Jumat 12 Feb 2016 16:00 WIB

FOKUS PUBLIK- Gegabah Sebut Pesantren Radikal

Red:

JAKARTA — Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Institusi tersebut sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Kini lembaga tersebut menjadi sorotan. Sebab, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum lama ini mengungkap 19 pesantren yang dinilai mengajarkan radikalisme. Pesantren tersebut kemudian disebut dengan stempel pesantren radikal.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Khatibul Umam Wiranu, menyesalkan langkah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang mengumumkan ada 19 pesantren yang terindikasi mengajarkan radikalisme dan terorisme. Menurutnya, BNPT ceroboh dengan mengumumkan hal tersebut tanpa berkoordinasi dengan Kementerian Agama, BIN, dan tokoh masyarakat tempat 19 pesantren itu bernaung.

"Dengan pernyataan berbentuk peringatan saja bisa jadi salah. Untuk tahu salah apa benar kan perlu diverifikasi dan itu tugas Kementerian Agama yang punya infrastruktur sampai desa," kata Khatibul saat dihubungi, Jumat (5/2).

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Saud Usman Nasution mengatakan, 19 pondok pesantren yang diduga radikal masih menjadi pantauan dan pemonitoran BNPT. Ke-19 ponpes ini diduga menjadi salah satu kantong pemasok terorisme. Menurut dia, para tersangka teroris yang sudah ditangkap berasal dari 19 ponpes tersebut. Beberapa di antaranya bahkan menjadi pengajar dan pengasuh pondok pesantren.

Menurut Saud, BNPT tak hanya memantau dari jauh, tapi juga masuk dalam jaringan mereka untuk bisa mengetahui gerakan mereka. Saud mengatakan, pemonitoran yang dilakukan oleh BNPT mulai dari gerakan, kegiatan sehari-hari, hingga kajian yang mereka lakukan. ed: Erdy Nasrul

***

Penguatan Fungsi Pengawasan

Yulita Hety Sujaya, Alumnus Pendidikan Sejarah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Persoalan isu radikalisme di pesantren mengejutkan publik beberapa pekan terakhir ini. Itu berarti masyarakat Indonesia tidak boleh lengah dan harus terus fokus memeranginya. Kita bersama membendung paham radikalisme dan aksi terorisme agar mereka tidak bisa membumihanguskan Indonesia.

Radikalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Menurut penulis, yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.

Radikalisme berbasis atau atas nama agama kini menjadi perbincangan serius di mana-mana. Secara literal, ia adalah suatu paham yang menghendaki perubahan, pergantian, penghancuran terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya, dengan berbagai cara, meski melalui tindakan kekerasan dan militeristik. Radikalisme menginginkan perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat berdasarkan ideologi keagamaan puritan dan konservatif. Hal yang mencengangkan kita adalah bahwa gerakan ini sekarang menyebar di berbagai bagian dunia dan menjadi isu global.

Pengawasan adalah salah satu isu penting yang harus diperkuat. Bagaimana tidak, kondisi sekarang terjadi sebagai akibat dari tidak optimalnya fungsi pengawasan sehingga tingginya penyimpangan-penyimpangan. Pemerintah sebagai pemegang otoritas berkewajiban merespons ancaman dan serangan gerakan radikal.

Kita seharusnya sadar, sesuai pepatah bijak mengatakan, "Mencegah lebih baik daripada mengobati." Di dalam sebuah komunitas ataupun organisasi tertentu perlu pengawasan karena dengan demikian suatu kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Misalnya, apabila terjadi penyimpangan dalam sebuah komunitas itu, kita perlu mencari di mana letak penyimpangan dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.

Pembiaran terhadap ideologi dan gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama niscaya akan meruntuhkan bangunan negara atau bangsa dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Saatnya Pesantren Mengubah Kurikulum

Fauzan Suhada, Depok

Saat ini citra kaum Muslim sedikit banyak memang sudah tercoreng. Mulai dari kasus pertentangan akibat permasalahan khilafiyyah, tindakan kekerasan pribadi terhadap aliran yang menyimpang, hingga permasalahan radikalisme yang menjatuhkan nama besar Islam di dunia internasional.

Ingatlah firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah [2] ayat 11, "Dan apabila dikatakan pada mereka jangan berbuat kerusakan, mereka menjawab kami ini orang-orang saleh (yang berbuat kebaikan)." Aksi para kaum radikalis yang mengatasnamakan jihad ini telah menyebabkan tindakan kebencian kaum kafir terhadap Muslim semakin menjadi.

Rasulullah SAW diutus ke alam semesta ini untuk menyempurnakan perilaku. Sudah sepantasnya kaum Muslimin berada di garis terdepan dalam melakukan tindakan kebaikan, bereprilaku terpuji, orang pertama yang menolong saudaranya yang sedang kesulitan. Bahkan, Islam mengajarkan senyum pada saudaranya itu saja sama seperti sedekah dan akan dicatat Allah sebagai amal kebaikan.

Untuk menangkal citra radikalisme ini, sudah saatnya pesantren mengubah kurikulum pengajarannya dengan mengedepankan pelajaran-pelajaran yang bisa menolong masyarakat keluar dari kesulitan. Diharapkan, akan banyak karya dari anak-anak lulusan pesantren yang bermanfaat bagi masyarakat. Pesantren juga harus bisa mencari mitra yang bisa membantu pemasaran produk-produk pertanian dan perikanan Indonesia agar taraf kehidupan masyarakat Indonesia meningkat.

Membangun Stigma Buruk

Herwin Nur, kota Tangsel, Banten

Tak bisa dibayangkan jika pola pendidikan yang memadukan ilmu formal dengan ilmu agama dicurigai sekaligus dimata-matai. Pemerintah dengan ringan tangan membakukan stigma ekstremis atau radikalis kepada pihak pesantren. Alasannya, sejumlah teroris pernah belajar di pesantren.

Kesimpulan tersebut terlalu terburu-buru. Harus diingat bahwa ada jutaan anak bangsa yang mengenyam pendidikan pesantren di berbagai daerah. Dengan adanya stigma buruk ini, lembaga pesantren sudah pasti tercoreng.

Pemberian stigma seperti ini bukan hal baru. Dulu penjajah Belanda menyebut pejuang Indonesia dengan ekstremis. Dikenal pula kata inlander. Jangan sampai pemberian stigma seperti ini terjadi lagi. Pemerintah harus belajar dari masa lalu.

Korektif dan Selektif

Ahmad Muhrizi, Bogor

Isu teroris sering kali mengaitkan kepada pelakunya seorang Muslim. Tidak sedikit stigma miring yang diarahkan bahwa lembaga pendidikan yang berbasis keislaman seperti madrasah dan pesantren menjadi tempat pembiakan bibit teroris. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebutkan adanya pesantren yang terindikasi paham radikalisme.

Di sinilah kita sebagai pembaca atau orang yang menerima berita harus bisa memilah dan tidak memberikan penilaian yang terburu-buru. Boleh jadi ada grand design pelemahan terhadap lembaga pendidikan berbasis keislaman atau kepentingan politis di balik stigma tersebut.

Pesantren dengan nilai-nilai yang dimilikinya, seperti tawasuth tidak berpihak, tawazun atau  keseimbangan, tasamuh atau toleransi, dan i'tidal  yang berarti lurus dalam kebaikan merupakan magnet tersendiri yang mampu menarik santri atau siswa untuk belajar. Nilai-nilai ini pula yang menjadikan pesantren berkembang sampai sekarang.

Kalaupun ada pesantren yang terindikasi mengajarkan paham radikalisme, patut dipertanyakan apakah lembaga tersebut benar pesantren atau hanya topeng? Pemerintah dengan perangkat kenegaraannya dalam hal ini harus bisa memberikan arahan dan bimbingan, bukan menjatuhkan, bahkan membumihanguskan. 

Masyarakat harus mengoreksi dan menyeleksi berita, tidak terjebak dalam penggiringan opini publik yang menggeneralisasikan bahwa pesantren adalah lembaga yang paling berpotensi melahirkan teroris dan mengajarkan paham radikal.

Bukan Tempat Orang Radikal

Tatang Muljadi, Pegawai Pemda Karawang, Jawa Barat

Yang kita ketahui, di pesantren tidak diajarkan radikalisme. Pesantren juga bukanlah tempat orang-orang radikal.

Memang benar di pesantren diajarkan tentang jihad karena itu merupakan bagian dan ruh ajaran Islam. Tetapi, jihad berarti berarti secara umum dan memiliki persyaratan tertentu serta tidak diterjemahkan sebagai perang.

Jika ada pesantren yang memiliki karakter radikal, mungkin saja itu akibat pemahaman dan pengalaman sang ustaz atau kiai yang berbeda. Dan itu pun jumlahnya pasti tidak begitu banyak serta tidak mencerminkan watak pesantren di Indonesia.

Lagi pula, tak bisa dimungkiri, dari masa ke masa Islam memang selalu disudutkan, dizalimi, dan menjadi bulan-bulanan propaganda Barat yang anti-Islam. Ketika ada segelintir pesantren atau jebolan pesantren (santri) yang tergelincir ke dalam perbuatan radikal, serta-merta masyarakat dunia heboh. Media massa yang notabene sangat senang dan gencar memberitakannya.

Masyarakat Indonesia perlu menoleh ke belakang. Ketika masa penjajahan dahulu, pesantren merupakan markas perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia. Kiai dan para santrinya merupakan pelopor penggerak perlawanan terhadap penjajah bersama komponen perlawanan rakyat lainnya.

Sebagai bukti setelah berada pada masa kemerdekaan ini, banyak kiai diakui dan mendapat gelar pahlawan dari pemerintah. Untuk itu, label radikal janganlah cepat dan mudah distigmakan kepada pesantren dan santri. Lebih arif jika kita bersama-sama pihak terkait melakukan pendekatan serta mencari formulasi yang tepat agar persoalan radikalisme di pesantren tertentu dapat terselesaikan dengan baik.

Citra pesantren secara keseluruhan tidak ternodai. Sebab, apa pun keadaannya, kita jangan sekali-kali melupakan sejarah keberadaan pesantren. Diakui atau tidak, pesantren telah banyak berjasa dalam bidang pendidikan, pemahaman agama, hingga rela berjibaku mengusir penjajah.

Sangat Tendensius

Giyat Yunianto, Bekasi

Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua, bahkan ikut memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak sedikit tokoh bangsa yang dilahirkan dari pesantren.

Adanya pernyataan yang menyebutkan radikalisme di pesantren sangatlah tendensius dan tidak melihat fakta yang ada. Pernyataan tersebut sangatlah menyakitkan dan dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar, umat Islam di Indonesia harus dapat menahan diri dan jangan terprovokasi oleh pernyataan yang tidak bertanggung jawab.

Ya Allah, lindungilah lisan dan hati para pemimpin kami agar mampu berbicara dengan hati dan tidak salah dalam memberikan informasi.

Mencoreng Citra Pondok Pesantren

Epifanius Solanta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Paham radikalisme kian meresahkan publik. Sebab, saat ini radikalisme sudah masuk dan menjelma ke dalam institusi pendidikan. Salah satunya terjadi di pondok pesantren.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pondok pesantren merupakan salah satu tempat pendidikan bagi umat yang beragama Islam. Di dalam pondok pesantren, sebagaimana visi dan misi awal dari pendirian pondok pesantren tersebut antara lain mengajarkan Islam yang indah, lembut, dan menyejukkan.

Masuknya paham radikalisme tentu saja akan menyebabkan tingginya reputasi buruk terhadap pondok pesantren. Selain itu, nama pondok pesantren akan menjadi tercoreng. Nilai-nilai luhur yang menjadi misi dan tujuan utama pendirian pesantren kian tergerus oleh kuatnya ajaran radikalisme.

Mengingat besarnya dampak paham radikalisme terhadap eksistensi pondok pesantren, maka diperlukan fungsi kontrol yang ketat. Pemerintah melalui pihak keamanan perlu menyelidiki pondok pesantren yang melegalkan paham radikalisme karena hal tersebut berdampak pada menurunnya moralitas anak bangsa.

Pesantren tidak Identik dengan Radikalisme

Dwi Pujiyanto SPd I, Guru SMPIT Izzatul Islam Getasan, Semarang

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan tempat pengajaran agama Islam. Di pesantren terdapat kiai yang mengajarkan agama Islam dari kitab-kitab bahasa Arab atau yang sering disebut dengan kitab kuning kepada santri.

Di pondok pesantren juga para kiai dan santri tinggal. Kalau yang dipelajari adalah tentang agama Islam, di manakah letak radikalisme pesantren? Di pesantren para santri dididik dan dilatih untuk memiliki karakter yang kokoh dalam waktu yang tidak sebentar.

Dari pondok pesantrenlah tercetus istilah hubbul wathon minal iman. Artinya, cinta negara adalah bagian dari iman. Islam adalah agama yang syumul (menyeluruh), mulai dari permasalahan yang paling kecil hingga yang paling besar ada dalam agama Islam. Islam adalah agama cinta damai.

Pesantren tidak identik dengan radikalisme. Bukankah dulu pada masa penjajahan Belanda para kiai dan santri dari pondok pesantren juga ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia? Bukankah beberapa ormas terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah yang tidak diragukan lagi perannya dalam membangun bangsa, juga didirikan oleh tokoh-tokoh dari pesantren, yaitu Hasyim Asy'ari dan Ahmad Dahlan?   

Jangan Dipandang Sebelah Mata

Ade hariyanto, Kebumen, Jawa Tengah

 

Dunia pesantren tidak separah seperti yang diberitakan. Maraknya pemberitaan miring seputar pesantren adalah akibat dari pandangan pihak tertentu yang mudah terprovokasi oleh segelintir orang yang langsung menelan mentah-mentah informasi negatif seputar kehidupan di pesantren. Informasi tersebut tidak diimbangi dengan pengecekan fakta di lapangan.

Saya pernah belajar di pesantren. Kehidupan di dalam pesantren, termasuk pendidikan di dalamnya, terasa mengasyikkan. Pendidikan di pesantren sebenarnya lebih menekankan keteladanan pembenahan sikap sopan santun dan akhlak mulia. Terlebih, ketika kiai dan pengajar di pondok pesantren menjauhi buruknya niat dalam mendidik santrinya.

Begitu pun dengan niat dan motif ekonomi dalam mendidik santrinya. Keberkahan dari baiknya niat dan proses pengajarannya begitu indah terasa. Berbeda sekali dengan pendidikan di sekolah umum atau perguruan tinggi yang notabene orientasi materi, duniawi, dan sensasinya sangat kental dan tampak begitu mendominasi.

Isu radikalisme di pesantren yang santer beredar perlu diluruskan. Pemerintah jangan diam saja menyikapi isu ini. Kita semua sepakat keberhasilan pendidikan di pesantren juga butuh partisipasi semua pihak dan elemen masyarakat. Media seperti Republika  dan yang lainnya juga sebaiknya menghadirkan secara rutin rubrik halaman yang memuat profil dan ulasan yang mendidik dan menarik tentang Islam khususnya dan yang utama seputar dunia pesantren.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement