Jumat 15 Apr 2016 16:00 WIB

FOKUS PUBLIK- Pengabaian HAM untuk Siyono

Red:

JAKARTA – Semua pihak pasti sepakat bahwa kejahatan harus dilawan. Pelakunya harus ditindak tegas, tetapi bukan berarti melawan kejahatan dilakukan dengan aksi yang keji, bahkan sampai mengabaikan hak asasi. Kalau cara seperti itu yang dilakukan, yang melawan kejahatan tak jauh berbeda dengan penjahat yang dihadapinya.

Kasus tewasnya terduga teroris, Siyono, menjadi permisalan yang nyata, bagaimana aparat melawan teroris dengan aksi yang tak terpuji. Siyono yang hanya seorang diri dilawan oleh sejumlah aparat negara yang bertugas menegakkan hukum. Tanpa proses pengadilan, Siyono yang diduga terlibat kejahatan terorisme tewas di tangan anggota Polri dari Densus 88.

Kadiv Propam Polri Irjen M Iriawan menyatakan, Densus mengabaikan prosedur. Dia menyatakan, terduga teroris seharusnya dijaga oleh dua orang, yaitu di sisi kiri dan kanan. Namun, kata dia, Siyono hanya dikawal satu orang.

Pihaknya memproses kesalahan prosedur itu lebih lanjut. Berkasnya disusun untuk dibawa ke sidang kode etik Polri. Sidang tersebut memproses kesalahan prosedur dan pengabaian etika anggota Polri.

Pengabaian prosedur Densus 88 dalam beraksi memberantas terorisme kerap terjadi. Pada akhir 2015, Densus salah menangkap sasaran. Warga yang menjadi korban salah tangkap adalah Ayom Panggalih dan Nur Syawaludin.

Keduanya mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Syawal ditangkap. Kepalanya diharuskan menunduk. Dia tidak boleh melihat jalan raya. Dia dibawa ke Polsek Laweyan untuk ditahan. Di sana dia tetap diborgol meskipun sudah dimasukkan ke dalam sel tahanan.

Sementara, pada siang hari, Ayom yang sedang mengemudikan sepeda motor tiba-tiba ditabrak mobil yang berisi personel Densus 88. Dia kemudian diborgol dan diletakkan di bawah tempat duduk. Badannya diinjak-injak sepanjang perjalanan menuju Polsek Laweyan.

Keduanya ditanyakan sejumlah nama terduga teroris, mereka tidak mengenalnya. Setelah diperiksa beberapa jam, keduanya dibebaskan karena tidak terkait dengan jaringan teroris.

Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menjelaskan, melawan kejahatan yang mengandung unsur ideologi, seperti terorisme, membutuhkan pendekatan yang manusiawi. Mereka bisa diajak berdialog. Argumentasi yang mengakomodasi kepentingan masyarakat luas dan pembangunan negeri ini diyakininya dapat meruntuhkan paham terorisme yang destruktif.

Kalau pendekatannya dalam melawan kejahatan ini adalah mengabaikan hak asasi mereka, bukan tidak mungkin Densus 88 justru menebar teror secara struktur dan sistematis. Aksi mereka yang membunuh terduga teroris secara tidak wajar tentu tak dapat dibenarkan.

Polisi memiliki standar prosedur dalam menangani kejahatan. Jika penjahat ditangkap melawan, bisa diperingatkan. Jika tidak diindahkan, dapat diberikan tembakan peringatan. Kalau sudah mengancam nyawa personel, barulah aparat menembak terarah. Bukan langsung membunuh, melainkan cukup melumpuhkannya.

Alternatif lainnya adalah tembakan yang mematikan. Prosedur terakhir ini boleh dilakukan jika memang tak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk melumpuhkan penjahat yang diincar.   ed: Erdy Nasrul

***

Koruptor Lebih Terhormat dari Tersangka Teroris

Herwin Nur, Tangerang Selatan, Banten

Terpidana korupsi tampak lebih terhormat bila dibandingkan dengan tersangka teroris. Lihat saja di televisi, narapidana korupsi datang dengan kawalan yang biasa saja. Berbeda jauh dengan teroris. Baru berstatus tersangka yang belum terbukti melanggar hukum saja sudah dikawal petugas Densus 88 bersenjata laras panjang.

Kakinya dirantai. Tangannya diborgol. Kepalanya ditutup. Bahkan, ada yang matanya dilakban sehingga tak dapat melihat ke mana dia dibawa.

Berkat napi koruptor, lapas dan rutan bisa berubah menjadi hotel berbintang, minimal melati plus. Napi koruptor tidak bisa bersaing dengan produktivitas dan profesionalisme bandar narkoba walau sama-sama sebagai sumber penghasilan petugas penjara.

Koruptor ditangkap dalam operasi tangkap tangan pihak berwajib. Koruptor pasti masih selamat. Kondisinya tidak babak belur. Tak ada ceritanya napi korupsi tewas ditembak karena melawan. Beda dengan tersangka teroris. Selain babak belur, bisa jadi nyawa hilang.

Koruptor adalah kejahatan lokal, tidak ada jaringan internasionalnya. Kasusnya hanya merugikan negara. Tidak membawa korban harta benda, terutama jiwa yang menjadi ciri dampak ulah teroris. Jangan diartikan bahwa korupsi adalah produk kebijakan partai meskipun pelakunya didominasi oleh oknum yang lahir dari rahim partai.

Ada teroris yang mudah dibekuk. Geografis teritorial di Jawa dan di luar Jawa yang membedakan mudah tidaknya teroris ditindak. Teroris kota, apalagi di Pulau Jawa, hanya dalam hitungan hari sudah dibekuk. Bahkan, belum beraksi saja sudah kedahuluan ditangkap aparat.

Kalau yang beroperasi di luar Pulau Jawa masih berlanjut, seperti yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Pemerintah telah membentuk Satgas Operasi Tinombala pada 9 Januari 2016, beranggotakan 1.800 personel TNI dan 1.200 personel Polri. Tugas utamanya adalah segera menangkap tokoh teroris Santoso alias Abu Wardah di Poso, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Kekuatan kelompok teroris Santoso cs diendus sebanyak 31 personel. Tiga di antaranya, warga negara asing (WNA). Tidak ada batas waktu efektif operasi ini.

Penggerebekan sarang teroris kerap diliput langsung media massa. Ketika bom bunuh diri di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, terjadi, simpati berdatangan dari berbagai kalangan. Peristiwa ini membangkitkan semangat heroisme dan nasionalisme anak bangsa.

Berbeda dengan kasus tewasnya terduga teroris, Siyono (34 tahun), warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, di tangan Densus 88 Polri, awal Maret 2016. Ada pandangan berbeda dalam melihat kasus ini.

Sebagai negara hukum, kita harus yakin sopo sing salah tetep salah. Becik ketitik, olo ketoro. Namun, pelaku kejahatan bukan berarti harus dihajar hingga tewas.

Saya terkadang penasaran, akankah jika calon terduga teroris jika ditangkap hidup-hidup, akan 'bernyanyi' atau karena bukan kelas kakap, atau malah menghabiskan biaya perkara dan tidak berefek pada kinerja aparat, pakai cara jalan tengah matikan di tempat. Aparat kemudian membunuhnya terlebih dahulu.

Hakim yang Menentukan Bersalah atau Tidak

Zaki Muttaqien, Pengurus IPNU

Pemberantasan teroris di Indonesia patut diapresiasi oleh masyarakat karena tim khusus bentukan pemerintah, Densus (Detasemen Khusus) 88 Antiteror, banyak berjasa dalam penangkapan teroris. Bagaimana tidak, Indonesia sejak 2000-an banyak sekali diusik dengan aksi teror, mulai dari bom Bali, bom Kuningan, hingga yang baru ini bom di Jalan MH Thamrin.

Dengan sigap, tim Densus menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Hal ini pun diakui oleh dunia internasional bahwasanya Indonesia mempunyai tim antiteror yang mantap. Namun, di balik kesuksesan Densus 88, ada juga peristiwa yang seharusnya tidak terjadi, yakni tewasnya terduga teroris Siyono.

Insiden seperti ini memang tidak terjadi kali ini saja, sebelumnya Densus juga pernah salah tangkap. Ironisnya, tim Densus 88 baru menyadari setelah mereka dieksekusi. Hal ini menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana bisa mereka salah tangkap? Apakah sebelum menangkap mereka tidak melakukan penyelidikan dahulu? Atau, aparat memang terbiasa menginterogasi dengan kekerasan? Mengapa harus demikian?

Mungkin poin permasalahan bukan di teknis pemeriksaan terduga teroris, melainkan lebih kepada memanusiakan terduga. Polisi menangkap mereka yang baru diduga terlibat dalam kejahatan. Ada asas praduga tak bersalah. Dalam proses investigasi, polisi menemukan alat bukti dan menghimpun keterangan saksi.

Ketika semuanya sudah terkumpul, bukan berarti orang yang terlibat dalam kejahatan langsung divonis bersalah. Masih ada proses hukum lainnya, yakni penuntutan dan persidangan. Hakim yang menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak.

Saya ingin menegaskan aparat harus menghormati hak asasi manusia (HAM). Ketika aparat menangkap orang yang baru diduga bersalah, jangan mengabaikan hak asasi mereka. Banyak cara yang bisa dilakukan terdug teroris, salah satunya membela diri. Ini juga harus dibuktikan di pengadilan, apakah tertuduh ini melakukan teror atau tidak.

Dengan demikian, aksi salah prosedur tidak lagi terjadi. Semoga ke depannya tim Densus 88 lebih baik dalam melakukan penangkapan.

Aksi Teror Bukan Alasan Mengabaikan HAM

Giyat Yunianto, Bekasi, Jawa Barat

Densus 88 adalah detasemen khusus yang dibentuk oleh Kepolisian Republik Indonesia untuk menanggulangi aksi terorisme. Kita pasti sepakat bahwa aksi terorisme adalah tindakan keji dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, hal tersebut bukanlah sebuah alasan untuk tidak menghormati hak asasi manusia atau HAM para terduga teroris. Biar bagaimanapun juga, para terduga teroris adalah manusia yang harus dihormati hak asasinya.

Mereka berhak mendapatkan kehidupan, berkeluarga, dan menjadapatkan pendidikan. Indonesia memiliki pengalaman yang baik dalam menangani teroris. Ada yang semula aktif dalam kegiatan terorisme. Kini, sudah berubah menjadi masyarakat biasa. Mereka mencari kehidupan yang layak seperti masyarakat pada umumnya.

Dengan bertambahnya usia Densus 88, seharusnya membuat pola pikir dan mental para anggotanya semakin dewasa dan tidak gegabah dalam mengambil tindakan. Mereka harus menjalanan prosedur yang menjunjung tinggi hak asasi terduga teroris. Asas praduga tak bersalah harus mereka jadikan acuan.

Insya Allah jika para pimpinan dan anggota Densus 88 mampu menghormati HAM para terduga teroris, pemberantasan terorisme akan semakin mudah, dan rakyat pun akan semakin simpatik. Ya Allah, berilah hidayah kepada para pimpinan dan anggota Densus 88 agar semakin arif dan bijak dalam bertindak.

Densus 88 Justru Membangkitkan Teror di Tengah Masyarakat

Fani Wardhana, Mahasiswa Ma'had Umar Bin Al Khattab, Surabaya, Jawa Timur

Lagi-lagi hak asasi manusia (HAM) kembali dicederai. Kasus Siyono menjadi satu dari sekian banyak kasus yang muncul di permukaan tentang apa yang dilakukan Densus 88 terhadap terduga terorisme.

Saya tidak habis pikir, ada apa ini sebenarnya? Lebih dari seratus orang tewas dengan tuduhan tindakan terorisme tanpa adanya persidangan. Alih-Alih memberantas terorisme, Densus 88 justru malah membangkitkan teror di tengah masyarakat. Bahkan, menurut anggota Komisi Nasional Hak dan Asasi Manusia (Komnas HAM) Manager Nasution, diindikasikan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh organ negara atau state terrorism saat penangkapan yang berujung kepada kematian Siyono.

Salah satu dari ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyyah, tergerak untuk mengusut tuntas kasus Siyono ini. Maka, dibentuklah tim autopsi dari Muhammadiyah guna mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah hasil autopsi keluar, disandingkan keterangan antara pihak Polri dan tim autopsi Muhammadiyah. Ternyata, didapati keduanya tidak sama. Bahkan, bertentangan. Ada apa ini? Publik semakin bertanya-tanya. Apalagi, dengan adanya barang bukti dua gepok uang yang diberikan kepada istri Siyono.

Rakyat harusnya sudah cerdas menilai, pihak mana yang sekiranya benar-benar membantu menyelesaikan kasus ini agar tidak berkepanjangan kemudian. Pihak yang terkesan menutupi dan tidak ingin kasus ini diusut secara tuntas juga semakin tampak.

Sangat disayangkan, pegiat HAM sering kali tutup mulut, seakan bisu dengan kejadian seperti kasus Siyono ini. Berbeda sekali dengan respons mereka ketika memperjuangkan hak para pengidap LGBT. Sebenarnya siapakah meraka?

Kita berharap, semoga tidak ada lagi Siyono yang lain, yang akan menjadi korban dari ketidakadilan yang dilakukan pihak tertentu. Dan, semoga pihak yang berwenang dapat berlaku adil.

 

Mengkritik Bukan Berarti Proteroris

Tatang Muljadi, Pegawai Dinas Sosial Kabupaten Karawang

Jalan Husni Hamid No 3 Karawang

Di negeri ini ada kesepakatan yang dibuat kelompok masyarakat, termasuk organisasi keagamaan Muhammadiyah, bahwa kita tidak menoleransi teroris. Tetapi, bukan berarti perlakuan terhadap terduga teroris dapat dilakukan dengan semena-mena.

Sebagai masyarakat yang beragama dan taat hukum, tentu kita harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Hak asasi manusia juga harus dihormati sekalipun itu terduga teroris.

Cara penanganan dan penangkapan terduga teroris tentunya juga harus tetap mengacu kepada standar operasional prosedur (SOP) yang baku. Standar itu telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang seperti Densus 88 itu sendiri.

Kalau saja prosedur itu diabaikan, tentunya akan berakibat fatal. Dampaknya akan mencoreng nama baik lembaga yang diharapkan dapat menekan atau menghilangkan aktivitas teroris di bumi Indonesia tercinta ini.

Bayangkan, jika penangkapan terduga teroris tersebut salah prosedur dan ternyata orang yang ditangkap itu salah sasaran serta penanganannya kurang manusiawi, betapa remuk redam perasaan keluarga korban terduga teroris tersebut. Kesalahan seperti ini dikhawatirkan banyak pihak, alih-alih mau menumpas teroris, tetapi kenyataannya malah akan memunculkan teroris baru dengan gaya dan cara yang lebih radikal lagi.

Penanganan teroris di negeri ini memang harus lebih berkelas. Harus menghormati HAM. Artinya, harus mengedepankan segi profesionalisme dan sisi humanis.

Mereka bukan semata berkeinginan menjadi teroris. Bisa saja akibat berbagai keadaan yang memaksa atau pula timbul akibat perasaan dendam atas perlakuan petugas yang berlebihan.

Kritik dari berbagai pihak yang ditujukan kepada Densus 88 jangan diartikan sebagai pihak yang proteroris, melainkan sebagai bentuk keterpanggilan dari elemen masyarakat. Mereka ingin menyelesaikan permasalahan bangsa dengan lebih baik lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement