangat, para pengungsi berjumpa dengan nelayan asal Aceh. Dari tangan nelayan itu, penumpang kapal mendapatkan makanan dan minuman. Nelayan itu jugalah yang memberi informasi awal tentang letak Indonesia dan Malaysia. “Dia bilang, Indonesia dekat, Malaysia lebih jauh,” kata Hasan.

Hasan merupakan salah seorang dari 246 warga Rohingya di penampungan Kuala Langsa. Selain warga Rohingya, terdapat 421 imigran Bangladesh yang menggunakan kapal yang sama.

Kisah tragis juga dialami oleh pengungsi Rohingya lainnya. Salah seorang pengungsi Rohingya yang berada di Bayeun, Aceh Timur, Provinsi Aceh, harus terpisah dari keluarganya. Hamituzen, salah seorang warga Muslim Rohingya berusia 30 tahun merasa sangat menyesal setelah terpisah dengan anak dan istrinya yang masih tertinggal di Myanmar.

Hamituzen bercerita, kerusuhan yang terjadi sesaat sebelum keberangkatan membuatnya tidak bisa menemukan anak beserta istrinya. Bersama ratusan warga Muslim Rohingya lainnya, Hamituzen pun terpaksa meninggalkan negaranya dengan sebuah kapal kayu berukuran sedang.

“Sampai sekarang saya terus memikirkan istri dan satu anak saya di Myanmar,” kata Hamituzen kepada Republika, di Pos Pengungsi Bayeun, Aceh Timur, Ahad (24/5).

Terbata-bata dengan bahasa Melayu yang ala kadarnya, Hamituzen menuturkan, dia tak bisa menemukan istri dan anaknya saat kerusuhan terjadi. Bahkan, dia tak bisa memastikan kondisi anak dan istrinya kini. “Saya tidak tahu, apakah (istri dan anak saya) masih hidup atau sudah jadi korban pembantaian di sana,” ujarnya.

Hamituzen melanjutkan, Muslim Rohingya mengalami diskriminasi sejak lama di daerah tempat tinggal mereka di Myanmar. Berbagai instansi pemerintahan, keamanan, dan instansi penting lainnya seolah tertututp bagi warga beragama Islam. Bahkan, beberapa kali Muslim menjadi korban pembantaian tak berperikemanusiaan.

Puncak kejahatan terhadap warga Muslim Rohingya terjadi empat tahun lalu. Sejak empat tahun lalu, kata Hamituzen, kerusuhan meningkat hingga pembunuhan, pembakaran rumah, sarana ibadah, bahkan pemerkosaan bagi warga Muslim Rohingnya.

“Banyak orang dibunuh, tidak boleh shalat. Kalau shalat, ditembak, dibunuh. Kalau shalat, dipenjara bertahun-tahun. Pernah ada yang shalat Jumat, 10 orang dibunuh,” ujarnya.

Kondisi semakin parah beberapa saat sebelum keberangkatan Hamituzen meninggalkan negaranya tiga bulan lalu. Dia ingat, bersama ratusan orang lain terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya menggunakan kapal, berlayar ke lautan tanpa tujuan yang jelas.

Satu-satunya tujuan saat itu adalah menyelamatkan diri dari kematian yang mengancam. “Mereka bunuh orang Islam. Habis dibunuh, dibakar,” kata Hamituzen.

Saat ini, Hamituen hanya bisa berdoa semoga keluarga yang ditinggalkannya dilindungi Allah SWT. Walaupun di hati kecilnya ia sangat khawatir terjadi peristiwa buruk yang menimpa keluarganya, namun harapan berjumpa kembali dengan anak dan istri tak ingin dipadamkannya. “Semoga istri dan anak saya dilindungi Allah SWT,” kata Hamituzen.n ed: eh ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement