Kamis 18 Dec 2014 12:00 WIB

Kami Bukan Cuma Bicara Nyablak ( 1 dari 4)

Red:

Wartawan Republika Andi Mohammad Ikhbal baru saja merampungkan reportasenya soal pentas lenong, salah satu seni dramatik asli Betawi yang sampai kini masih berusaha eksis di tengah belantara kehidupan modern kota metropolitan Jakarta. Bagaimana hasilnya? Berikut bagian pertama dari empat tulisan.

Gambang keromong mulai berbunyi. Alat musik tradisional itu diiringi sejumlah instumen modern melantunkan lagu 'Jali-jali'. Alunan nada tersebut seolah memanggil Romli (40), warga Kapuk Muara, Penjaringan, untuk keluar rumah mendatangi sumber suara. "Katanya ada lenong di sana," kata Romli, antusias.

Romli menuntun anak perempuannya yang baru berusia empat tahun. Saat keluar gang, puluhan warga sudah antre menuju lahan kosong di pertigaan kantor RW 05 Kapuk Muara. Dua lampu sorot menembak langit, memberi alamat ke mana mereka harus berkumpul.

Sebuah panggung berukuran 8x6 meter dengan dekorasi berwarna merah berdiri di sana. Ratusan pengunjung sudah berjejer di bawahnya. Mereka menggelar terpal dan spanduk sebagai alas duduk. Sisanya berdiri atau menjadikan gundukan tanah dan tumpukan batu sebagai kursi.

Irama musik membuatnya bergoyang sambil memegang tangan putrinya, melambai-lambai ke arah panggung. "Ini pertama kali lenong muncul lagi di sini. Dulu saya pelakon lenong waktu awal-awal tahun 1990-an," ujar pria asli Betawi itu mengenang masa mudanya.

Pada masa itu, lenong masih popular sebagai pergelaran kesenian rakyat. Romli mengaku sering ngamen dari kampung ke kampung untuk mencari tambahan uang 'jajan'. Ada rasa rindu dengan kejayaan lampau.

Tepat sekitar pukul 20.30 WIB, musik berhenti. Panggung pun tertutup tirai. Ketika dibuka, Ketua Grup Lenong Jali Putra, Burhan, sudah berdiri. Dalam sesi pembukaan, dia melantunkan 'sepik'. Sama halnya seperti salam, menyapa pejabat daerah setempat seperti camat, lurah, dan RT/RW. Beberapa penonton diundang naik ke atas panggung dan mendapatkan hadiah.

Sebelum para pelakon memainkan peran dalam cerita, mereka naik panggung menyanyikan lagu-lagu khas Betawi seperti 'Bibir Merah' dan 'Ketemu Lagi'. Meski hanya nyanyian, para penonton tetap tertawa terbahak-bahak karena gestur dan joget mereka mengundang canda.

Lenong harus berjalan urut sesuai kaidah yang diajarkan para leluhur. Berawal dari gema musik sebagai informasi pertunjukan memanggil warga. Itu pun harus dengan instrumen gambang keromong. Tanpanya, bukanlah lenong. Lalu ada sesi pembukaan, hiburan, dan pementasan cerita.

Belakang panggung menjadi tempat para pelakon merias diri dan ganti kostum. Jafar berperan sebagai jawara kampung mengenakan kopyah hitam, baju kancing terbuka dengan dalaman kaos oblong. Tokoh perempuan, Ika, memakai baju kurung layaknya kebaya.

Namun, untuk mewakili modernisasi dan konsep cerita, pelakon tak semuanya identik dengan pakaian adat. Taufik Lala sebagai orang kaya kampung tampil sewajarnya dengan kemeja biru dan celana jins. Salah seorang aktor perempuan juga hanya menggunakan 'dress' panjang bewarna tanpa lengan.

Menu utama dari pementasan lenong pun dimulai kira-kira pukul 21.00 WIB ditandai penutupan dan pembukaan tirai. Layar bergambar rumah adat betawi menjadi lukisan Setting of place. Sandiwara kali ini berjudul 'Musuh Bebuyutan'. Tema yang diangkat mengenai kebersihan.

Burhan adalah generasi keempat dalam grup Lenong Jali Putra. Nama itu disahkan sejak tahun 1990-an. Pada awalnya, kelompok ini didirikan kakeknya, Samad Modo, dengan nama Lenong Sedap Malam. Setelah itu diteruskan ke Babeh Jali, ayah Burhan dan berganti nama seperti sekarang.

Pria yang sejak lahir mendedikasikan dirinya untuk melestarikan budaya Betawi ini mengaku, dalam melakoni drama lenong, ia dan grupnya tak memiliki persiapan khusus. Jika tema dan alur cerita sudah terbentuk, para pemain secara spontan berdialog dan bersandiawara.

Menurut Burhan, hal yang justru harus dipersiapkan adalah waktu orang-orang yang ada dalam timnya. Sebagian dari mereka menjadikan lenong sebagai profesi sampingan lantaran masih harus kuliah dan bekerja di perusahaan. "Tapi, ada juga yang menganggur, atau cuman ngojek-ngojek, terus sisanya punya usaha kecil-kecilan seperti tukang batu cincin," ujar dia dengan logat Betawi yang kental.

Untungnya lenong berlangsung malam hari sehingga mereka masih bisa melakukan aktivitasnya hingga sore. Lagi pula, kalau siang, pergelaran lenong tak menarik minat penonton. Pertimbangannya, masyarakat masih sibuk dengan rutinitas keseharian dan 'gerah' bagi para pemain.

Burhan mengakui, kesenian lenong mulai meredup. Bukan berarti tak banyak orang yang suka. Antusiasme warga masih sangat tinggi untuk menyaksikan pertunjukan itu. "Cuman yang nanggep (orang yang menyewa jasa lenong) itu nggak banyak. Kedua adalah soal tempat, lahan kosong sudah jarang. Semua sudah dibangun hotel, perumahan, dan bangunan perbelanjaan. Ketiga adalah biaya," tambah dia.

Pergelaran lenong memakan ongkos mahal. Dia mematok harga Rp 35 juta- Rp 40 juta per pertunjukan. Namun, dana itu sudah termasuk dekorasi, sistem tata suara, dan peralatan pendukung. Pihak yang punya hajat tinggal menyediakan panggung dan listrik.

Sekali pertunjukan, ada 30 orang yang ia bawa. Mereka terdiri atas pemain musik, penyanyi, dan pelakon drama. "Kalau hanya ada bujet Rp 20 juta saja saya nggak berani, mau dibagi berapa per orang nanti. Saya nggak enaklah kalau bicarakan itu," kata Burhan.

Selain itu, untuk meramaikan suasana, Burhan selalu menghadirkan bintang tamu artis-artis lenong Betawi seperti Haji Bolot, Taufik Lala, Udin Nganga, Mpok Iin Marlina, dan Munaroh. Menurut dia, orang-orang tersebut memiliki pakem serta satu dapur dengan Lenong Jali Putra.

Bintang Tamu Lenong Jali Putra, Taufik Lala, mengatakan, grup ini masih berjalan sesuai 'rel'-nya. Jika publik hanya melihat acara TV yang mana tokohnya hanya bicara nyablak dan saling cela, itu bukanlah lenong. Tradisi ini jauh lebih cerdas dengan menyampaikan pesan moral. "Contohnya dalam lenong kali ini, kita membawa tema tentang kebersihan, di mana tidak boleh buang sampah sembarang. Lalu ada pesan kepada anak-anak untuk menghormati orang tua mereka. Bukan hanya saling cela," kata seorang aktor sinetron 'Islam KTP' ini.

Dalam era sekarang, dia menyampaikan, lenong harus menjadi media memotivasi orang. Bagi Taufik, kesenian ini adalah cara untuk berdakwah kepada masyarakat.

Anggota Grup Lenong Jali Putra, Jafar (47) juga menceritakan pengalamannya menekuni kesenian budaya ini. Meski bayaran melakoni lenong bukanlah pemasukan pasti per bulan, namun ia tetap bisa menghidupi keluarga dari hiburan tersebut.

Dia mengaku tak bisa keluar dari kehidupan lenong karena tradisi ini sudah mendarah daging di keluarganya. Sejak zaman 'engkong'-nya, Jafar sudah ikut melestarikan kesenian Betawi ini ke kampung-kampung. Sampai sekarang ia tak bekerja di perusahaan dan menjalani profesi apa pun. "Saya tidak bisa kerja di perusahaan. Lebih baik di dunia hiburan saja, kalau sepi ya sepi, kalau ada yang nanggep Alhamdulilah."

Pementasan di Kapuk Muara ditutup dengan petuah dari Burhan yang memerankan karakter Sekertaris RT. Dia mendamaikan Topik dan Jafar yang berselisih karena masalah sampah. Pertunjukan tersebut memberikan pesan kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. "Karena waktu juga sudah malam, lenong ini kami tutup. Terima kasih kepada semua pengunjung yang hadir sampai berjumpa lagi di lain waktu," tutup Burhan diikuti salam hormat dari seluruh pemain lenong. Tak lama terdengar musik dari lagu 'Mari Pulang'. n ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement