Sabtu 02 Aug 2014 13:00 WIB

Meraih Mimpi Sukses di Ibu Kota

Red: operator

Fikri duduk beristirahat di dekat mushala Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Jumat (1/8). Pria 19 tahun ini baru saja tiba di Jakarta dari kampung halamannya di Cianjur, Jawa Barat.

Sebelum menuju rumah salah satu saudaranya di daerah Blok M, Jakarta Selatan, Fikri memutuskan untuk beristirahat sejenak. "Capek.Perjalanannya lama dan lumayan jauh," kata Fikri kepada Republika.

Berbekal beberapa potong pakaian, kartu identitas, sedikit uang untuk ongkos angkutan, dan selembar ijazah SMA beserta foto kopinya, Fikri meyakini bakal meraih kesuksesan di Ibu Kota. "Di sini kangudangnya pekerjaan. Kalau sudah di kota, pekerjaan mah ada aja nanti juga,"ujarnya.

Fikri hanya menyandang sebuah tas punggung yang menjadi tempat perbekalannya mencari kerja di Jakarta. Dalam beberapa hari mendatang, dia mengaku akan tinggal di rumah saudaranya.

Fikri berencana melamar pekerjaan di sebuah salon di daerah Blok M. Dia mendapatkan informasi lowongan pekerjaan di salon dari saudaranya. Lantaran persyaratannya tidak berat, terutama menyangkut jenjang pendidikan, Fikri percaya diri akan diterima di salon tersebut.

Kalaupun tidak diterima, Fikri tak akan menyerah. Apa pun kesempatan bekerja di Ibu Kota akan diburunya demi memperbaiki nasib dan meningkatkan kesejahteraannya. "Pekerjaan apa saja yang ada di Jakarta saya bisa kerjakan. Pokoknya kalau pulang kampung nanti harus bawa kabar sukses dari sini," kata pemuda berkulit putih itu optimistis.

Di terminal yang sama, Repu b likabertemu Daud. Pria asal Riau ini mengaku sudah dua kali datang ke Jakarta. Tak menceritakan kisahnya saat kali pertama datang ke Jakarta, Daud kali ini akan mencoba peruntungan dengan menjadi pekerja bangunan. "Mudah-mudahan kali ini suk ses. Sudah ya, saya buru-buru," katanya.

Berbeda dengan Fikri dan Daud yang merantau ke Ibu Kota sendirian, Dewi (21 tahun) datang dari Indramayu, Jawa Barat, bersama dua kawannya, seorang pria dan wanita. Mereka bertiga mengaku kawan akrab selama tinggal di kampung halaman.

Dewi dan dua kawannya bertekad menjadi pekerja di salah satu perusahaan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

"Nggak apa-apa jadi buruh juga, kankalau di Jakarta semua nya serbaada. Saya nggak takut merantau ke sini karena kan bareng temen-temenseperjuangan," kata Dewi. Sama seperti Fikri dan Daud, Dewi bermimpi bisa meraih sukses di Jakarta dan membawa kabar baik saat pulang kampung kelak.

Majikan ke majikan Pada Jumat (1/8), Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, menjadi pintu masuk utama bagi pemudik balik dari daerah di Jawa Barat. Komandan Re gu Satu Dinas Perhubungan Terminal Kampung Rambutan Sugiyono mengatakan, sejak pukul 08.00 WIB sampai 14.00 WIB, sekitar 75 persen dari jumlah pehilir yang tiba berasal dari Jawa Barat, seperti dari Bogor, Bandung, Karawang, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur.

"Bus yang masuk terminal didominasi dari daerah Jawa Barat karena bus-bus dari Jawa Tengah dan Jawa Timur belum banyak yang tiba di sini," katanya.

Salah satu pehilir yang tiba dari Cianjur adalah Imas. Wanita ber usia 35 tahun ini duduk melepas lelah di bangku beton terminal. Sesekali dia memeriksa telepon selulernya. "Saya lagi menunggu dijemput teman," katanya.

Imas bercerita, seorang teman lamanya menawari pekerjaan di Jakarta. Tawaran itulah yang membawa Imas kembali ke Jakarta. Ibu Kota dan daerah sekitarnya bukanlah daerah asing bagi Imas. Sejak 1997, wanita yang hanya lulus sekolah dasar ini sudah bolak-balik mencari peruntungan di Jakarta. Hanya satu jenis pekerjaan yang dia lakoni selama mengadu nasib di kampung Betawi, yakni pekerja rumah tangga.

Imas mengaku sudah berulang kali berganti majikan. "Kalau udah bosensama majikan, saya pulang ke kampung, bertani. Kalau di kampung udah bosen, saya balik lagi ke kota,"tutur Imas.

Imas terakhir kali bekerja di Tangerang, Banten. Selama 13 bulan Imas ikut sang majikan de ngan gaji Rp 800 ribu per bulan. "Majikan saya yang itu pelit, gaji cumanRp 800 ribu, nggak pernah ngasih uang jajan lagi,"keluhnya.

Sejak berhenti bekerja di Tangerang, selama tujuh bulan Imas beraktivitas di desa. Imas kembali banting setir menjadi buruh tani. Upahnya hanya Rp 20 ribu untuk bekerja dari pagi hing ga tengah hari, meski tidak setiap hari ada, ketika musim tanam dan panen.

Merantau ke kota, bagi Imas, adalah pilihan terakhir. Susahnya mengais rezeki di kampung halaman memaksanya datang kembali ke Jakarta. Dia pernah ditawari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Cianjur, tak jauh dari rumahnya. Hanya gajinya Rp 500 ribu per bulan.

Imas pun memilih tak mengambil tawaran itu. "Jadi pembantu di sana sama pembantu di sini kan pekerjaannya sama. Ya men ding di sini kangajinya lebih besar."

Selain berharap kehidupan yang lebih baik, Imas harus membiayai kehidupan dan pendidikan anak semata wayangnya yang kini masih duduk di bangku sekolah dasar. "Sekarang anak saya tinggal sama neneknya. Kalau suami saya, lebih baik jangan ditanya lagi," kata Imas.

Sambil membawa tas ransel berisi pakaian dan dus oleh-oleh untuk temannya, Imas meminta Republika menyampaikan pesan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mampu membuat program yang bisa memajukan warga perdesaan.

"Bangun pabrik, perusahaan, dan majuinpertanian di desa. Jangan kota melulu yang diutamain," kata Imas. rep:c54/c74/c78, ed:eh ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement