Jumat 21 Oct 2016 11:00 WIB

FOKUS PUBLIK- Dewasa Hadapi Isu SARA

Red:
Massa yang tergabung dalam Lintas Pemuda Etnis Nusantara membawa poster saat aksi kampanye di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (9/10).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Massa yang tergabung dalam Lintas Pemuda Etnis Nusantara membawa poster saat aksi kampanye di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (9/10).

Suasana menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 diramaikan dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Di Jakarta misalkan, calon pejawat, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menuai kecaman keras dari masyarakat, khususnya warga Ibu Kota.

Kecaman ini bermula ketika Ahok mengadakan kunjungan ke Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada 27 September lalu. Di sana Ahok sempat menyampaikan arahan di hadapan masyarakat setempat. "Bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu nggak bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai surah al-Maidah: 51 macem-macem itu," ujar Ahok ketika itu.

Pernyataan Ahok tersebut muncul di rekaman video berdurasi 1 jam 48 menit 33 detik yang diunggah akun Youtube Pemprov DKI berjudul "27 Sept 2016 Gub Basuki T Purnama Kunjungan ke Kep Seribu dlm Rangka Kerja Sama dgn STP." Kalimat berbau SARA itu terdengar pada menit 24 dari detik 15-23 pada rekaman itu.

Ahok mendapat kritik keras dari sejumlah kalangan karena dianggap telah melecehkan Alquran. Sejumlah tokoh dan ormas Islam menilai omongan tersebut melukai hati masyarakat Islam.

Pada 10 Oktober lalu, sebulan setelah kunjungan Ahok ke Kepulauan Seribu, Ahok meminta maaf kepada siapa pun yang kecewa dengan pernyataannya yang menyebut surah al-Maidah ayat 51.

"Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa," kata Basuki di Balai Kota DKI Jakarta.

Dia mengaku bukanlah orang yang anti atau memusuhi agama tertentu, termasuk Islam. Selama pemerintahannya, banyak madrasah yang mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan, permohonan maaf itu merupakan pengakuan kalau apa yang dilakukan memang salah. Permintaan maaf Ahok secara moral dan etika telah diterima. Tetapi, urusan hukum adalah hal lain. "Yang penting masyarakat jangan melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan kerusakan," ujar dia.

Ma'ruf mengimbau agar masyarakat tetap dingin dan tak brutal menyikapi situasi yang terjadi. Semua harus bersabar menunggu proses hukum yang telah diajukan beberapa pihak terkait pernyataan Ahok yang tersebar melalui video.

Presiden Joko Widodo mengomentari kegiatan Pilkada DKI Jakarta, khususnya terkait dengan persoalan SARA. Dia meminta aparat untuk turun tangan menjaga situasi keamanan.

Meski sudah meminta maaf, puluhan ribu umat Islam tetap menginginkan Ahok diproses hukum. Mereka turun ke jalan berdemonstrasi damai pada Jumat (14/10).

Republika mengadakan jajak pendapat terkait isu SARA menjelang Pilkada 2017. Jajak pendapat ini dilaksanakan untuk mengetahui respons masyarakat terkait isu SARA yang marak bermunculan akhir-akhir ini.

Hasilnya, mayoritas responden tidak memilih kandidat yang memainkan isu SARA. Mayoritas responden juga menilai isu SARA memengaruhi elektabilitas calon kepala daerah.

Jajak pendapat ini dilakukan sejak Kamis (13/10) hingga Rabu (19/10) melalui media sosial. Ribuan orang memberikan pendapatnya dalam jajak pendapat ini. Sebanyak 2.132 responden berpartisipasi dalam jajak pendapat ini.

Pada September lalu, Republika juga menggelar jajak pendapat mengenai pilkada. Sebanyak 3.258 pengguna media sosial memberikan pendapatnya. Jajak pendapat mengenai pilkada mendapatkan banyak respons.     ed: Erdy Nasrul

DATA

Setujukah isu SARA menjadi bagian kampanye negatif?

47 persen iya

53 persen tidak

350 responden

Apakah kasus SARA memengaruhi elektabilitas calon kepala daerah?

83 persen iya

17 persen tidak

690 responden

Apakah akan memilih kandidat yang memainkan isu SARA?

10 persen iya

90 persen tidak

1.092 responden

***

Nilai Kebinekaan Tergerus Isu SARA

Didi Jahidi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mercubuana Jakarta

Isu SARA, khususnya jelang pilkada, menjadi momok bukan saja bagi masyarakat Jakarta, melainkan juga masyarakat seluruh Indonesia. Isu ini telah membuat nilai bangsa Indonesia tentang Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) ternodai. Momentum pilkada telah bergeser dari persoalan politik menjadi isu SARA yang mengancam kesatuan NKRI.

Semestinya Pilkada DKI adalah ajang politik untuk mempertandingkan visi dan misi dari ketiga bakal pasangan calon yang sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum DKI.

Isu SARA bermula dari pernyataan Pak Ahok soal surah al-Maidah ayat 51 yang tidak pada tempatnya, provokatif, arogan, dan tidak sejalan dengan upaya menghadirkan toleransi dan harmonisasi dalam kehidupan beragama. Juga tidak sejalan dengan upaya mewujudkan demokrasi yang damai dan kondusif.

Agama adalah hal yang agung dan mendasar bagi setiap umat. Jika diusik dan disinggung, apa pun alasannya, bisa menyulut ketersinggungan, kemarahan, bahkan konflik.

Konstitusi secara tegas telah menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama sebagai hak dan menjamin kebebasan bagi setiap pemeluknya untuk menjalankan tuntunan agama sesuai dengan keyakinan. Pilkada harus berjalan secara fair sejalan dengan prinsip demokrasi. Jangan ada politik uang, intimidasi, dan politisasi birokrasi, dengan memengaruhi, menekan, dan mengerahkan aparat untuk pemenangan.

Para calon tidak boleh terjebak, apalagi dengan sengaja mengeksploitasi isu SARA, terlebih mengarah kepada penistaan agama atau kitab suci agama tertentu. Pemimpin atau calon pemimpin harus menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam bersikap dan berkata-kata.

Mari melihat dan menata kembali sudut pandang kita tentang Bhineka Tunggal Ika. Ini merupakan bagian dari keluarga bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

 

***

Berdemokrasi Secara Sehat

Yulita Hety Sujaya SPd

Guru Sejarah di SMAK Setia Bakti Ruteng, Flores, NTT.

Pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada Februari 2017 mendatang dipastikan akan berlangsung seru dan sarat akan kompetisi. Hal ini tentu saja bahwa iklim perpolitikan Indonesia sudah mulai mengarah kepada partisipasi aktif.

Namun, di tengah upaya untuk mewujudkan sistem demokrasi yang baik yang berorientasi pada kebaikan bersama (bonum commune), telah tampak perilaku yang justru mencederai nilai demokrasi. Isu SARA kini mulai masuk dalam iklim politik. Hal ini akan melahirkan banyak pendapat yang justru cenderung mengarah kepada sikap rasialis.

Dalam konteks Jakarta, isu SARA menjadi sesuatu yang sangat meresahkan publik. Pernyataan dari salah satu calon gubernur DKI Jakarta, yaitu Ahok di Pulau Seribu tentang penafsiran salah satu ayat dalam Alquran berujung pada demonstrasi yang dilakukan secara besar-besaran oleh kelompok FPI di depan kantor Gubernur DKI Jakarta. Silang pendapat di media sosial pun turut meramaikan, bahkan melanggengkan isu SARA tersebut.

Lantas apa yang seharusnya kita lakukan? Menurut hemat saya, esensi demokrasi tidak akan diperoleh jika masing-masing orang tetap menjadikan agamanya sebagai alat untuk melegitimasikan kekuasaan. Perbedaan agama hendaknya dijadikan sebagai anugerah indah yang membuat kita hidup harmonis, bersatu padu, dan mengamalkan nilai luhur pancasila. Bukan sebaliknya, kita menjadikan agama sebagai alat untuk mendiskriminasi pihak lain.

Kiranya isu SARA tidak lagi menjadi topik yang akan didiskusikan oleh publik saat ini. Kita berjuang bersama-sama untuk mencari pemimpin bukan karena dia berasal dari agama ini atau itu. Tetapi, kita mencari pemimpin yang memiliki visi dan misi yang bagus serta mempunyai komitmen dan rencana kerja yang bagus untuk lima tahun ke depan.

***

Menghambat Demokrasi dan Pembangunan Nasional

Sri Hadi Fahrudin SH, Managing Partner Kantor Advokat Fahrudin & Partners Wonosobo

Pilkada langsung sebenarnya hanya salah satu cara yang disepakati dalam memilih seorang kepala daerah. Pelaksanaannya dipercaya lebih mencerminkan prinsip demokrasi. Sebagaimana amanat Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, "Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis."

Sejak diadakan 2005, saatnya sekarang pilkada dievaluasi. Salah satunya tentang isu SARA. Isu sensitif yang sering dipakai untuk menjegal lawan politik. Isu ini menjadi masalah serius untuk segera disikapi, mengingat Indonesia terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan. Sangat berbahaya memunculkan isu SARA di tengah masyarakat kita yang beragam.

Isu ini hanya akan menjadikan masyarakat terpecah-pecah dan hilang semangat persatuan. Dendam politik menyelimuti hati masyarakat selama jagoannya kalah. Akibatnya kepala daerah kelak tidak bisa melaksanakan program strategis pembangunan nasional. Dan, yang rugi tentu masyarakat sendiri.

Tampaknya semboyan Bhineka Tunggal Ika belum terinternalisasi betul dalam diri masyarakat. Padahal, kandungan maknanya sangat dalam. Bukan sekadar slogan tanpa makna. Sebuah pengakuan terhadap perbedaan yang ada dalam bingkai persatuan Indonesia. Harusnya masyarakat dipahamkan ini dulu sebelum benar-benar memilih pilkada langsung.

Kita sepakat, demokrasi memberikan penghargaan yang tinggi terhadap mayoritas tanpa merendahkan minoritas. Ini bermakna mayoritas tidak dibenarkan berlaku sesukanya. Demikian pula si minoritas tidak diperbolehkan "ngelunjak" terhadap mayoritas. Kedua pihak mesti menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement