Kamis 05 Feb 2015 12:55 WIB

Mengungkap Geliat Pasukan Siber (Bagian 3)

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Sambil mengaitkan tangan kirinya di handle kereta, pria berkaus dengan tas selempang menyerong ke depan menutup perut, berdiri mematung. Kedua kakinya mengakar di lantai gerbong KRL Commuter Line Jakarta. Matanya tak pernah lepas melototi ponsel yang ia genggam.

"Lagi pantau-pantau berita," kata dia singkat.

Tri Wibowo Santoso tak bergeming di antara impitan para penumpang. Perilaku itu mulai menjadi kebiasaan per 14 Maret 2014. Tanggal di mana PDI Perjuangan menunjuk Jokowi sebagai calon presiden mewakili partai. "Jokowi harus didukung. Apalagi kalau lawannya Prabowo," ujar dia.

Dengan akun Twitter anonimnya @soniazon1, dia berkancah di dunia maya. Mulai dari me-retweet pemberitaan positif kandidat jagoannya, menginformasikan pencapaian mantan wali kota Solo itu sampai berdebat dengan pengguna jejaring sosial, ia lakoni pada waktu bersamaan.

Pria asal Depok yang berkantor di kawasan Gondangdia ini mengaku terpaksa menggunakan akun anonim. Sebab, ada rasa khawatir jika harus bergelut dalam politik. Sensitif hipotesisnya. Apalagi, ia menilai Prabowo punya rekam jejak buruk terkait pelanggaran HAM.

"Memang sedikit follower-nya di akun itu. Tapi, saya mention @Jasmev, @kurawa, @Jokowi_do2 dan @partai_socmed (akun pendukung Prabowo-Hatta) dalam setiap kicauan. Nanti mereka retweet," ungkap Bowo membeberkan strategi.

Hanya tinggal menunggu hitungan menit, puluhan akun lain mulai menanggapi. Tak seragam memang, ia akui ada yang positif dan negatif. Kerap Bowo dibuat dongkol kalau ada balasan kampanye hitam. Segan rasanya untuk berdebat panjang, tetapi perlu diluruskan.

"Bicara harus ada fakta. Mana buktinya kalau Jokowi itu PKI, Bro?" kata dia memberikan contoh satire kicauannya saat membalas salah satu akun yang mengklaim Jokowi berideologi menyimpang.

Pasukan siber lapangan seperti Bowo tak bekerja sendirian. Ada lebih dari 30 ribu orang yang mendadak autis dengan gadget-nya berpolitik ria. Sebagian besar mahasiswa atau pekerja kantoran bau toga. Sisanya simpatisan Jokowi dan orang yang tak ingin Prabowo menjadi presiden RI.

Mereka tergabung dalam satu wadah Jokowi Advanced Sosial Media Volunteers (Jasmev). Seorang wanita muda berdarah Solo, Dyah Kartika Rini Djoemadi, menjadi panglimanya. Konsultan kebijakan publik ini mengaku baru pertama melirik pasar politik. Cuma, Jokowi tak menyewa jasanya.

"Saya biasanya hanya menangani produk dari sebuah brand. Sejak Jokowi-Ahok masuk putaran dua di Pilgub DKI, baru saya gagas tim relawan media ini," kata Deedee, panggilan akrabnya.

Tepatnya pada 12 Agustus 2012, dia mendirikan Jasmev. Berawal dari rasa prihatin terhadap mantan kepala daerahnya itu, dia mengumpulkan massa. Namun, bukan timses, hanya gabungan orang yang punya misi dan visi sama yakni, membela Jokowi yang terpojok Fauzi Bowo (Foke).

Sekitar 10 ribu relawan ia himpun, tapi tak bertahan lama. Ketika Pilpres 2014, sebagian besar beralih dukungan. "Mereka itu kebanyakan orang Gerindra. Jadi, pas Prabowo masuk dalam bursa calon presiden, anggota Jasmev habis. Sisa hanya 500 orang," tutur dia.

Tim jejaring sosial ini aktif kembali pada 27 Maret 2014. Dia membuka open recruitment hingga terakhir mencapai 30 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Deedee mulai memetakan wilayah. Pelan-pelan, ia hitung, ada 25 korwil Jasmev di kota-kota besar dan enam korwil di luar negeri.

Bagaimana pola kerja Jasmev? Perempuan anggun dengan rambut disanggul ini tertegun sejenak. Ia menyilangkan kaki. Sorot matanya memutus rantai waktu melihat kembali masa lalu. Beberapa bulan silam, hampir semua pesan di telepon genggamnya itu berisi instruksi tak sembarangan.

"Si anu sedang tweet War, ayo kita bantu," perintah mantan koordinator Jasmev ini kepada para relawan lewat broadcasting message.

Fasilitas grup Blackberry Messengger (BBM) dan Whatsapp ia manfaatkan. Alumni Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia (UI) itu langsung menggelar rapat dadakan di dunia maya. Tak ada strategi khusus, hanya siapkan bala bantuan untuk menimpali komentar.

Saat ada serangan, kampanye negatif atau hitam ke Jokowi-JK, mereka segera berkomunikasi memetakan pertahanan. Tak ada target untuk menang dalam perdebatan. Hanya saja, seorang relawan diminta untuk mampu memengaruhi dua calon pemilih dalam satu hari.

"Perang itu harus berakhir sampai ada komentar 'oh begitu ya. Jadi, Jokowi tidak seperti ini. Thanks ya infonya'. Buat mereka berpikir kalau Jokowi nggak kayak yang dikabarkan awal-awal," ujar dia.

Selama masa kampanye, Jasmev belum pernah berselisih dengan Buzzers Prabowo-Hatta meski keduanya berseberangan. Namun, mereka akrab dalam pertemuan. Mereka saling kenal. Menurut Dee, tidak lain karena tim media lawan juga mantan Jasmev periode Pilgub DKI 2012.

Genderang perang justru bertabuh kencang dari salah satu parpol pengusung kompetitor kandidatnya. Fitnah Jokowi bertebaran mulai dari non-Muslim, PKI, hingga antek asing. Media online tak kredibel menjadi sumber pemberitaan. Akun anonim merebak bertebaran.

"Mereka tim yang militan," kata pemilik usaha media konsultan ini memuji sinis.

Anggota resmi Jasmev dapat mengakses informasi di bank data. Semua informasi Jokowi-JK tersedia di sana. Dengan berpegang pada sumber itu, mereka mampu mengonter serangan musuh. Deedee juga kerap mentransfer konten harian sebagai acuan relawan berselancar di medsos.

"Konten-konten itu arahan dari Pak Jokowi. Hampir sepekan sekali kami berkoordinasi membicarakan isu yang berkembang dan apa saja pertanyaan publik. Lalu, dia kasih konten ke kami, terutama soal kampanye dia selama satu pekan ke depan," ujar Dee.

Akomodasi konten pun ia lakukan. Terhitung Maret hingga Juli, Jasmev aktif melakukan workshop umum selama 15 kali pertemuan. Ada doktrin ia tanamkan ke 100-200 pesertanya. Pembahasan soal konten dan strategi kampanye, tapi tak terang-terangan. Dia pakar kampanye diam-diam.

Ketimbang mereka update status iseng, menurut dia, lebih baik menggerakkan hati teman di kontak BBM atau folowers di Twitter. Puluhan ribu pasukan itu bergerak sporadis, sukarela. Ia klaim tanpa bayaran. Hanya sertifikat elektronik bertanda tangan Jokowi-JK menjadi fee mereka.

"Hanya itu apresiasi buat mereka yang aktif sampai 24 jam. Ada sekitar 500 orang yang benar-benar serius," ujar dia.

Jasmev punya tiga tim dalam bekerja. Yakni, suportif untuk informasi satu arah, lalu defensif untuk klarifikasi fitnah, dan ofensif spesialis war. Relawan bebas memilih karakter tim. Pun, media mereka pakai, seperti Twiter, Facebook, Youtube, Blog, Kaskus, hingga akun Path dan Instagram.

Dee menekankan, anggota relawan Jasmev tak boleh menyuarakan kampenye hitam. Mereka wajib menggunakan akun asli. Data dirinya tercatat detail sehingga tak bisa sesuka hati. Risiko besar, kata dia, kalau sampai ada pihak yang menggugat dengan Undang-undang ITE.

"Kalau ada black campaign di media sosial ke Prabowo-Hatta, bukan dari Jasmev. Mungkin itu orang-orang yang benci dengan Prabowo karena ada keterlibatan HAM," ujar dia.

Rian Andi Soemarno mengakuinya. Mantan ketua Relawan Indonesia Hebat ini memang mengumpulkan eksponen aktivis 98 untuk menggerogoti kepercayaan publik terhadap capres lawan. Hanya saja, bukan kampanye hitam yang digembar-gemborkan. Kontennya pelanggaran HAM.

"Kondisi itu fakta, tercatat sejarah dan kami juga berbekal data. Semua dokumen kami kantongi. Tujuannya menggiring opini agar Prabowo menjadi musuh bersama," kata Rian.

Pria yang saat ini berkantor di Istana Wapres, Kebon Sirih, itu tak kalah berjasa. Jika Jasmev menjadi mesin yang bergerak di sosial media, timnya justru berperan sebagai penyumbang data dan informasi terkait Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta untuk disebarluaskan.

Ketik saja celotehpemilu.com pada mesin pencari Google komputer atau laptop. Meski domain website sudah ia tutup, jejak pemberitaan masih ada. Jarang sekali berita positif terkait calon usungan Gerindra ini. Sebagian besar menyudutkan, sisanya kritik.

"Ini sarana untuk bertempur di udara. Portal kami jadi kantong isu dan data tim media sosial," kata staf JK yang sempat membuat media online dengan biaya Rp 150 juta dari hasil menjual rumahnya.

Sekitar 60 persen pemilih mendapat pengaruh dari dunia maya. Itulah mengapa, ia berinisiatif mengemas bahan kampanye dalam bentuk berita sebagai amunisi di jejaring virtual. Tak cukup lewat internet, ia putuskan juga untuk merangkul media konvensional.

"Teman-teman wartawan dapat broadcast message dari portal media celotehpemilu.com. Kami berbagi informasi dan rilis agar mereka beritakan. Kadang jumpa pers secara berkelanjutan," ujarnya. ed: Subroto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement