Senin 22 Dec 2014 12:00 WIB

Lenong Ingin Bangkit Dari Kubur (4 dari 4)

Red:

Wartawan Republika Andi Mohammad Ikhbal baru saja merampungkan reportasenya soal pentas lenong, salah satu seni dramatik asli Betawi yang sampai kini masih berusaha eksis di tengah belantara kehidupan modern kota metropolitan Jakarta. Berikut bagian terakhir tulisan.

 

Dayat mengernyitkan dahi. Ada rasa heran pada awalnya. Namun, setelah itu, senyuman lebar mengubah raut wajahnya. Dia mengangguk berkali-kali sambil bertepuk tangan. Lalu, sebuah mikrofon dia dekatkan ke mulutnya.

"Penampilannya bagus. Pesan saya, banyak belajar lagi apa itu lenong," kata Dayat sambil bangun dari sandaran kursi mengomentari beberapa orang yang berdiri di hadapannya.

 

Pria bernama lengkap Hidayat Napis ini merupakan juri festival lenong di Jakarta Utara pada Oktober lalu. Salah satu tokoh pendiri Badan Musyawarah Masyarakat Betawi itu beberapa kali mengkritisi penampilan grup lenong dalam lomba tersebut. Dia mengakui, sebagian besar grup membawakan kesenian tradisional itu di atas panggung tak sesuai pakem serta kaidah lenong.

 

Namun, tak banyak yang Dayat bisa perbuat. Meski salah kaprah, inisiatif pemuda Betawi yang ikut festival ini patut diancungi jempol. Menurutnya, itu salah satu cara mewariskan kebudayaan lenong kepada generasi muda. Mereka tak selalu harus disalahkan. Prinsipnya, anak-anak sekarang harus dirangkul dahulu menghidupkan tradisi leluhur. Pelan-pelan, baru ada pembinaan dan arahan.

 

"Antusiasme orang yang ikut festival lenong terus meningkat. Tahun pertama hanya lima grup, pada 2014 sudah 12 grup. Pola lenong mereka juga semakin baik, tak terlalu menyimpang seperti awal-awal," ujar Ketua Umum Ormas Pankenk Betawi ini.

 

Sebagai juri bersama dua penggiat lenong lainnya, dia memberi waktu kepada peserta festival maksimal 30 menit untuk pentas. Tim penilai ini sepakat mengajak sesepuh lenong ke atas panggung terlebih dahulu. Maksudnya agar tak banyak yang keluar jalur saat mentas.

 

Lenong percontohan itu hanya berdurasi 15 sampai 20 menit, sekadar pembuka festival. Ratusan anak muda yang duduk berjejer di bawah atap tenda tengah-tengah lapangan itu mempunyai bahan perbandingan. Seperti apa lenong sebenarnya dengan skenario yang mereka siapkan.

 

Berbeda dengan zaman "Lenong Rumpi", dia sempat mengajak Hartawan de Fretes sebagai pimpinan lenong itu untuk mengadakan seminar. Tujuannya agar pertunjukan kesenian Betawi di layar televisi tersebut tak banyak menuai protes dari para pelaku dan pengamat seni.

Dia masih menginginkan agar seminar atau diskusi tentang lenong tetap berjalan pascafestival atau sebelum perlombaan. Bukan hanya konsep teater bebas Betawi mereka lakoni, melainkan lenong yang sesungguhnya muncul kembali. "Lenong memang sudah langka. Sudah tidak banyak orang yang nanggep lenong dalam acara hajatan mereka. Cara melestarikannya di kalangan generasi sekarang dengan memarakkan festival. Dari sana mereka kenal dan mencintai tradisi budaya," kata dia.

Pada 1970-an, lenong mempromosikan diri dengan cara ngamen. Setelah itu, mereka mempunyai identitas sebagai pengisi acara hajatan orang Betawi. Lenong mulai redup mendekati 1990-an dengan mulai munculnya media televisi dan hiburan substitusi lain, seperti dangdut dan layar tancap. "Orang yang punya hajat lebih tertarik sewa orkes dangdut atau organ tunggal karena lebih murah, cuma Rp 2-3 juta. Masyarakat sekitar dan tamu undangan sudah merasa terhibur. Sedangkan, lenong itu mahal," ujarnya.

Satu grup lenong bisa membawa 30-40 kru. Belum lagi persiapan lokasi serta panggung yang tak bisa sembarangan. Ongkos pementasannya bisa puluhan juta rupiah. Kalau bukan orang kaya dan mempunyai adat istiadat kental, lenong seolah tak dipersilakan mampir ke acara hajatan itu. Sebagai daya tarik, lenong juga selalu menghadirkan bintang tamu ternama.

Jam terbang para aktor juga membuat nama lenong menjadi lebih komersial. Akibatnya, para penggiat lenong sekarang sulit berkembang. Mereka yang tak mempunyai penerus, hanya menunggu ada panggilan. Sedangkan yang berhasil meneruskan tradisi itu ke anak cucu, umumnya masih bertahan.

Para senior itu biasanya tak lagi produktif mengikuti perkembangan zaman. Mereka tak tahu prosedur mengurus administrasi ke pemerintah daerah. Makanya, grup-grup lenong tua ini juga tak lagi mendapat sokongan mengembangkan diri. Tubuh renta mereka sudah tak memungkinkan mencari relasi dari satu wilayah ke wilayah lain.

Dayat berandai jika pemerintah mengajak para pemilik hotel dan mal di lingkaran Jakarta melestarikan budaya Betawi, nasib pelenong tak akan sengsara. Sayangnya, musik selamat datang dan acara hiburan yang digelar tak selalu kesenian Betawi.

Jika lenong ingin dilestarikan generasi muda, menurut Dewan Pembina Ikatan Teater Jakarta Timur (Ikatimur) Nendra WD, perlu ada inovasi. Pakemnya, lenong mementaskan sejarah dan legenda tokoh Betawi, tapi saat ini tak harus mutlak seperti itu. "Kasih sentuhan modern. Modelnya, seperti Komedi Betawi (Kombet). Memang bukan lenong, tapi kasih sentuhan gaya lenong. Itu bisa dikasih nama ngelenong," kata Nendra.

Pemberian nama ngelenong sah saja karena tak sesuai pakem. Lenong pada era sekarang harus berwarna lain sebagai daya tarik. Upaya melestarikannya pun tak perlu menghadirkan instrumen musik gambang kromong secara lengkap agar hemat biaya.

Namun, pesan kepada para penonton harus tetap dijaga. Contohnya, pementasan berjudul "Hantu Kerak Telur" yang pernah Nendra gagas. Cerita lenong itu menitikberatkan pada kuliner khas Betawi yang mulai tersisih karena maraknya makanan serta kue modern.

Supaya lebih efektif, lenong harus mulai dikenalkan ke sekolah. Ekstrakurikuler kesenian teater menjadi pintu masuk menularkan ilmu ke mereka. Antusiasme para siswa, Nendra mengungkapkan, cukup besar. Sebagai pelatih di sejumlah sekolah di Jakarta Timur, dia yakin lenong mempunyai masa depan.

Sudah waktunya kesenian tradisional ini bangkit dari kubur. Optimisme itu muncul karena penggiat lenong mulai menginisiasikan penyelenggaraan festival demi melestarikannya ke generasi mendatang.

Perwakilan Jakarta Timur ada grup Oplet Robert, Jakarta Utara diprakasai Gelanggang Remaja Jakut, dan Jakarta Barat oleh Grup Inderaja. Pada 2014, mereka sudah memasuki tahun kedua festival lenong. Kelompok-kelompok ini dinilai merangsang kalangan muda mengenal Betawi. "Saya selalu menjadi juri festival lenong itu. Mereka tampil bagus. Cuma kalau di Jakarta Selatan dan Pusat belum terlihat," ujar pendiri Grup Bengkel Lenong Betawi itu.

Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Tatang Hidayat mengatakan, instansinya memiliki kemampuan menjangkau sanggar di pelosok Jakarta dan sekitarnya. Dia mendorong agar para penggiat kesenian tradisional itu langsung mendaftarkan diri ke LKB.

LKB mencatat ada 44 sanggar lenong berbadan hukum di DKI Jakarta tahun ini. Merekalah yang mendapat bantuan pemda melalui LKB. Pemda memang tidak memberi dana hibah secara langsung kepada grup lenong. Tiap sanggar hanya mendapat fasilitas mementaskan tradisi itu sebagai promosi. Untuk pembinaan SDM, pelaku lenong mendapat bekal melalui seminar serta workshop untuk manajeman serta administrasi sanggar.

Tatang berharap agar Pemprov DKI menyetujui usulan LKB terkait dana operasional sanggar paling lambat pada 2015. Alasannya, kebutuhan tersebut  guna perbaikan sanggar dan pelatihan setiap bulan. "Kami juga membuka diri kepada grup lenong perbatasan di Depok, Tangerang, dan Bekasi. Namun secara administratif, dana itu hanya untuk grup di DKI Jakarta," kata Tatang. n ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement