Senin 22 Dec 2014 12:00 WIB

How Low Can Oil Price Go?

Red:

Dalam enam bulan terakhir, harga minyak dunia turun hingga 40 persen, yaitu dari sekitar 115 dolar AS per barel (Juni 2014) menjadi sekitar 70 dolar AS per barel (Desember 2014). Perubahan harga minyak sebagian dipengaruhi aktual supply dan demand dan sebagiannya dipengaruhi ekspektasi.

Permintaan energi sangat terkait dengan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi global saat ini sedang lesu akibat melemahnya pertumbuhan ekonomi di sejumlah penyangga ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Eropa, India, dan lainnya. Di sisi lain, supply energi saat ini dalam posisi over supply.

Setidaknya, terdapat dua faktor yang menyebabkan suplai minyak saat ini melimpah. Pertama, OPEC yang mengontrol sekitar 40 persen pasar minyak dunia gagal mencapai kesepakatan untuk memangkas produksinya.

Kedua, peningkatan produksi tight oil (shale oil) AS. Berdasarkan data dari US Energy Information Administration, pada kuartal IV 2013 produksi tight oil rata-rata mencapai 3,22 juta barel per hari (bph) atau sekitar 41 persen dari total produksi minyak AS yang mencapai 7,84 juta bph. Perlu diketahui, produksi minyak AS menyumbang lebih dari 10 persen dari total produksi minyak dunia.

Kombinasi antara pelemahan aktivitas ekonomi global di satu sisi, di sisi lain terjadi over supply inilah yang menyebabkan harga minyak dunia mengalami penurunan. Pertanyaannya, sejauh mana harga minyak ini akan terus melemah? Pada level berapa penurunan harga minyak ini dapat ditoleransi? Bagaimana implikasinya bagi Indonesia terkait penurunan harga minyak ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya harus dilihat apa faktor yang melatarbelakangi terjadinya kondisi aktual demand dan supply di atas? Pelemahan demand minyak jelas dipengaruhi pelemahan aktivitas ekonomi global. Namun, yang harus dilihat, seberapa tingkat kedalaman dari pelemahan aktivitas ekonomi global tersebut.

Perlu diketahui, kondisi ekonomi AS saat ini memulai membaik. Membaiknya perekonomian AS ini tentunya akan mendorong permintaan energinya. Tapi, AS kini telah berubah menjadi salah satu produsen minyak terbesar di dunia akibat penemuan shale oil-nya. Sehingga, isu pasokan minyak sepertinya bukan menjadi hal yang perlu dikhawatirkan AS.

Penurunan harga minyak yang terjadi saat ini ternyata memberikan implikasi bagi aktivitas ekonomi global. Rusia adalah negara yang sangat dirugikan akibat penurunan harga minyak. Ini mengingat separuh dari penerimaan APBN-nya dan sekitar dua per tiga ekspornya berasal dari minyak. Kondisi ini akhirnya memukul ekonomi Rusia.

Rusia dihadapkan pada ketidakpercayaan pasar akibat penurunan harga minyak. Mata uang Rusia (rubel) terpuruk hingga 40 persen selama 2014. Penurunan rubel ini disebabkan kekhawatiran pasar terkait kemampuan Rusia dalam membayar utang-utang luar negerinya (ULN) akibat penurunan hasil ekspor minyaknya. Selama 2015, perusahaan-perusahaan Rusia harus membayar ULN-nya sekitar 100 miliar dolar AS (the Economist, 16 Desember 2014).

Pelemahan nilai tukar mata uang Rusia ini tentunya tidak bisa diabaikan karena skala ekonomi Rusia yang besar. Dikhawatirkan, apa yang dialami Rusia akan menimbulkan efek domino ke negara-negara lain, khususnya sesama negara emerging markets. Terlebih, pada 16 Desember lalu bank sentral Rusia menaikkan suku bunga acuannya menjadi 17 persen. Kebijakan moneter Rusia ini pastinya akan menimbulkan respons dari negara-negara emerging markets lainnya untuk menjaga agar tidak terjadi capital outflow ke Rusia yang kini bunganya sangat tinggi.

Dari perspektif ini, diperkirakan pergerakan pertumbuhan ekonomi emerging markets tidak akan stabil. Perebutan dana dolar AS di antara mereka dikhawatirkan akan menyebabkan persaingan suku bunga tinggi sehingga menghambat laju pertumbuhan kredit dan ekonomi emerging markets. Ditambah lagi, dengan prospek ekonomi Cina yang tetap akan menjaga pertumbuhannya tidak terlalu tinggi, sekitar 7,5 persen, maka aktivitas ekonomi emerging markets diperkirakan tetap masih akan melambat. Dengan kata lain, dari sisi demand, sepertinya pertumbuhan demand energi tidak akan bergerak terlalu signifikan.

Dari sisi supply, salah satu yang perlu dicermati adalah perilaku produksi dari negara-negara OPEC. Seperti disebutkan di atas, di antara negara OPEC ternyata tidak diperoleh kesepakatan untuk memangkas produksinya. Arab Saudi diberitakan paling menolak pemangkasan produksi. Arab Saudi merasa, harga minyak saat ini, sekitar 70 dolar AS per barel masih acceptable bagi perekonomiannya.

Keengganan Arab Saudi ini memang punya alasan bila dilihat dari karakteristik biaya produksi minyaknya. Arab Saudi adalah produsen minyak yang paling efisien di dunia dengan tingkat biaya produksi lima dolar AS sampai enam dolar AS per barel. Sehingga, katakanlah, harga minyak turun hingga 50 dolar per barel, harga tersebut masih dapat diterima. Saat ini, ketika harga minyak turun ke 70 dolar per barel, Arab Saudi masih memupuk cadangan devisa hingga 900 miliar dolar. Arab Saudi kini menikmati buah dari pemanfaatan teknologi perminyakan sehingga bisa menurunkan biaya produksinya.

Namun demikian, terdapat analisis yang tak kalah menarik di balik keengganan Arab Saudi memangkas tingkat produksinya. The Economist (6/12) menyinyalir, di balik penurunan harga minyak terdapat motif politik bisnis di antara produsen migas.

Dalam analisisnya, Arab Saudi disebut "sengaja" membiarkan harga minyak turun agar shale oil yang kini menjadi primadona di AS "keluar" dari pasar karena tidak mampu menanggung tingginya biaya produksi di tengah rendahnya harga minyak. Kata the Economist, let the price fall and put high-cost producers out of business.

Dari berbagai kemungkinan di atas, sepertinya peluang terjadinya pembalikan harga minyak di level di atas 100 dolar per barel pada 2015 akan kecil. Sebagai net oil importer, Indonesia diuntungkan dengan turunnya harga minyak saat ini. Penurunan harga minyak akan menyebabkan impor migas (termasuk BBM) in value akan menurun sehingga akan menurunkan defisit neraca perdagangan. Bagi APBN, penurunan harga minyak juga akan mengurangi tekanan terhadap defisit fiskal. Dan, logikanya, dengan pola seperti ini seharusnya mendorong penguatan rupiah.

Namun, penurunan harga minyak tidak akan selamanya positif bagi kita. Jatuhnya harga minyak, katakanlah hingga 50 dolar per barel, sesuai batas bawah yang "dapat ditoleransi" oleh Arab Saudi di atas, tentu ceritanya akan lain. Penurunan harga minyak akan menurunkan minat produsen minyak untuk berproduksi. Bila ini terjadi, tentunya akan menurunkan produksi minyak kita dan pada akhirnya akan menurunkan penerimaan dari sisi migas. Sehingga, pada akhirnya akan memberikan tekanan terhadap defisit APBN dan neraca perdagangan dan berpotensi memperlemah rupiah.

Kita berharap bahwa penurunan harga minyak ini tidak akan terus berlanjut agar tetap terjadi keseimbangan antara sisi penerimaan dan pengeluaran dari sisi migas. Namun, tentunya kita tidak ada yang dapat memperkirakan secara pasti: how low can oil price go? Yang paling penting saat ini adalah kita fokus memperbaiki struktural ekonomi kita sambil tetap responsif dalam setiap dinamika ekonomi global. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement