Jumat 20 Mar 2015 13:00 WIB

Lidah Tajam Lieberman Satukan Warga Arab

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Avigdor Lieberman menatap dingin lawan debatnya yang ada di ujung meja. Pertanyaan tajam pun terlontar dari mulut menteri luar negeri Israel itu. "Mengapa Anda datang ke studio ini, bukan ke Gaza atau Ramallah?’’

Lieberman juga langsung menyambung dengan kalimat lainnya, "Anda tak diinginkan di sini, Anda seorang Palestina.’’ Dengan tenang, Ayman Odeh, yang menjadi lawan debat Lieberman, membalas serangan tersebut.

Pemimpin Joint List of Arab atau aliansi partai Arab ini menyatakan, dia disambut baik di tanah kelahirannya. Ia menyindir Lieberman, imigran Yahudi dari Moldova. "Saya bagian negeri ini," katanya dengan bahasa Ibrani beraksen Arab seperti dilansir New York Times. 

Perang kata antara Lieberman dan Odeh terjadi di studio televisi Channel 2, Israel, pada akhir Februari lalu. Odeh mampu memanfaatkan panggung untuk meningkatkan kesadaran para pemilih Arab-Israel atas nasib mereka dari orang-orang seperti Lieberman.

Bahkan, terwujudnya aliansi empat partai dalam Joint List of Arab yakni Hadash, Balad, Ra’am, dan Ta’al juga terpicu sikap sinis Lieberman. Termasuk perubahan aturan electoral threshold yang didesakkan Lieberman, dari dua menjadi 3,25 persen.

Pada pemilu yang digelar Januari 2013, Hadash memperoleh empat kursi, Raam dan Ta’al yang beraliansi meraih empat kursi, sedangkan Balad tiga kursi. Sudah bertahun-tahun, mereka bergerak sendiri-sendiri.

Namun, pada pemilu 17 Maret 2015, gabungan partai Arab itu mampu meraup 13 dari 120 kursi di parlemen atau Knesset. Mereka di urutan ketiga setelah Likud dan Zionist Union.

Gabungan partai Arab tersebut mengalahkan perolehan kursi partai yang dipimpin Lieberman, Yisrael Beitenu, yang hanya mengemas enam kursi di parlemen. Mohammad Darawshe, pengamat politik, menyatakan, bersatunya kekuatan  politik Arab sangat bersejarah.

Menurut dia, tak ada kelompok minoritas yang mampu melangkah strategis sebelum bersatu. Di sisi lain, Odeh membawa aliansinya tak eksklusif. Ia menyerukan kerja sama dengan sekutu Yahudinya untuk mencapai tujuannya, keseteraan bagi warga Arab di Israel.

Sejak lama, warga Arab terdiskriminasi di tanah zionis itu. Pendidikan mereka tertinggal, tak mendapatkan kesempatan sebagai pegawai negeri, sulitnya akses transportasi dan lahan. Ia mengubah gaya pendahulunya, Haneen Zoabi, yang enggan membangun aliansi dengan partai utama.

Bahkan, Odeh tak mempermasalahkan warga Yahudi masuk dalam daftar calon anggota parlemen aliansi ini. Saat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan, Joint List of Arab memandang Hamas bukan sebagai organisasi teroris, Odeh membalas tudingan itu.

Menurut dia, kelompok kanan terus mencari-cari argumen seolah Arab bukanlah warga yang sah. Aliansi juga mengubah sikap warga Arab, seperti Mohammed Yehya. Ia yang semula golput, lalu menggunakan hak suaranya.

Juru bicara Joint List of Arab, Yousef Jabareen, mengatakan, aliansi dipaksa untuk mencapai electoral threshold. "Namun, kami jua memahami ada tuntutan besar dari warga Arab untuk bersatu guna mengatasi tantangan yang kami hadapi,’’ katanya.

Sayap militer Hamas, Izuddin al-Qassam, juga memberikan dukungan kepada aliansi. Melalui akun twitter, mereka mengingatkan agar warga Arab memilih kandidat dari kelompok aliansi. "Targetnya 20 kursi,’’ demikian pernyataan mereka seperti dikutip Jerusalem Post.

Meski demikian, Elliot Abrams, mantan pejabat AS dan akademisi senior mengenai isu Timur Tengah pada Council on Foreign Relations, pesimistis aliansi empat partai Arab bertahan. Ia memperkirakan, perpecahan akan terjadi saat proses pembentukan pemerintahan baru.

Abrams beralasan, mereka tidak benar-benar bersatu. "Joint List of Arab hanyalah payung yang menaungi pandangan-pandangan berlebihan,’’ katanya, Rabu (18/3). Mereka bergabung masuk Knesset tetapi secara ideologis berbeda-beda.

Robert M Danin, rekan Abrams di Council on Foreign Relations mengatakan, bersatunya pemilih Arab dipicu pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa pemerintahannya dalam bahaya karena pemilih Arab berbondong ke tempat pemungutan suara.

Banyak pihak memandang pernyataan Netanyahu saat pemilu itu, rasis. Meski demikian, Danin juga ragu dengan keutuhan aliansi partai-partai Arab. "Pertanyaannya, apakah mereka bisa bersatu dalam setiap isu, seperti ekonomi?’’

Danin menambahkan, perbedaan paham juga berkembang di antara kalangan aliansi, dari ateis hingga Islamis. Ia menunjuk Ayman Odeh, yang dianggapnya lahir sebagai Muslim tetapi diidentifikasikan sebagai seorang ateis.

Bloger Amerika Naomi Dann dari Jewish Voice For Peace, mendesak Israel lebih inklusif terhadap warga Arab. Israel, kata dia, mengklaim paling demokratis di Timur Tengah tetapi 4,5 juta warga Palestina di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza tak miliki hak memilih. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement