Udin (Ajil Ditto) memilih untuk menyelesaikan masalah dengan sikap tenang dan penuh senyuman dalam menjalani hidup. "Kita ketawain waelah masalahnya, nanti masalahnya malu terus pergi sendiri," katanya.
Bagi Udin, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan damai, dan ini yang membuat anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Cimaja, Sukabumi Selatan, itu menjadi andalan bagi orang-orang sekitarnya.
Setiap masalah yang terjadi di sekelilingnya, Udin hampir selalu bisa menyelesaikan. Ketika Apang (Fandy Christian) malu gara-gara masih menganggur di perantauan dan mencoba bunuh diri, ada Udin yang mengetuknya dengan cara nekat dan kata-kata penuh motivasi. Hingga satu titik Udin merasa kewalahan dengan kehadiran Suli (Bella Graceva) dan masalahnya.
Siswa pindahan yang masuk dalam kehidupan Udin dan ketiga kawan akrabnya --Inong (Zulfa Maharani), Jeki (Difa Ryansyah), dan Ucup (Aldy Rialdy)-- itu memiliki penyakit tumor ganas di otak yang sudah parah. Dia divonis tidak akan bertahan hidup dalam waktu lama. Udin tidak ingin kehilangan kawan baru yang diam-diam telah merebut hatinya itu juga.
Diam-diam, ada satu kebiasaan Suli untuk menyiasati masalah kesehatan yang dialami. Dia begitu suka melakukan sayembara pada teman-temannya, memberikan tantangan dan siapa yang berhasil akan mendapatkan hadiah.
Seperti kasus guru galak yang suka menghukum hingga berani memukuli murid di sekolahnya, Suli membuat sayembara untuk menyelesaikan masalah ini dan tentu Udin pula yang turun tangan menyumbangkan ide untuk membuat teman-teman lainnya bersatu melawan guru itu, agar bisa dikeluarkan dari sekolah.
Sejak peristiwa itu, perasaan Udin pada Suli semakin dalam, tapi Udin tidak bisa mengungkapkan rasa. Di satu sisi, Udin harus bisa mengungkapkan rasa ketertarikan itu. Terlebih lagi, kondisi Suli yang sangat tidak memungkinkan untuk pulih. Udin tidak ingin menyesal jika terlambat mengutarakan rasa cinta pada gadis yang sudah memikat sejak memperlihatkan kepala botaknya di awal perkenalan dalam kelas.
Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama dengan filmnya, The Fabulous Udin, karya Rons Imawan tersebut sangat ingin menampilkan sesosok anak remaja yang hebat.
Sayangnya, dalam eksekusi sosok Udin, berwujud seperti orang dewasa yang terpenjara dalam tubuh anak remaja. Kata-kata motivasi yang berhamburan dari mulut Udin justru malah mengesankan anak SMP ini sudah sangat tua.
Pilihan kata yang digunakan untuk menggambarkan motivasi-motivasi yang ingin diberikan terasa kurang tepat jika digunakan untuk anak seusia Udin. Meski dalam film sempat diperlihatkan jika Udin mengagumi Albert Einstein dengan memasang poster di dalam kamar, tapi bukan berarti kata-kata yang digunakannya mirip orang tua yang sedang menceramahi seorang anak. Pemilihan kata-katanya menjadi sangat sulit dipahami. Bahkan, hal ini tidak hanya terjadi pada Udin, tapi juga Suli.
Selain itu, tidak ada kejelasan apa-apa tentang alasan di balik perilaku hebat Udin di usianya yang masih muda, kecuali poster Einstein. Udin yang menjadi poros utama, justru tidak dibangun dengan kuat asal-usul setiap kehebatan yang dimilikinya.
Naskah film yang ditulis oleh Cassandra Massardi ini terlalu asyik menampilkan konflik-konflik yang dipecahkan Udin dan percintaan anak remaja, yang sebenarnya jika tidak ada pun tidak akan bermasalah dalam cerita.
Satu hal yang menarik adalah sosok Ainun. Karakter yang diperankan oleh Musdalifah Basri ini justru mampu lebih mencuri perhatian dibandingkan lima pemeran utama yang ada. Bahasa dan gaya yang dihadirkan sangat khas anak SMP yang luwes dan wajar. Selain itu, guyonannya yang hanya satu dua kalimat juga terasa pas menyelip dalam satu adegan.
Hal lain yang tidak kalah unik adalah, film yang diarahkan oleh Herdanius Larobu ini sangat royal dengan kata-kata penuh motivasi. Hampir sepanjang adegan akan dihiasi kutipan menarik dan layak dipajang di akun media sosial kamu. c27, ed: Endah Hapsari