Rabu 06 May 2015 13:00 WIB

Ekonomi Tumbuh Melambat

Red: operator
Sejumalah kendaraan melintas dengan latar belakang pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (5/5).  (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Sejumalah kendaraan melintas dengan latar belakang pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (5/5). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bergerak lambat. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, ekonomi hanya tumbuh 4,71 persen sepanjang tiga bulan pertama 2015.

Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, kata Suryamin, ekonomi tumbuh 5,14 persen. Bila dibandingkan dengan kuartal IV 2014, pertumbuhan ekonomi turun 0,18 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini, ungkap Suryamin, dipengaruhi tiga hal. Pertama, perlambatan ekonomi mitra dagang tradisional Indonesia, seperti Cina dan Singapura. Ekonomi Cina tumbuh 7 persen, turun dibandingkan periode sama tahun lalu 7,4 persen. Ekonomi Singapura merosot dari 4,9 persen menjadi 2,1 persen.

Kedua, melorotnya harga minyak mentah dunia. Ketiga, kinerja ekspor-impor menurun dibandingkan periode sama tahun lalu. "Ketiga faktor ini sangat berpegaruh terhadap kinerja ekonomi," kata Suryamin saat jumpa pers di Jakarta, Selasa (5/5).

BPS mencatat, tiga sektor mencetak pertumbuhan tertinggi (yoy), yakni informasi dan komunikasi (10,53 persen), jasa lainnya (8 persen), dan jasa keuangan dan asuransi (7,57 persen). Dari sisi produksi, pertumbuhan dipicu faktor musiman pada lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan. "Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan terjadi pada komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah," kata Suryamin.

Sejalan dengan BPS, Bank Indonesia juga mencatat penurunan pertumbuhan sepanjang kuartal I. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengungkapkan, pelemahan ekonomi dipicu lesunya kinerja komponen permintaan domestik, seperti konsumsi lembaga nonprofit, pemerintah, dan investasi pada sektor bangunan.

"Belum optimalnya penyerapan belanja pemerintah terkait APBNP 2015 yang baru disahkan menjadi salah satu pemicu, selain belum terealisasinya belanja 10 kementerian dan lembaga baru," kata Tirta.

BI juga menilai kinerja ekspor menurun lantaran lemahnya permintaan dan turunnya harga komoditas dunia. Hal ini diperparah dengan pertumbuhan impor yang merosot sejalan dengan lemahnya permintaan domestik. BI memprediksi ekonomi kembali menanjak pada kuartal II. Pengeluaran pemerintah diperkirakan meningkat yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

Wapres Jusuf Kalla menyatakan, kinerja kuartal I dipengaruhi kondisi perekonomian sebelumnya. "Ya itu kan sejak awal, sejak beberapa waktu lalu, kandisampaikan akibat pengaruh daya beli, akibat ekonomi menurun, tentu punya efek," kata Wapres.

Merespons data BPS, Menko Perekonomian Sofyan Djalil membantah Jokowi effect tak ada gaungnya. "Jokowi effect masih. Masyarakat masih antusias, percaya bahwa pemerintah ini akan melakukan restrukturisasi segala hal," katanya.

Pemerintah, tegasnya, berkomitmen terus melakukan perbaikan di semua sektor. Namun, perubahan itu tidak tercipta secara instan. Sofyan menyatakan, pelemahan saat ini masih dalam batas wajar. Jatuhnya harga komoditas dan anggaran pemerintah yang terlambat cair menjadi penyebabnya.

"Saya yakin semester kedua lebih baik karena angaran pemerintah dipercepat," katanya. Pemerintah akan mengebut program pembangunan agar anggaran terserap maksimal. Investasi dari pemerintah maupun swasta juga akan didorong supaya target pertumbuhan ekonomi 5,7 persen dapat tercapai.

Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menyebut kebijakan pemerintah, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik, dan elpiji, mengganggu konsumsi sehingga menekan daya beli masyarakat. "Karena kebijakan yang lain belum efektif dan konsumsi masyarakat terganggu, maka pertumbuhan ekonomi menjadi di bawah target yang diinginkan, yakni lima persen," kata Enny.

Jika pemerintah belum bisa melakukan stimulus, investasi masih menunggu, ekspor impor juga masih lemah karena perekonomian global lesu, kata Enny, maka yang terjadi pertumbuhan berada di bawah angka yang diharapkan. "Perkiraan kita 4,9 persen, tapi kok ini 4,7 persen, kan cukup dalam. Artinya, distorsi pemerintah terhadap konsumsi masyarakat ini masih cukup berat."

Ekonom Bank of America Merril Lynch, Singapura, Hak Bin Chua, seperti dikutip Bloomberg, pada Senin (4/5) menyatakan, pertumbuhan yang tak sesuai target ini merupakan alarm bagi pemerintahan Jokowi-JK. rep: Halimatus Sa'diyah, Dessy Suciati Saputri c84/c85 ed: Ferry Kisihandi 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement