Rabu 30 Sep 2015 13:00 WIB

Curhat Di Media Sosial

Red:

Kecanggihan teknologi yang telah mem permudah orang untuk berkomunikasi, menyampaikan pendapat, dan berbagi informasi, tak jarang menjadi bumerang bagi penggunanya. Tanpa memerhatikan apa yang diunggah ke media sosial, kita bisa merugi. Nama baik dan bahkan karier bisa menjadi taruhannya. Tengok saja nasib salah seorang guru olahraga di Amerika Serikat yang mengunggah foto diri bersama sang kekasih ke Facebook pada 2013. Begitu pihak sekolah mengetahuinya berpose tak pantas sebagai seorang pen didik, ia pun dipecat dari pekerjaannya.

Selain foto, video maupun tulisan yang terunggah ke media sosial juga bisa mendatangkan bala yang sama. Risiko itu hanya bisa dihindari oleh pengguna media sosial yang bijaksana. "Hanya kita sendiri yang bisa mem-filter konten yang akan kita unggah," jelas Mathilda Birowo, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Etika menggunakan media sosial sebetulnya sudah ada, namun tak efektif memandu penggunanya. Alhasil, sebe lum mendapat masalah, orang-orang tidak akan sadar akan kekeliruannya. Entah akibat mem-posting foto, video, atau narasi. "Segala yang ada di media sosial adalah milik publik, meskipun sebetulnya kita sudah mengaturnya sede mikian rupa agar sesuatu yang kita unggah tak bisa terlihat oleh sembarang orang," ucap Hilda.

Banyak orang, termasuk kalangan pekerja, yang begitu mudahnya mengunggah sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya ke akun media sosial. Aktivitas ini bisa jadi mendatangkan masalah. "Lebih berbahaya lagi, banyak orang menilai kita hanya berdasarkan apa yang mereka lihat melalui media sosial," kata praktisi kehumasan yang akrab disapa Hilda ini. Sekali terunggah ke internet, posting-an akan tersimpan permanen. Kalaupun dihapus, posting-an tetap akan diingat oleh teman-teman. "Kita bisa lihat contohnya tokoh yang tercoreng namanya karena salah berucap di dunia maya," jelas Hilda.

Selektiflah memilah konten untuk akun media sosial. Apa pun bentuknya, coba hindarkan mengunggahnya bila dirasa akan memberi dampak negatif untuk penilaian kita sendiri. Kelompok pekerja pun perlu mempertahankan sikap yang sama. "Meski tidak ada teman kantor atau atasan dalam lingkaran pertemanan di dunia maya, jangan sembarang mengumbar isi hati," ucap Hilda mengingatkan.

Berteman dengan atasan di media sosial sebetulnya bukanlah masalah. Penilaian terhadap karakter kita akan aman selama kita tak mengumbar ma sa lah pekerjaan ke media sosial, apa lagi kalau ma salahnya bersifat agak spesial. "Per sep si setiap orang yang membaca bisa berbeda," kata Hilda.

Dalam lingkup yang lebih luas, Hilda mengingat kan masyarakat un tuk menjauhkan gadget saat tengah emosi. Dengan be gitu, kita tak akan terlalu mudah me lam piaskan kekesalan ke media sosial. "Kalau sudah emosi, kita tak sadar dan tak pakai logika mengunggah sesuatu yang ternyata bisa berefek panjang, dan saat sadar, baru kita menyesal," ujar Hilda. Posting-an bernada curhat sebetulnya dapat pula berdampak positif. Kepiluan saat mengetahui kenyataan nasib orang lain ataupun pengalaman getir, bisa menggerakkan empati netizen. Terkumpulnya koin untuk Balqis dan membanjirnya dukungan terhadap petisi yang digulirkan oleh ibu menyusui yang diusir dari kedai donat demi perokok merupakan dua contoh kasusnya.

Pengguna media sosial tidak bisa menuntut orang untuk tidak mengunggah masalah internalnya. Apalagi, orang mengelola emosinya dengan beragam cara. "Di era media sosial, banyak juga yang mem-posting sumpah serapah, tapi orang seperti itu pasti kesantunannya dipertanyakan karena tidak memahami etika di ranah publik," jelas sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida.

Kasus perseteruan penyanyi kondang Krisdayanti dengan anak kandungnya di Instagram contohnya, bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Aktivitas tokoh masyarakat di media sosial niscaya ikut membentuk opini publik. "Padahal seharusnya selebritas atau pejabat bisa menjadi contoh dalam menggunakan media sosial secara bijak," ucap Ida.

Sebaiknya, gunakan media sosial tersebut untuk mengekspresikan hal yang berguna. Boleh saja meng ungkap masalah, tapi yang bermanfaat bagi kepentingan publik. "Kegusaran kita saat berhadapan dengan masalah kemacetan, jalanan rusak, dan lainnya bagus diangkat sehingga bisa menjadi alat kontrol sosial," ujar Ida. ¦ c32 ed: reiny dwinanda

***

Setiap Orang Butuh Curhat

Setiap orang butuh curhat dan gaya mengungkapkannya berbedabeda. Ada orang yang lebih memilih menulis dalam sebuah buku harian dan ada yang memilih untuk bercerita secara langsung pada teman terdekat atau keluarga. "Ada pula yang baru merasa lega setelah menyalurkan emosinya dengan merobek kertas lalu membakarnya," kata psikolog keluarga Anna Surti Ariani.

Tak jadi persoalan kalau hanya diri sendiri atau orang-orang terdekat yang mengetahuinya. Lain persoalan jika ekspresi kemarahan maupun curahan hati itu dimunculkan ke media sosial. "Bersiaplah dengan penilaian orangorang yang mungkin menganggap kita terlalu emosional atau lemah karena sering curhat," ujar psikolog yang akrab disapa Nina ini.

Agar tak repot menangani masalah yang timbul akibat curhat sembarangan, selektiflah memilih tempat curhat. Gunakan fasilitas jalur pribadi untuk mengobrol secara tertutup dengan orang yang dituju. "Kalau kita tulis di status, jadinya orang-orang melihat kita hanya bisa ngomel," jelas Nina. ¦ ed: reiny dwinand

***

Pertimbangkan Dampaknya

Andaikan posting-an kita tak sesuai dengan norma di masyarakat, bersiaplah terkenal dengan cara yang menyakitkan. Kisah seorang perempuan yang memposting kekesalannya karena harus memberi tempat duduk untuk ibu hamil merupakan contohnya. Akibatnya, perempuan ini menjadi korban bully para netizen.

Nina memerhatikan sejumlah orang memang memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya ke media sosial. Entah itu karena tren masa kini yang membuat mereka merasa ini adalah tempat yang tepat untuk berkeluh kesah atau keinginan mencari sensasi.

Pilah apa saja yang seharusnya di-posting ke media sosial. Kalau ingin sekali mengungkapkan sesuatu melalui akun jejaring sosial, gunakanlah kata-kata yang pantas. "Langkah bijak ini akan menjaga kita dari berbagai kerugian, salah satunya menjadi korban bully," ujar Nina.

Di samping itu, ada bahaya lebih besar lagi. Salah-salah, ada pihak tertentu yang memanfaatkan kegundahan hati yang diperlihatkan di media sosial. "Bagi remaja, risikonya bukan sekadar di-bully teman-temannya, tapi banyak sekali predator di dunia maya yang memanfaatkan ini untuk mendekati mereka kemudian terjadilah penipuan hingga perkosaan," ujar pengamat internet, Judith MS Lubis.

Untuk kelompok pekerja, curahan hati di media sosial dapat menjadi bumerang bagi karier. Meski kita tak berniat untuk memojokkan seseorang, namun semua yang ada di media sosial bisa dengan mudah menjadi milik publik. "Meski kita curhat hanya pada orang tertentu, selama memakai teknologi, misalnya layanan pesan singkat, siapa pun bisa iseng memperlihatkannya ke orang lain dan ujungnya merugikan kita," jelas Judith seraya mencontohkan kasus Prita Mulyasari dengan salah satu rumah sakit swasta pada 2009.

Kalau gusar dengan pelayanan suatu institusi, bijaksanalah mengelola emosi. Apa pun keluh kesah kita, jangan sampai menyebutkan institusi, nama perusahaan, atau orang yang kita permasalahkan ke media sosial. "Kecuali memang ada bukti yang jelas," kata Judith. ¦ ed: reiny dwinanda

***

Tulisan Cerminan Karakter

Foto, video, ataupun tulisan yang terunggah ke media sosial terkadang bisa menunjukkan kepribadian pemilik akun. Akan tetapi, informasi tersebut hanya bisa memperlihatkan sebagian kecil karakter orang, bukan keseluruhan. "Orang sengit biasanya mudah marah dan itu terlihat dari apa pun yang ia tulis di akun media sosialnya," kata psikolog A Kasandra Putranto.

Selain karakter pengunggah, karakter orang yang sering berkomentar juga bisa terdeteksi. Pembaca dapat menilai apakah orang yang berkomentar ini tahu benar mengenai persoalan yang dikomentari. Komentar orang yang asal bunyi biasanya tidak relevan. Orang yang mudah mengunggah masalah pribadi ke media sosial tidak memiliki filter yang bagus. Bisa jadi, ia berperilaku demikian karena ketidaktahuannya. "Mungkin saja dia tak menyangka media sosial mempunyai kekuatan yang efeknya sangat besar," ujar Kasandra.

Selain itu, orang yang gagap teknologi juga sering kali tidak terfilter posting-annya. Ada saja orang yang tidak mengetahui gadgetnya tersambung langsung ke akun media sosialnya. "Tanpa sengaja ia telah memublikasi apa yang seharusnya tidak tersiarkan ke publik. Ketidakmampuan mengendalikan diri pun ada andilnya. Orang yang pengendalian dirinya lemah, seringkali begitu tertimpa masalah langsung curhat ke media sosial. "Mereka tidak bisa memilih mana yang memang untuk porsi umum, mana yang tidak," ungkap Kasandra.

Tak hanya itu, ada juga orang yang sengaja curhat melalui akun media sosialnya untuk meredakan stresnya. Tekanan batinnya berkurang setelah berbagi cerita. Padahal, itu sebenarnya hanya masalah persepsi saja. "Setiap masalah yang dihadapi bisa dituangkan ke dalam bentuk tulisan ke media yang lebih pribadi seperti di buku harian, bukan di media sosial," ucap Kasandra.

Karakter pribadi dan media sosial sangat mempunyai hubungan timbal balik yang saling memengaruhi. Apa yang dibagi di media sosial sangat bisa merefleksikan karakter seseorang, dan media sosial juga mampu membuat hidup seseorang berubah. Setiap orang mempunya profil psikologis yang khas dan bisa jadi dipengaruhi oleh satuan waktu. "Kematangan, kestabilan emosi, sikap, kebiasaan, dan persepsi turut berpengaruh." ¦ c32 ed: reiny dwinanda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement