Jumat 16 Jan 2015 14:00 WIB

Mehdi Hasan, Direktur Politik Huffington Post Inggris: Kemunafikan Fundamentalis Liberal

Red:

Serangan terhadap kantor majalah mingguan Charlie Hebdo melahirkan perdebatan sengit. Sebagian suara menyatakan serangan itu menebas kebebasan berpendapat, lainnya menegaskan kebebasan pers tetap harus ada batasnya. Republikamenurunkan secara berseri pandangan sejumlah cendekiawan internasional mengenai isu Charlie Hebdo tersebut. Berikut bagian keempatnya.

Kritik tajam menghunjam para fundamentalis. Kritik tertuju bukan ke fundamentalis agama, melainkan ke fundamentalis kebebasan berpendapat. Kritik itu dilontarkan jurnalis Huffington Post Inggris, Mehdi Hasan.  

Melalui tulisan berjudul "As a Muslim, I'm Fed Up With the Hypocrisy of the Free Speech Fundamentalists", Hasan membukanya dengan sapaan kepada mereka, "Dear liberal pundit’’.

Hasan menegaskan, ia membenci dualisme yang mereka (fundamentalis liberal) usung selama ini. Ia lalu mengutip pernyataan Presiden AS George W Bush. Pascaserangan 11 September 2001, salah satu ucapan Bush yang terkenal adalah, "Apakah kalian bersama kami atau dengan para teroris.’’ Pernyataan Bush ini kemudian seakan menjadi kredo dalam perang melawan terorisme.

Hasan menyatakan, ia dan kelompok liberal tak menyukai Bush. Namun, saat terjadi teror dalam bentuk lain, kaum liberal yang mengagungkan kebebasan berpendapat justru menggunakan slogan Bush itu. Dalam konteks serangan terhadap kantor Charlie Hebdo, kelompok liberal mengusungnya dengan kalimat, ‘’Kalian bersama para penganut kebebasan berpendapat atau melawannya?’’

Dua-duanya, kata Hasan, menegaskan konsep "kami dan kalian". Hasan mendesak para pemikir liberal untuk menghentikan prinsip seperti itu. ‘’Kalian berpikir menentang teroris, tapi kenyataannya kalian justru ikut memecah belah dan mempersetankan orang,’’ kata dia. Memang menyusul pembantaian di Charlie Hebdo, banyak pendemo di berbagai negara ikut terbawa arus konsep semacam ini. Konsep "kami dan kalian" dan konsep "liberal barat versus Muslim barbar yang terbelakang".

Kelompok liberal bersikukuh, jelas Hasan, bahwa serangan atas Charlie Hebdo sama dengan serangan pada kebebasan berpendapat. Mantan presiden Prancis garis konservatif Nicolas Sarkozy bahkan mengatakan serangan itu sebagai "deklarasi perang melawan peradaban".

Ajan tetapi, benarkah serangan itu sama artinya dengan "membunuh kebebasan berpendapat?" Hasan bertanya. Betulkah serangan itu sama dengan menodai konsep kebebasan berpikir? Yang jelas, kata Hasan, serangan itu adalah sebuah kejahatan. Bukan sebuah ajakan perang pada liberalisme atau apa pun itu. Justru serangan itu, sambung Hasan, dilakukan oleh generasi muda yang tidak puas dengan kondisi lingkungannya, generasi muda yang teradikalisasi justru bukan oleh kartun Nabi di Charlie Hebdo pada 2006 dan 2011. "Tapi, oleh foto-foto pasukan AS menyiksa tahanan Irak pada 2004," kata Hasan.

Hasan menambahkan, tak ada seorang pun percaya sepenuhnya pada kebebasan berbicara. ‘’Kita sepakat, akan selalu ada batas, demi terwujudnya ketertiban dan tegaknya hukum, yang tak bisa kita langgar,’’ ujarnya. Menurut dia, yang membedakan dirinya dan fundamentalis liberal adalah di mana garis batas itu diletakkan. Ia lalu bertanya, maukah kelompok liberal membuat kartun yang mengolok-olok holocaust atau karikatur korban serangan 11 September yang jatuh dari Gedung World Trade Center? "Tentu tidak," katanya.

Sebuah contoh sederhana disodorkan oleh filsuf dari Universitas Oxford Inggris, Brian Klug. Hasan mengutip Klug yang mengatakan, bayangkan bila ada pria yang ikut berdemo menentang pembantaian Charlie Hebdo di Paris. Namun, pria itu membawa kertas bertuliskan "Je suis Cherif". Cherif adalah nama depan salah seorang penyerang ke mingguan satire itu. "Bagaimana kira-kira pendemo lain bereaksi? Apakah mereka membiarkan dan mendukung pria tersebut dengan alasan kebebasan berpendapat. Atau justru para pendemo lainnya tersinggung?"

Hasan sepakat, tak ada alasan apa pun yang bisa dibenarkan karena membunuh jurnalis atau kartunis. Dia tak setuju dengan pandangan bahwa hak untuk menyerang datang begitu saja tanpa harus disertai rasa tanggung jawab. Ia tak yakin, hak menyerang, melalui kartun, misalnya, secara otomatis bisa diterjemahkan sebagai kewajiban untuk menyerang. Misalnya, ketika pendemo menyatakan ‘’Saya Charlie’’, apakah pernyataan itu sama dengan dukungan bagi Charlie Hebdo membuat kartun Menteri Kehakiman Christiane Taubira yang berkulit hitam, dalam bentuk seekor monyet?

Mantan jurnalis mingguan ini, Olivier Cyran, pada 2013 mengungkapkan, pascaserangan 11 September nuansa Islamofobia memang merasuk ke mingguan itu. Ini yang memicu begitu banyak serangan ke minoritas (Islam adalah minoritas di Prancis).

Menurut Hasan, inilah alasan-alasan mengapa ia tak bisa menjadi atau tak ingin menjadi Charlie, jika semestinya menjadi Ahmed Merabet, polisi Muslim yang tewas karena melindungi Charlie Hebdo.

Charlie Hebdo juga menerapkan standar ganda. Pada 2008, kartunis Maurice Sinet dipecat. Alasannya, ia membuat karya berbau anti-Semit. Kemudian, surat kabar Denmark Jyllands Posten pada 2005 juga menolak menerbitkan kartun yang memperolok Yesus Kristus. Padahal, Jyllands Posten menerbitkan kartu Nabi Muhammad. ‘’Kalian meminta kami tertawa melihat kartun Nabi yang kalian buat dan pada saat yang sama mengabaikan penghinaan terhadap Islam di seluruh Eropa,’’ kata Hasan. Juga, kata dia, mengabaikan diskriminasi terhadap Muslim dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan publik. n ed: ferry kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement