Jumat 20 Mar 2015 13:00 WIB

Moratorium FK Dipertegas

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA -- Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengungkapkan, banyak fakultas kedokteran (FK) berdiri tanpa memperhatikan kualitas. Pendirian hanya didasari oleh keinginan menggenjot profit dan biasanya terjadi pada institusi pendidikan swasta.

Karena itu, kata Ketua KKI Bambang Supriyanto, per Maret 2015  dipertegas lagi kebijakan moratorium pendirian FK. Ini melanjutkan kebijakan moratorium yang ditetapkan sebelumnya. "Kalau ada yang buka baru maka itu ilegal,’’ katanya, Rabu (18/3).

Bambang mengungkapkan, ada satu kasus sebuah FK yang didirikan tanpa memperhatikan kualitas. FK ini hanya memiliki 28 dosen namun memaksakan diri untuk menerima kuota hingga 400 calon mahasiswa. Dari mahasiswa yang sudah mendaftar, yang diterima hanya 40 orang.

"KKI minta yang seperti itu dihukum, misalnya, dengan tidak boleh menerima mahasiswa baru,” kata Bambang. Ia juga menyatakan, ada lulusan fakultas kedokteran yang ingin mendapatkan surat tanda registrasi sebagai dokter, baru lulus setelah 13 kali mengikuti ujian.

Ini menunjukkan bahwa lulusan tersebut kualitasnya tidak bagus. Bambang mengatakan, KKI telah meminta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) memberlakukan moratorium di seluruh Indonesia.

Merekalah, kata dia, yang berhak menutup atau membuka FK atas dasar rekomendasi KKI. Selain itu, Kemenristik-Dikti diharapkan menerapkan  kuota penerimaan calon mahasiswa FK.

Misalnya,  FK yang masih baru atau terakreditasi dengan nilai C,  hanya boleh menerima maksimal kuota 50 calon mahasiswa untuk gelombang penerimaan pertama. Kalau universitas seperti UI, UGM, dan Unair boleh menerima 250 mahasiswa.

KKI merupakan lembaga negara yang otonom dan salah satu tugasnya mengawal kompetensi jurusan FK dan lulusan FK di seluruh Indonesia. Tujuannya, agar dokter yang bekerja di seluruh Indonesia benar-benar kompeten.

Menurut Bambang, KKI juga bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta badan-badan terkait untuk mengupayakan agar masyarakat bisa mendapatkan pelayanan dari dokter yang terjaga kompetensinya.

Ketua Purna Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prijo Sidipratomo mengakui, usulan moratorium ini sudah diberlakukan sejak era 2009. Ini bermula sejak KKI yang berfungsi sebagai badan otonom terkait kompetensi kedokteran.

"Sebetulnya pada masa KKI yang dimpimpin Menaldi Rasmin (2009-2014), itu sudah dilakukan moratorium,” ujar Prijo, Kamis (19/3). Untuk mendirikan sebuah FK baru, perlu dilihat konteks rasio jumlah dosen-mahasiswa.

Apalagi, setiap FK selalu meliputi dua kelompok pendidikan kedokteran yakni biomedik dan klinik. Pada kelompok biomedik, yang ideal, satu dosen untuk 10 mahasiswa. Kalau klinik, satu dosen untuk lima orang mahasiswa.

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Edy Suandi Hamid mengatakan, pengaturan itu perlu, namun jangan buka tutup seperti kaki lima. Harus melalui kajian panjang. "Dulu sempat morotarium tapi kemudian dibuka dan selanjutnya ditutup lagi.’’

Kesannya, kata dia, kebijakan ini berjalan tidak konsisten. Morotarium harus melalui kajian mendalam dan data serta alasan yang jelas. Misalnya, karena kebutuhan sudah terpenuhi, sudah jenuh, atau karena keterbatasan tenaga atau sarana prasarana.

Meski demikian, juga harus dilihat secara regional. Indonesia ini besar dan beragam, terkadang tak bisa kebijakan berlaku seragam harus melihat kondisi lokal atau regional. Kalau ada daerah yang masih kurang tenaga dokternya, maka naif kalau FK baru dilarang.

Menurut dia, hal terpenting adalah pengawasan atas FK yang sudah ada. Salah satunya melalui akreditasi itu, kalau melanggar ditindak. Ia mengakui, ada FK yang menerima mahasiswa banyak sekali namun tak sesuai daya dukung fasilitas atau dosennya. Ini yang harus ditindak.

Edy menambahkan, saat ini kondisi FK sangat beragam. Ada yang baik dan ada yang buruk. FK yang buruk, perlu dibina terus agar menjadi lebih baik. Dievaluasi juga mengapa ada FK yang tak baik itu supaya kalau beri izin FK baru sudah punya bahan.

Moratorium, jelas dia, memberikan dampak bagi perguruan tinggi swasta. Karena, saat ini banyak yang akan mengajukan pembukaan FK baru. "Saran saya, ya dikaji semua. Jangan gebyah uyah melarang sebelum ada kajian mendalam,’’ katanya.

Rektor Universitas Bung Hatta (UBH) Niki Lukviarman menyatakan, berencana mendirikan FK. Pihaknya sudah memproses pendirian FK sejak 2013. Ia juga berkonsultasi dengan KKI, yang menyatakan belum bisa menerima usulan pendirian itu.

Menurut dia, KKI beralasan akan mendisiplinkan dulu FK yang belum benar dalam menyelenggarakan pendidikan. Tiga bulan lalu, UBH mengundang Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Barat Rosnini untuk meminta penjelasan.

Ternyata, untuk mendirikan FK harus ada rumah sakit pendidikan. Boleh tidak di kampus atau di kampus, ada ketentuan berapa luas dan tingginya. UBH, kata Niki, baru memiliki Klinik Rahmi Hatta untuk mengobati seluruh civitas akademika.

Meski demikian, secara simultan UBH berencana membangun rumah sakit pendidikan dulu dan melakukan studi kelayakan mendirikan FK. n c14/c82 ed: ferry kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement