Selasa 27 Sep 2016 14:52 WIB

Menjaga Film Jadul Terus Ada

Red:

Pernah menyaksikan film Lewat Djam Malam atau Tiga Dara karya Usmar Ismail? Film yang diproduksi sekitar 1950-an ini belakangan sempat muncul menghiasi layar lebar Tanah Air. Menyaksikan film lama, kita seolah diajak untuk memutar kembali waktu. Menikmati suasana jadul, gaya bicara yang beda, hingga busana yang tren saat itu.

Seru, bukan? Di balik keasyikan itu, yang menarik disimak adalah film lawas ini dapat diputarkan kembali dengan hasil yang cukup baik untuk ditonton.

Ternyata, kedua film tersebut merupakan hasil restorasi. Apa itu restorasi? Restorasi merupakan sebuah cara mengembalikan sebuah film tua menjadi laik tonton kembali. Memang cara ini belum banyak dikenal, berbeda dengan pembuatan film baru. Namun, bukan berarti tidak perlu. Lisabona Rahman, sosok yang berada di balik restorasi dua film tahun 1954 dan  1956 itu, menyatakan restorasi film sangat penting dilakukan. Sebab, banyak hal yang dapat dipelajari dengan melihat kembali hasil karya sineas-sineas pada masa lalu. "Kalau kualitas baik, kita bisa mempelajari dengan lebih detail karya pendahulu kita. Ini menurut saya merupakan kebutuhan yang sangat mendasar supaya kita bisa membangun identitas budaya dalam diri kita," kata lulusan S-2 Universitas van Amsterdam, Belanda, dalam acara diskusi "Restorasi dan Sensor", belum lama ini.

Boleh dibilang film zaman dulu dapat menjadi referensi paling mudah untuk mempelajari budaya masyarakat Indonesia. Dalam film akan terekam kondisi sosial, musik, bahasa, hingga adat kebiasaan yang pastinya sudah jauh berbeda dengan masa sekarang. Namun, sebelum memasuki restorasi, perempuan yang pernah bekerja di lab restorasi film di Bologna, Italia, ini menekankan pentingnya preservasi atau mengumpulkan dan menjaga materi asli film. Bahkan, Lisa menekankan, preservasi ini justru lebih penting ketimbang merestorasi film.

Proses restorasi yang paling canggih sekalipun, menurut Lisa, tidak akan mungkin bisa menyelamatkan suatu film kalau materi asli sudah rusak. "Preservasi itu seperti proses perawatan rutin kesehatan tubuh kita. Jadi, tetap terawat dan potensi penyakit bisa dideteksi. Mencegah sejak awal menelan biaya yang relatif murah, karena restorasi itu ibarat operasi, bisa menyembuhkan tapi sangat rumit dan mahal," kata Lisa.

Sayangnya, kualitas preservasi di Indonesia masih sangat buruk. Lisa berkaca dari pengalamannya yang sempat patah hati ketika pertama kali dapat menikmati film Pagar Kawat Berduri. Dia harus pasrah dengan kualitas gambar film yang sangat buruk, padahal film itu dirilis tahun 1961, tidak begitu lama dengan generasinya. Dia merasa merupakan hak semua orang untuk menikmati film-film lawas alias jadul dengan kualitas yang lebih baik.

Kemudian, bagaimana cara untuk menjaga film jadul tersebut? Lisa menjelaskan, butuh ruang khusus dan orang-orang dengan keahlian khusus yang harus menanganinya. Negatif film yang berbentuk gulungan atau seluloid yang berbahan asetat jika didiamkan semakin lama maka akan terus mengerut.

Dalam jangka panjang, ini akan berdampak pada munculnya jamur sehingga membuat kualitas gambar hancur, bahkan menghilang. Ketika akan diputar pun, mudah saja patah. Medium film tidak dapat dimungkiri seperti tubuh manusia yang memiliki umur hidup. Dalam kualitas gambar yang direkam seluloid, dapat ditakar tingkat kerusakannya dengan A-D Strip, melalui skala 0 hingga 3. Maka, dapat dilihat kondisi film dan rekomendasi cara penyimpanannya.

Semakin tinggi angka yang ada, maka kondisi gambar film tersebut semakin memprihatinkan dan membutuhkan penanganan secepat mungkin agar tidak benar-benar hilang. "Dalam proses perusakan ini pada awal jalannya lambat dari level 0 ke 1 atau 1,5 lambat, lebih dari itu tambah cepat," ujar Lisa.

Untuk itu, diperlukan tempat penyimpanan khusus yang suhu ruangannya akan selalu tetap sama agar film bisa bertahan lama. Secara normal jika film ditaruh dalam suhu ruangan 16 derajat Celcius dengan kelembapan 20 persen, akan bertahan hingga 45 tahun, bahkan jika disimpan dalam suhu 4 derajat Celcius dengan kelembapan 20 persen bisa hingga 230 tahun.

Sedangkan, di Jakarta sendiri memiliki kelembapan sekitar 70 hingga 80 persen ketika tidak hujan, sedangkan saat hujan kelembapan semakin meningkat hingga 100 persen. Jadi, kamu bisa bayangkan bagaimana kondisi film jadul jika preservasi masih seperti saat ini? Bisa diprediksi semua film peninggalan sineas-sineas zaman dulu akan hancur dan tidak tertolong.

Jajang C Noer, seorang pelaku seni sekaligus istri almarhum Arifin C Noer, menilai upaya untuk menjaga peninggalan film jadul merupakan sebuah hal yang memang penting. Dia merasakan betapa sulitnya menemukan negatif asli dari film yang pernah diperankannya dulu atau film almarhum suaminya sebab preservasi di Indonesia buruk.

Dia hanya bisa menyalin gambar yang bisa ditemukan di DVD sebab negatif film tersebut sudah hilang entah ke mana atau rusak. "Meski sekarang bisa lihat di internet, seperti buku, saya menginginkan bentuk aslinya bukan bentuk digital karena bagaimana pun ini jadi arsip," ujar peraih Piala Citra di Festival Film Indonesia tahun 1992 ini.   rep: Dwina Agustin, ed: Endah Hapsari

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement