Jumat 19 Dec 2014 13:55 WIB

Lenong Masa Kini Mulai tak Sesuai Pakem ( 2 dari 4)

Red:

Wartawan Republika Andi Mohammad Ikhbal baru saja merampungkan reportasenya soal pentas lenong, salah satu seni dramatik asli Betawi yang sampai kini masih berusaha eksis di tengah belantara kehidupan modern kota metropolitan Jakarta. Berikut bagian kedua dari empat tulisan.

Sebidang tanah beralas semen dengan atap seng, kini hanya dihuni barisan motor tak berpengedara. Tidak ada yang menyangka kalau lahan kosong di Marunda, Jakarta Utara, tersebut dulunya merupakan Sanggar Lenong Betawi Sinar Baru. Kegiatan rutin para penggiat seni tradisional itu sudah mulai meredup. "Dulu kami latihan di sini. Ada papan namanya, tertulis 'Sanggar Lenong Betawi Sinar Baru'. Hanya saja sekarang sudah rusak dan tak lagi terpampang," kata Yamin (67), ketua grup lenong itu.

Alat musik gambang kromong yang dulu kerap mengiringi dia bernyanyi, lebih sering bersembunyi di bilik kecil rumahnya. Jarang sekali ada panggilan ngelenong untuk grup ini. Jika pun ada, hanya sekadar permohonan jasa untuk pria usia senja ini untuk melengkapi grup orang lain.

Memang sudah menjadi risiko penggiat seni. Kalau kurang beruntung, nasibnya hanya menempati sepetak rumah tua yang ukurannya tak lebih besar dari mobil jenis Kijang Inova. Orang yang membesarkan lenong sejak 1969 ini, tetap merasa bangga pernah melestarikan tradisi.

Mengisi hiburan tradisional memang tak selalu membuat orang menjadi kaya. Yamin hanya menaruh harga Rp 13 juta sampai Rp 14 juta untuk sekali pentas dengan membawa 30 orang kru. Para pengisi musik, pelakon, dan penyanyi lenong diakuinya mendapat bayaran Rp 300 ribu per sekali pentas.

Biaya yang dikeluarkan, kata Yamin, lebih banyak untuk keperluan akomodasi dari lokasi ke tempat pertunjukan dan penyewaan alat serta sound sistem. Setidaknya butuh uang antara Rp 2 juta dan Rp 3 juta untuk kebutuhan tersebut. Sisanya, barulah dibagikan kepada rekan satu grupnya.

Kelompok lenong yang dulunya menjadi sumber penghidupan keluarga itu, saat ini menjadi satu-satunya grup di Jakarta Utara. Dia bersama 30 rekannya itu, sempat merasakan hiruk pikuk menjualkan jasa hiburan itu ke kampung-kampung dengan cara mengamen. "Dulu itu, lenong masih ngamen. Jadi, sejak pagi sampai siang hari, kita keliling. Melobi RT/RW dan warga setempat, minta izin kalau ingin adakan pementasan lenong. Lalu warga menyawer," ujar Yamin.

Yamin berkisah, pementasan lenong zaman dulu berlangsung sejak sore hari dibuka dengan acara nyanyian. Lalu sekitar pukul 22.00 WIB, mereka baru membawakan drama berisi cerita-cerita rakyat hingga larut malam. Sambil sandiwara berjalan, para pelakon biasanya mencari donatur dari sekian banyak penonton sebagai pemberi sumbangan.

Penonton yang suka dengan kisah tersebut, akan menyawer dalam jumlah besar. Ada juga tradisi memberikan satu slop rokok ke atas panggung. "Tapi sekarang, ngamen sudah tidak lagi berlanjut. Setelah ada pembinaan dari pemerintah, tradisi lenong ngamen dilarang. Kami pun sekarang berpikir, cara tersebut tak lagi lazim karena sama saja mengemis dan menghina sebuah kebudayaan," kata bapak beranak enam ini.

Sayangnya, ketidaklaziman lenong justru bertambah parah. Mereka yang pentas membawakan tradisi itu di acara televisi, kata Yamin, sudah tak menganut pakem lenong. Sebagian tampil serupa layaknya seni Betawi lainnya, topeng. Sisanya hanya melawak bebas, namun mengklaim sebagai lenong.

Padahal, lenong sendiri berbeda dengan sajian acara itu. Berdasarkan ajaran leluhur, lenong itu membawakan cerita. Ada kisah terkait sejarah dan legenda khas Betawi. Lelucon pun hanya selingan untuk membungkus tradisi ini menarik, tak selalu serius.

Dia menjelaskan, awalnya lenong itu bisa sampai keluar dari 'rel' karena sebagian artis Betawi yang tampil di televisi hanya fokus pada lawakan. Para penonton pun suka dengan komedi semacam itu. Lalu, durasi lenong dipersingkat. Cerita yang dibawakan pun tak mengalir. "Tidak bisa selalu begitu. Lenong ada sejarah. Lenong tak seperti acara TV yang isinya lawakan-lawakan dengan materi singkat," ujar dia.

Sekilas, topeng dan lenong memang memiliki kesamaan. Keduannya membawakan cerita diiringi musik. Namun, sejarahnya lenong itu berawal dari opera kebudayaan Portugis dan teater Tiongkok. Kesenian itu masuk ke daerah Betawi melalui Semenanjung Malaka.

Sedangkan topeng merupakan bawaan dari Jawa Barat, atau masyarakat Betawi pinggiran seperti Bekasi, Karawang, dan Depok. Jika lenong fokus menceritakan sejarah, tema topeng justru kritik sosial mengenai kemiskinan atau hanya menyajikan guyonan semata. "Konsep yang berkembang sekarang, hanya sekadar membesarkan lenong dengan gaya topeng sehingga lenong terbawa arus topeng," ungkap Yamin.

Masuknya tradisi lenong ke tanah ini mengalami asimilasi gaya 'sepik' Betawi. Poinnya adalah menceritakan legenda daerah setempat. Ketika menginjak tanah Sunda Kelapa, maka kisah yang dibawakan pasti terkait sejarah masyarakat seperti kepahlawanan Pitung. Sekarang lebih banyak dimainkan lenong Jagoan, atau dikenal lenong preman. Di mana ada tokoh-tokoh jawara masa dulu yang menjadi panutan masyarakat Betawi," katanya.

Lunturnya pakem lenong ini, menurut dia, disebabkan karena semua televisi swasta enggan merangkul para penggiat kesenian tersebut. Mereka yang berperan dalam pentas itu justru yang tak tahu seperti apa budaya lenong.

Yamin mencontohkan, acara 'Lenong Rumpi Jakarta' yang berjaya pada 1989, pimpinan Hartawan de Fretes. Meski mendapat sambutan hangat masyarakat, namun para penikmat lenong pasti protes. Alasannya lenong itu punya cerita, bukan hanya ngerumpi. "Jika mau ngerumpi, bikin saja acara lawakan rumpi, bukan karena membawa gaya Betawi, lalu mereka mengklaim ini adalah lenong. Sejarah itu punya karakter, punya legendannya," tutur Yamin.

Saat ini, grup lenong senior pimpinan Yamin sudah melalui masa kejayaannya. Para pemain, penyanyi, dan pemusik Lenong Sinar Baru sebagian besar sudah berusia senja. Kalau menurut Yamin, Pemerintah DKI Jakarta, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, akan kehilangan arah jika kesenian Betawi ini hilang.

Lenong Sinar Baru memang terdaftar di instansi itu. Namun, sejauh ini, belum ada pembinaan dan penganggaran dana untuk membangun kembali lenong di Marunda. Sanggar yang hampir roboh itu, sempat diurusnya agar mendapat perhatian pemerintah, namun sampai sekarang belum terlihat sekelompok orang dengan pakaian dinas PNS mendatanginya. "Kami mau melestarikan. Namun, tak etis jika harus kembali ngamen ke kampung-kampung. Saat ini kami masih mengharapkan inisiatif pemerintah."

Instrumen gambang kromong di bilik rumah Yamin memang tampaknya rindu bernyanyi ketimbang berdiam diri di bilik kecil itu. Besi-besi tua dari perak itu tak lagi memiliki warna khas. Sedikit demi sedikit karat mulai menghuni alat musik tua tersebut. n ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement