Selasa 01 Dec 2015 13:00 WIB
HARI AIDS

Penanganan HIV-AIDS di Indonesia

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, HARI AIDS- Penanganan HIV-AIDS di Indonesia

Angka penderita baru meningkat karena pendeteksian dini HIV-AIDS semakin gencar.

Perkembangan penyakit HIV-AIDS sepertinya tidak pernah berhenti dalam kurun tiga puluhan tahun ini di Tanah Air. Masyarakat saat ini bukannya tidak mengetahui tentang HIV dan AIDS, melainkan aktivitas berisiko terinfeksi masih terus berlangsung, bahkan berpotensi menularkan ke pasangannya di rumah (ibu rumah tangga-IRT). Hal ini menandakan upaya pencegahan dan penekanan pertambahan jumlah penderita masih belum teraplikasi dengan tepat.

Berdasarkan data terakhir United Nations Programme on HIV-AIDS (UNAIDS) hingga 2013, Indonesia masih menempati posisi keempat setelah Afrika Selatan, Cina, dan India dalam peringkat jumlah penderita HIV-AIDS di dunia. Menyusul, setelahnya Myanmar yang menduduki posisi kelima.

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan adanya penurunan sementara angka penderita HIV-AIDS di Indonesia. Jika semula pada 2014 penderita HIV mencapai 32.711 jiwa, saat ini Kemenkes mencatat pada Triwulan I dan II dari Januari hingga Maret 2015, penderita HIV berjumlah 7.212 jiwa dan penderita AIDS tercatat sebanyak 595 jiwa.

Sedangkan, pada Triwulan II, April hingga Juni 2015, penderita HIV tercatat berjumlah 10.113 jiwa, dan penderita AIDS berjumlah 643 jiwa. Sehingga, apabila ditotal sejak Januari hingga Juni 2015, jumlah keseluruhan penderita HIV-AIDS adalah sekitar 17.325 jiwa.

Dari 10 provinsi di Indonesia, DKI Jakarta menempati urutan pertama dengan jumlah penderita HIV-AIDS terbanyak sejak 2009 hingga kini, yakni sebesar 37.302 jiwa. Sementara di urutan kedua, ditempati oleh Jawa Timur sebesar 23.050 jiwa, dan pada urutan ketiga ditempati oleh Papua sebanyak 19.093 jiwa.

Angka ini diperkirakan juga masih naik hingga akhir tahun nanti. Akan tetapi, menurut Direktur Pencegahan Penyakit Menular dr Sigit mengatakan, kenaikan angka penderita tidak perlu diartikan secara tegang dan berlebihan. Sebab, semakin tingginya angka penderita berarti mengindikasikan adanya deteksi dini. Sehingga, orang yang positif HIV-AIDS kini tak perlu lagi merasa takut atau malu sebagai orang dengan HIV-AIDS (ODHA).

"Ini bentuk positif. Karena sejatinya, jika sosialisasi dan deteksi dini semakin membaik dan akrab di masyarakat, maka angka per tahun mendatang akan datar dan statis. Jika angka tersebut statis, maka bisa disimpulkan bahwa negara perlu melakukan penekanan angka, dan pengobatan secara tepat sasaran," ujar Sigit, saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Rantai Penularan

Bila menelaah jalur infeksi HIV-AIDS, tentunya terkait dalam rantai penularannya. Epidemi HIV sebagian besar berfokus pada populasi kunci, yakni wanita pekerja seks (WPS) dan pelanggannya. Fokus lain terdapat pada penderita yang menggunakan napza suntik (penasun).

Bila menelaahnya melalui skema jalur penularan HIV, pria yang berhubungan seks berisiko (lelaki berisiko tinggi/LBT) berpotensi paling besar terinfeksi HIV. Data olahan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mengenai Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV 2012 menjabarkan, sekitar 6,7 juta penduduk laki-laki di Indonesia merupakan pria membeli seks.

Dari angka tersebut, sebanyak 2-20 persen merupakan pria dewasa dan sudah berumah tangga. Rantai penularan HIV datang dari pria penasun sekitar 75 ribu. Sementara, sekitar 1,13 juta merupakan lelaki seks dengan lelaki (LSL).

LSL tersebut belum tentu terdiri dari gay atau homoseksual. LSL bisa saja pria menikah, namun juga memiliki orientasi seksual yang lain. Penasun dan LSL tersebut membuat rantai dua arah dengan WPS yang diperkirakan berjumlah 230 ribu orang.

Pada rantai ini, pelakunya rentan terinfeksi HIV. Bagi LBT, menikah tentu saja berpotensi membawanya ke rumah tangga, khususnya ke IRT. Hal tersebut membuat 4,9 juta perempuan yang menikah dengan LBT bisa terjangkit HIV.

Fakta hingga Maret 2015 ini, jumlah IRT terjangkit HIV bertambah. Hingga Desember 2014 lalu, sebanyak kurang lebih delapan ribu ibu rumah tangga positif terjangkit HIV. Sementara PSK, jumlahnya sekitar 2.000 orang.

Kemudian, jumlah LBT terjangkit HIV karena perilaku 'jajan seks' atau LSL sebesar kurang lebih 27 ribu. Angka tersebut didapatkan melalui jumlah kumulatif HIV dan AIDS di Indonesia berdasarkan pekerjaan.

Terkait LSL, Penanggung Jawab Medik HIV dan AIDS RSUP Dr Sardjito Sumardi di Poliklinik Paru RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, mengatakan kecenderungan yang sama. Soal LSL dengan HIV/AIDS memang ada peningkatan. "Di DIY pengidap HIV dan AIDS baru setiap bulannya sekitar 30 orang dan pada LSL sekitar 15 persen dalam tiga tahun ini. Sebelumnya jarang ditemukan pengidap HIV dan AIDS pada LSL," ujarnya.

Dia juga mengatakan, keberadaan HIV dan AIDS (HIV-AIDS) yang sebelumnya sebagai penyakit infeksi, kini bergeser sebagai penyakit kronis yang penyintasnya (survivor-nya) makin baik. Apalagi, setelah ada pemeriksaan secara teratur dan pengobatannya dengan obat ARV (antiretroviral).

"Setelah bertahun-tahun menangani pasien HIV dan AIDS berjalan lebih dari sepuluh tahun akhirnya merasakan HIV dan AIDS itu seperti penyakit kronis lainnya. Dengan pengobatan rutin bisa long life," ujar Sumardi, yang juga sebagai Koordinator Rehabilitasi KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) DIY ini. n c04 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement