Ahad 21 Sep 2014 12:02 WIB
Refleksi

Kredo Kebebasan

Red: operator

Oleh Haedar Nashir -Sebutlah Prancis. Negeri surga kebebasan segala hal. Hari-hari ini, Bandara Charles de Guillard nyaris lumpuh karena pemogokan.

Suasana bandara sepi seperti kuburan. Maskapai Air France membatalkan seluruh penerbangan sehingga moda transportasi darat men jadi pilihan.

Publik seolah pasrah, sebagian tak peduli. Bahwa kebebasan ternyata telah men jadi dewa sekaligus bumerang dan buah simalakama.

Di Negeri Napoleon Bonaparte yang ternama itu lahir trinitas revolusi 1789-1799 dengan kredo liberte, egalite, dan fraternite. Di lapangan Placedela Concorde, Paris, yang eksotik diabadikan monumen tumbangnya sangkar besi rezim diktatorial Dinasti Louis dan segala bentuk pengekangan sebagai penanda lahirnya fajar baru kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang mengilhami seluruh Eropa.

Di negeri yang elok dan klasik ini, makin hari kecenderungan ateis juga kian tinggi meski kaum Muslim makin berkembang. Hal serupa menjadi tren kehidupan masyarakat Eropa modern abad ke-21. Sebagian mereka sebenarnya tidak sepenuh nya anti-Tuhan. Mereka agnostik dan ingin mem praktikkan silent religion, yakni anti terhadap setiap bentuk pelembagaan agama dan beragama dalam pluralisme yang tidak jauh dari trinitas revolusi rakyat itu.

Di Paris, bahkan sekelompok kecil Muslim mem perjuangkan hak politik untuk dibolehkan kawin sesama sejenis. Mereka sudah memprakkannya di bawah tanah yang tentu saja memperoleh penentangan dari arus utama Muslim Prancis maupun masyarakat Islam Eropa lainnya. Virus kebebasan tanpa batas begitu dahsyat sehingga wajah agama pun menjadi tampak kusam dan terbelakang yang kian memperkuat posisi agama baru humanisme liberal-sekuler yang lahir di era renaisans dan pencerahan.

Paradoks kemajuan

Di tengah arus kebebasan dan segala bentuk pemujaan ter hadap demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme absolut, sesungguhnya negeri-negeri Eropa kini dilanda krisis ekonomi yang serius.

Mereka yang dimanjakan oleh kapitalisme, selain harus peras otak bagaimana mampu bertahan agar tidak semakin membuka celah bagi kaum sosialis-demokrat untuk mengambil alih rezim dunia, sebenarnya memiliki penyakit kronis khas kaum borjuis, yakni takut kehilangan sedikit pun dari apa yang mereka peroleh selama ini dalam surplus keserakahan.

Namun, para pemuja rezim sosialis pun teridap penyakit yang sama kronisnya, yakni wa tak arogan dalam spirit populisnya tanpa mau peduli pada orang lain seolah semua manu sia dila hirkan sebagai borjuis dan kapitalis yang absolut harus men jadi musuh.

Jika mereka harus mogok khas kaum Marxian, mogoklah sesuka hati. Manakala suatu saat berkuasa, atas nama kaum jelata membangun rezim baru yang antisegala kemapa nan, tetapi sesungguhnya membentuk kema panan baru dalam wajah diktator proletariat yang sumir.

Jika mau jujur, baik rezim kapitalis maupun sosialis dalam beragam wujud, bukanlah tanpa masalah. Banyak paradoks lahir.

Sebutlah Amerika Serikat yang sejak abad ke-19 mengalami perkembangan pesat dalam kapitalisme industrial. Daerah urban jauh lebih maju ketimbang di Eropa. Tetapi, di balik lompatan kesejahteraan masyarakat perkotaan itu, terjadi ketidakadilan dan kesenjangan sosial dalam bentuk kemiskinan dan ketidakmerataan. Lalu, lahirlah Coun try Life Movement, suatu ge rakan masyarakat urban yang memperjuangkan reformasi sosial, kebudayaan, dan moral, khu susnya bagi reformasi kehidupan kondisi daerah pe desaan di Negeri Paman Sam itu.

Pengalaman negara-negara sosialis-komunis di Rusia dan Eropa Selatan juga tak lepas dari paradoks. Pascamereka memilih jalan demokrasi dan sebagian membentuk pemerintahan sosialis-demokrat, problem kemiskinan juga tetap dihadapi mereka. Negeri-negeri ini sebagian bahkan menjadi pengekspor tenaga kerja sekaligus kaum miskin kota yang menyebar ke belahan Eropa lainnya. Borjuasi elite juga menjadi kehidupan yang tidak jauh beda dari perilaku elite rezim kapitalis, kecuali dalam sejumlah hal yang artifisial.

Sungguh tak ada kredo sistem dan ideologi apa pun yang harus diabsolutkan. Juga untuk kredo trinitas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan yang dibalut dalam rezim humanisme liberal-sekuler. Hukum kekuasa an tetap sama, selalu melahirkan penyimpangan dan kesewenang-wenangan, hanya wajahnya yang berbeda.

Para penganut mazhab humanisme modern boleh trauma dengan agama dan alam pikiran abad tengah yang membelenggu kema nusiaan, tetapi harus pula disadari jangan kemudian membangun sangkar besi baru yang sama membelenggunya karena semua prinsipnya diabsolutkan.

Wajah kita

Bagaimana Indonesia? Sebagi an anak negeri yang gandrung kebebasan kini tengah memperjuangkan perubahan undang-undang ke Mahkamah Konstitusi agar memperoleh hak kawin beda agama. Sebagian lagi begitu memuja demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan civilitas yang absolut. Suara ulama tak digubris. Agama dan ideologi negara yang menganut prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa seolah kredo lapuk yang absolut harus dirombak dan diselaraskan dengan prinsip kebebasan yang mereka sebut berwatak universal.

Rakyat dan Pemerintah Indonesia boleh berbangga diri bahwa negerinya menjelma menjadi sur ga demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme setara negara-negara Barat di mana tiga kredo kebebasan itu lahir dan meluas ke seluruh penjuru bumi. Kini, para ilmuwan, tokoh agama, dan pegiat lembaga swadaya masyarakat bahkan dengan bangga memublikasikan bahwa Indonesia adalah negeri demokrasi ketiga setelah Amerika Serikat dan India.

Alhamdulillah, semua kondisi yang baik itu menjadi anu gerah yang patut disyukuri se bagai buah keberhasilan Refor masi 1998 yang sudah mulai di gugat sekaligus dinikmati hasilnya. Tak ada yang salah dengan gerakan reformasi itu, bahkan melalui gerakan massa itu, rakyat Indonesia menik mati serbakebebasan.

Jika kemudian kebebasan yang kini berkembang itu menjurus kekondisi yang disebut kebablasan, jangan disalahkan gerakan reformasinya. Jarum jam tak bisa di putar ke belakang, kecuali bagi yang ingin kembali ke masa lampau yang serbaterlarang dan mengekang.

Kini, yang diperlukan mengisi reformasi itu dengan prinsipprinsip ideologis kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana diletakkan para pendiri bangsa sebagaimana terkandung dalam spirit Pembukaan dan UUD 1945, serta dasar kepribadian bangsa ini yang berwatak religius berdasarkan agama yang mereka peluk selama ini.

Dalam bahasa Muham madiyah, diperlukan rekon struksi kehidupan yang bermakna, yakni membangun ulang Indonesia dengan prinsip-prinsip yang penuh makna. Bukan sekadar mengejar kemajuan politik, eko nomi, dan budaya semata tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan dan ideologi kebang saan yang telah dianut oleh bangsa ini dan menjadi fondasi negara tercinta ini.

Bangsa ini sungguh perlu belajar dan merenungkan banyak hal. Maka, tak perlu meng-copy-paste kredo demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, kerakyatan, dan apa pun yang selama ini sering diklaim sebagai mazhab universal yang absolut, tetapi sesunggunya tak bebas dari relativitas, paradoks, kepentingan, dan pembelengguan.

Di muka bumi ini tak ada yang absolut, lebih-lebih buah pemikiran manusia yang disebut universal dan diabsolutkan sekalipun. Semua terkena hukum kenisbian. Al-haqqu min Rabbi-kawala takunana min almumtarin, kebenaran mutlak hanyalah milik Allah semata maka janganlan engkau termasuk orang-orang yang ragu (QS al-Baqarah: 147).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement