Selasa 16 Dec 2014 11:00 WIB

Utang Swasta Picu Kerontokan Rupiah

Red:

JAKARTA - Besarnya utang swasta yang jatuh tempo akhir 2014 dituding menjadi salah satu penyebab rontoknya nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Utang swasta tersebut tidak dimasukkan ke dalam kebijakan lindung nilai (hedging) sehingga rentan terhadap volatilitas kurs.

"BI sudah mengingatkan bahayanya punya utang luar negeri yang tidak di-hedging," kata Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs saat dihubungi Republika, Senin (15/12).

Dalam kurs tengah BI, rupiah pada Senin (15/12) masih dalam tekanan dolar AS sehingga ditutup melemah pada posisi 12.599 dari sebelumnya 12.432  per dolar AS pada Jumat.  Adapun di pasar antarbank di Jakara, rupiah kemarin sore bergerak melemah 194 poin menjadi Rp 12.661 atau merupakan yang terburuk sejak krisis 1998.

Lindung nilai merupakan kebijakan yang umum dilakukan perusahaan untuk mengurangi risiko naik turunnya kurs. Misalkan, satu perusahaan membeli dolar untuk enam bulan ke depan dengan patokan Rp 11 ribu, kendati harga di pasar saat ini hanya Rp 8.000 per dolar AS. 

Pengusaha memang akan rugi jika ternyata dolar pada enam bulan mendatang hanya Rp 10 ribu. Namun, mereka meminimalkan risiko jika dolar ternyata jatuh ke level Rp 16 ribu.

Berdasarkan data BI, dari total utang luar negeri (ULN) swasta sebesar 70,4 miliar dolar AS ternyata hanya 13,6 persen saja yang dilindung nilai. Menurut Peter, BI akan menyempurnakan ketentuan tentang ULN bagi perusahaan. BI telah berkomunikasi dengan asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) terkait hal ini.

Deputi Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengakui, negara yang masih memiliki problem utang luar negeri swasta, inflasi dan, defisit neraca berjalan harus bisa mengendalikan pelemahan rupiah ini.  Mirza memastikan, BI secara aktif hadir di pasar valas dan pasar Surat Berharga Negara (SBN) untuk menstabilkan nilai rupiah.

Hasil stress test BI tentang ketahanan korporasi terhadap pelemahan nilai tukar menunjukkan, 6 dari 53 korporasi publik yang memiliki ULN dan menjadi sampel observasi berpotensi bangkrut apabila rupiah melemah sampai Rp 16 ribu per dolar AS.   

Pengamat pasar uang Farial Anwar mengatakan, pinjaman valas perusahaan swasta yang tak di-hedging akan memicu kepanikan bila terjadi fluktuasi nilai rupiah. "Itu yang menyebabkan kenapa pinjaman utang luar negeri yang tidak terkontrol dampaknya negatif terhadap dunia usaha dan nilai tukar karena beban mereka besar dan membuat ekonomi kita tidak stabil," kata Farial. 

Deputi I Bidang Koordinasi Fiskal dan Moneter Kemenko Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus mengatakan, lindung nilai sangat penting bagi kelangsungan perusahaan. Sebab, jumlah utang bisa membengkak apabila rupiah terus mengalami pelemahan. Kalau utang membengkak, tambah Bobby, perusahaan bisa terancam pailit. "Ujung-ujungnya ada kaitannya dengan kelangsungan usaha, pengurangan tenaga kerja," kata Bobby.  

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Chris Kanter mengatakan, tidak semua perusahaan bisa dipukul rata harus melakukan lindung nilai utang valas. Alasannya, setiap perusahaan memiliki sektor bisnis yang berbeda.

Adapun menurut Mirza, pelemahan rupiah ini hanya bersifat sementara. Sebab, saat ini pasar keuangan sedang melakukan reposisi investasi terkait dengan rapat Bank Sentral AS (FOMC) pada 16-17 Desember. "Yang dikhawatirkan akan bisa bernada hawkish terkait percepatan kenaikan suku bunga the Fed (Bank Sentral AS)," kata Mirza.  Kenaikan suku bunga akan memicu pelarian modal di berbagai negara. n

n c87/rizkijaramaya/satria kartika yudha ed: teguh firmansyah

***

Kurs Tengah Rupiah Sepekan Terakhir

(per dolar AS)

8 Desember :  12.352

9 Desember :  12.347

10 Desember : 12.336

11 Desember : 12.336

12 Desember : 12.432

15 Desember : 12.599

Dana Asing yang ditarik dari obligasi pemerintah satu bulan terakhir (sampai 11 Desember) : Rp 10,09 triliun

Sumber: BI/Kementerian Keuangan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement