Senin 07 Jul 2014 12:00 WIB

Argentina yang Biasa-Biasa Saja

Red:

"Mereka adalah tim yang bermain sangat biasa saja dengan pemain-pemain luar biasa." Demikian komentar pelatih tim nasional Belgia, Marc Wilmots, dalam keterangan pers seusai timnya takluk dari Argentina 0-1 pada laga perempat final Piala Dunia 2014, Brasilia, Sabtu (5/7) waktu setempat. Wilmots mengaku frustrasi timnya gagal melaju ke semifinal meski telah bermain baik.

Menurut Wilmots, dirinya sama sekali tidak terkesan dengan permainan Lionel Messi dan kawan-kawan. Gol cepat striker Gonzalo Higuain pada menit kedelapan pun bukan hasil dari skema permainan terbuka tapi hasil kemelut di pertahanan Belgia. "Tapi, saya melihat pengalaman dari tim sekelas Argentina," Wilmots mengakui, seperti dikutip AFP. 

Meski mampu menguasai penguasaan bola sebesar 51 persen, penampilan tim Tango pada babak perempat final memang tidak impresif. Pelatih Alejandro Sabella sejak menit awal menginstruksikan anak asuhnya bermain dalam tempo lambat. Selama 90 menit laga plus menit tambahan, Argentina hanya bisa membukukan tujuh kali tembakan mengarah ke gawang Belgia.

Penampilan yang biasa-biasa saja dibanding dengan materi yang dibawa Sabella ke Brasil telah terlihat dari laga pertama Grup F melawan Bosnia. Dalam laga yang berakhir kemenangan 2-1 untuk skuat Tango itu, Sabella bereksprimen dengan dengan skema lima bek yang memicu protes dari Messi yang biasa dengan pola menyerang 4-3-3. Namun, perubahan pola dan taktik kemudian juga tidak berpengaruh terhadap penampilan "membosankan" tim Tango hingga perempat final.

Dan, pada Piala Dunia ini, Sabella memang harus menuruti apa maunya Messi yang dalam tiga laga Grup F selalu menjadi faktor pembeda tim. Sabella sepertinya meniru apa yang diterapkan oleh pendahulunya, Carlos Bilardo, pada Piala Dunia 1986. Saat itu, Bilardo menginstruksikan semua aliran bola berpusat pada Diego Maradona yang terbukti sukses berujung juara Piala Dunia.

Begitu pun pada Piala Dunia kali ini, Messi menjadi episentrumnya yang diibaratkan Sabella sebagai "air di padang pasir".  "Setiap dia (Messi) membawa bola, itu mewakili harapan kami semua, tanpa menimbang akan terjadi gol atau tidak, pengaruhnya sangat menentukan," kata Sabella, seusai laga kontra Belgia.

  

Dampak dari ketergantungan terhadap Messi ini adalah sinar pemain bintang sekelas Sergio Aguero, Ezequiel Lavezzi, Gonzalo Higuain, dan Angel Di Maria seperti meredup. Argentina tidak bermain seperti layaknya sebuah tim unggulan yang sampai sejauh ini hanya bisa menang dengan selisih satu gol pada semua laga di Brasil. Laga kedua Grup F melawan Iran menjadi bukti apa yang dibilang Wilmots bahwa skuat luar biasa Sabella tampil biasa-biasa saja.

Tapi, setidaknya buat Argentina, satu penantian panjang telah berakhir di Brasilia. Setelah 24 tahun menunggu, tim Tango akhirnya mampu melangkah ke semifinal yang terakhir dicapai Maradona dkk pada Piala Dunia 1990. Dalam lima edisi Piala Dunia sebelumnya, raihan terbaik Argentina hanyalah sampai pada perempat final.

Kepercayaan diri pasukan La Albiceleste pun langsung bangkit. Lionel Messi dkk tidak ingin langkah mereka terhenti pada semifinal. Argentina bertekad mengakhiri penantian panjang lainnya. Yakni, menjadi juara setelah terakhir kali merasakannya pada Piala Dunia 1986. "Tim ini layak (ke final), saya bisa melihatnya. Kami harus berjuang untuk itu dan itulah tujuan penting kami," kata Higuain dilansir Football Italia.

Keyakinan semakin menguat karena Argentina punya rekor bagus pada semifinal. Sudah tiga kali Argentina lolos ke babak empat besar sepanjang keikutsertaannya pada Piala Dunia, yaitu pada Piala Dunia 1978, 1986, dan 1990. Pada tiga edisi tersebut, Argentina selalu lolos ke final. Bahkan, dua kali menjadi juara (1978, 1986).

abella mengaku tak khawatir dengan komposisi skuatnya menjelang laga semifinal kontra Belanda pada Rabu (9/7) mendatang. Terlebih, lini belakang tim Tango yang sebelum Piala Dunia 2014 disebut sebagai terburuk dari beberapa tim unggulan justru telah menunjukkan performa apik. Who Scored mencatat, bek tengah, Ezequiel Garay, menjadi pemain dengan akurasi operan hingga 95,4 persen dibanding pemain lain pada turnamen ini. "Setelah 24 tahun mereka akan mencatat sejarah baru," kata Sabella. rep:c56/c84/reuters ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement