Kamis 05 Feb 2015 12:32 WIB

Pintu Grasi Narkoba Ditutup

Red: operator
  Tersangka kepemilikan narkotika dihadapkan di depan barang bukti di Kantor BNN, Jakarta, Kamis (8/5). (Republika/Yasin Habibi)
Tersangka kepemilikan narkotika dihadapkan di depan barang bukti di Kantor BNN, Jakarta, Kamis (8/5). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan tidak akan menoleransi pelaku kejahatan narkoba. Artinya, setiap grasi atau pengampunan yang diajukan terpidana mati kasus narkoba dipastikan ia tolak. Jadi, mereka bakal berakhir dengan eksekusi.

Menurut Jokowi, momentum seperti ini jangan terlepas. Setiap pelaku kejahatan narkoba mesti menanggung perbuatannya dan penolakan grasi merupakan upaya untuk mengatasi masalah narkoba. “Situasinya sudah sangat darurat,’’ katanya, di Jakarta, Rabu (4/2).

Dalam pernyataannya pada rapat koordinasi nasional (Rakornas) Badan Narkotika Nasional (BNN) itu, Jokowi menegaskan, semua pihak harus bersinergi menyelesaikan persoalan narkoba ini. Ia mengingatkan, setiap hari 50 orang meninggal karena narkoba.

Ini berarti, Jokowi mengatakan, dalam satu tahun sebanyak 18 ribu orang meninggal karena obat terlarang itu. Kondisi ini ia sampaikan kepada kepala negara lain saat menjelaskan alasan kebijakan Indonesia mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba.

Jokowi mengungkapkan, saat pelaksanaan eksekusi terpidana mati narkoba pada 18 Januari 2015 lalu, ada tekanan dari sejumlah pihak untuk tak melanjutkan kebijakan hukuman mati itu. Namun, ia tak menanggapinya.

Ia juga menuturkan, 70 persen narapidana di lembaga pemasyarakatan karena kasus narkoba. ‘’Penjara penuh karena masalah narkoba,’’ katanya. Hal yang lebih mengerikan, narapida narkoba masih bisa mengelola bisnis haram ini di dalam penjara.

Dengan demikian, persoalan narkoba harus ditangani serius dan jangan ada toleransi. Jokowi mengimbau para gubernur di setiap provinsi juga memiliki komitmen dalam memerangi narkoba.  Paling tidak, ada 4,2 juta orang di Indonesia kini terjerat narkoba.

Dalam konteks ini, Jokowi telah memerintahkan BNN menambah kapasitas rehabilitasi mereka yang terjerat narkoba. Pada tahun ini, target rehabilitasi mencapai 100 ribu orang, masih bisa dimaklumi, tapi tahun depan harus meningkat menjadi 400 ribu orang.

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Achyar Salmi mengatakan, kebijakan Presiden Jokowi yang memastikan menolak grasi terpidana mati narkoba merupakan langkah tepat. Dibutuhkan ketegasan untuk mengatasi situasi dan kondisi terkait narkoba di Indonesia.

Ia menyebutkan, jika dulu Indonesia menjadi tempat transit narkoba untuk menuju negara lain, sekarang Indonesia sudah menjadi tujuan. Bahkan, telah banyak pabrik-pabrik narkoba yang bertebaran di Indonesia.

"Dampaknya sudah sangat luar biasa. Bayangkan saja jika tidak ada sikap yang tegas dari negara dalam hal ini diwakili Presiden, tentu kita akan menjadi sasaran empuk bandar-bandar internasional itu," kata Achyar menegaskan.

Ia meminta pemerintah tidak terpengaruh intervensi negara lain terkait eksekusi mati terhadap warga asing yang menjadi terpidana. Menurutnya, negara lain boleh meminta pembatalan hukuman tersebut, tapi keputusan terakhir adalah mutlak milik Pemerintah Indonesia.

Hal yang sama, lanjutnya, berlaku untuk Indonesia. Pemerintah memang wajib untuk melakukan pembelaan terhadap WNI yang dieksekusi mati karena narkoba, tapi pemerintah pun harus berlapang dada jika permohonannya tidak dikabulkan.

Soal usulan pemberian hukuman yang berat, seperti 100 tahun penjara daripada hukuman mati, ia tak sepakat. Ia mengatakan, banyak ditemukan kasus pengendalian transaksi narkoba meski berada di lembaga pemasyarakatan.

Secara terpisah, Kejaksaan Agung menyatakan akan secepatnya mengeksekusi 11 terpidana mati yang sudah ditolak permohonan grasinya, di antaranya dua warga negara Australia anggota kelompok Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.

‘’Waktunya belum diputuskan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Tony Tribagus Spontana, seperti dilansir kantor berita Antara. Ia menegaskan, eksekusi dilakukan sepanjang sudah memenuhi sejumlah aspek, baik teknis maupun yuridisnya.

Kejaksaan Agung sudah menerima 11 keppres yang menolak permohonan grasi terpidana mati yang terdiri dari delapan kasus narkoba dan tiga kejahatan pembunuhan. Delapan kasus narkoba itu atas nama Mary Jane Fiesta Veloso, warga Filipina.

Selain itu, Myuran Sukumaran alias Mark (Ausralia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Zainal Abidin (WNI), Raheem Agbaje Salami (Cordova), Rodrigo Gularte (Brasil), dan Andrew Chan (Australia). rep: Aldian Wahyu Ramadhan c82 ed: Ferry Kisihandi

***

INFOGRAFIS

Jerat Narkoba

Penyalah guna narkoba 4,2 juta jiwa (data 2011)

Proyeksi penyalah guna narkoba 2015 sebanyak 5,6 juta jiwa

Dampak narkoba 50 orang meninggal setiap hari

Pecandu dan perlu rehabilitasi 1,2 juta jiwa

Rehabilitasi 2010-2014 sebanyak 34.467 orang

Terget rehabilitasi 2015 sebanyak 100 ribu orang

Target rehabilitasi 2016 sebanyak 400 ribu orang

Fasilitas rehabilitasi:

589 RSUD

31 RS Bhayangkara

80 puskemas

33 rumah sakit jiwa

7 panti rehabilitasi

24 sekolah polisi

16 Resimen Induk Komando Militer TNI AL

24 lembaga pemasyarakatan

Kejahatan Narkoba

Tahun 2010-2014 sebanyak 134.117 tersangka kasus narkoba

Penangkapan Terbesar

24 Oktober 2014 BNN ungkap jaringan peredaran ganja sebesar 8 ton

5 Januari 2015  BNN tangkap pengedar internasional dengan 862 kg sabu

Terpidana Mati Narkoba

Hingga akhir 2014 terdapat 66 terpidana mati kasus narkoba

18 Januari 2015, enam terpidana mati narkoba dieksekusi

Enam terpidana mati narkoba lainnya yang grasinya ditolak segera dieksekusi

Sumber: bnn/kejakgung/pusat data republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement