Jumat 27 Nov 2015 14:00 WIB
FOKUS PUBLIK-

Islamofobia Lahirkan Teroris

Red:

Tren Islamofobia meningkat di Barat usai serangan teror di Paris. Salah satu sikap fobia terhadap Islam ditampakkan oleh bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, belum lama ini. Konglomerat ini mengajukan usul diskriminatif bagi para Muslim. Jika dia menjadi presiden AS, Trump kemungkinan akan membuat kartu identitas khusus bagi Muslim di negeri Paman Sam.

BBC melaporkan pada Kamis (19/11), dengan mengutip wawancara Yahoo, Trump mengutarakan idenya tersebut setelah serangan ISIS ke ibu kota Prancis, 13 November lalu. "Kami akan melakukan hal-hal yang tak pernah kita lakukan sebelumnya. Beberapa  orang mungkin akan marah akan hal ini, tapi saya pikir semua orang sekarang  menginginkan perasaan aman," ujar Trump.

Tak hanya itu, the Guardian pun memberitakan bahwa Trump juga akan mempertimbangkan penggeledahan tanpa perlu surat perintah pengadilan bagi Muslim dan peningkatan pengawasan masjid-masjid di AS. Sebelumnya, Trump sempat berkomentar bahwa masjid harus berada di bawah pengawasan. Ia juga mengusulkan pengungsi Suriah untuk dideportasi. "Kita harus melihat banyak hal dengan sangat dekat. Kita harus mengawasi masjid. Kita harus melihat dengan sangat hati-hati," kata miliarder tersebut.

Serangan terhadap Muslim Inggris pun meningkat usai tragedi Paris. Ada sebanyak 115 serangan rasial sejak terjadi serangan teroris itu. Seperti diberitakan laman the Independent, Senin (23/11), lonjakan kejahatan Islamofobia meningkat lebih dari 300 persen. Lonjakan ini terjadi sepekan setelah serangan mematikan di Paris yang diklaim ISIS.

Kebanyakan korban kejahatan kebencian di Inggris adalah gadis-gadis dan Muslimah berusia 14 hingga 45 tahun yang mengenakan jilbab. Para pelaku terutama laki-laki kulit putih berusia 15 hingga 35 tahun.

Angka-angka yang disusun Tell Mama Helpline tersebut mencatat insiden serangan verbal dan fisik pada Muslim dan masjid di Inggris. Mereka cenderung meremehkan karena banyak korban terlalu takut untuk menghubungi polisi atau kelompok masyarakat.

Serangan teroris benar-benar berdampak terhadap keberadaan Muslim di Barat. Serangan  di enam lokasi berbeda di kota yang dipenuhi oleh kafe-kafe mewah, rumah-rumah opera, dan teater besar itu menewaskan setidaknya 150 orang dan puluhan lainnya mengalami luka-luka.

Sekitar 112 orang tewas di sebuah gedung konser Bataclan. Teroris menyandera 100 orang di gedung itu. Para saksi di Teater Bataclan mengatakan, teroris menggunakan senapan AK47 dan menembak kerumunan secara membabi buta. Seorang saksi, Julen Pearce, mengatakan, penembakan terjadi sekitar 15 menit. Sekitar lima mil dari lokasi tersebut, dua pelaku meledakkan diri di luar Stadion Stade de France. Bom meledak saat tim sepak bola Prancis melakoni pertandingan persahabatan melawan Jerman.

Dunia mengutuk tindakan biadab itu. Tindakan militer pun diambil. Jet-jet tempur Prancis memborbardir Raqqa, yang dijadikan ibu kota ISIS. Di Timur, para pemimpin Asia Tenggara pun menyatakan keprihatinannya terhadap teroris. Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan seluruh pemimpin negara peserta KTT ASEAN turut mengecam ISIS. PM Najib mengatakan, pihaknya siap untuk bergabung mengalahkan ISIS. Di sisi lain, dia pun mengingatkan bahwa solusi militer saja tidaklah cukup.

Menurutnya, yang perlu "dikalahkan" adalah ideologi ISIS. "Ini adalah bagaimana Gandhi, Nelson Mandela, dan Martin Luther King memenangkan hati dan pikiran dari musuh-musuh mereka. Mereka memenangkan dengan mengubah musuh mereka menjadi teman," kata Najib.

"Para pelaku tidak mewakili ras, agama, atau keyakinan. Mereka adalah teroris dan harus dihadapi dengan kekuatan hukum penuh," kata Najib dalam pidato yang berkali-kali menekankan toleransi Islam.

Islamofobia yang dihasilkan teror tak pelak merugikan umat Islam di seluruh dunia. Penyakit ini justru menghasilkan potensi teror baru kepada Muslim yang diperlakukan tidak adil karena perbuatan yang tak dilakukannya.

Seperti dikatakan seorang ulama Al-Azhar Kairo, Shekh Ahmed al-Tayeb, tidak selayaknya Islam lantas disalahkan atas kejahatan yang mengatasnamakan Islam.

"Sangat tidak adil dan amat bias ketika mengaitkan kejahatan pengeboman dan perusakan yang terjadi akhir-akhir ini dengan Islam hanya karena mereka meneriakkan 'Allahu akbar' ketika melakukan kejahatan," ujar Shekh Ahmed al-Tayeb kepala Pusat Pembelajaran Islam Al-Azhar Mesir di depan pertemuan dewan tokoh Muslim.

 

Tayeb turut mengutuk tragedi Paris dan serangan yang dilakukan oleh kelompok militer di sebuah hotel di Mali. Menurut dia, kekerasan sama sekali tidak ada dalam ajaran Islam. Dia menegaskan, terorisme adalah filosofi hidup bagi mereka yang memang berniat untuk mati. Bagi dia, ini lebih pada "penyakit psikologi dan intelektual" dengan menggunakan agama sebagai tameng.

Menurut Tayeb, mereka yang membakar Alquran dan masjid-masjid di belahan Barat juga bisa dianggap sebagai teroris. "Tindakan mereka adalah pemicu bagi gerakan kelompok militan," ujarnya seperti dikutip Reuters.

n ed: a syalaby ichsan

***

1. Islam tak Ajarkan Teror

Fani Wardhana, Surabaya

Paris diguncang terror. Tak hanya di satu tempat, tapi terhitung tiga. Kafe, stadion, dan gedung konser. Tak butuh waktu lama berita kejadian teror di Paris tersebut tersiar secara masif di berbagai media, khususnya media online. Selang beberapa saat tagar #PrayForParis menjadi trending topic di berbagai media sosial.

 

Banyak orang yang mengganti foto profil akun Facebook-nya dengan bendera Prancis untuk membuktikan bahwa mereka ikut berbelasungkawa atas kejadian teror yang terjadi di Paris. Berbagai ucapan belasungkawa tertuju kepada warga Paris. Kebanyakan media memberitakan bahwa pelaku aksi Paris Attack tersebut adalah para teroris. Dibuktikan dengan adanya paspor mereka yang menunjukkan identitas sebagai seorang Muslim.

Dikatakan pula bahwa pelaku teror merupakan para imigran yang datang ke Paris. Sebagai seorang Muslim, kita harus memilah dan memilih berita. Karena, kebanyakan berita bernilai subjektif dan tak sedikit yang tidak menunjukkan fakta tapi memihak suatu kelompok tertentu dan menyudutkan kelompok lain. Apalagi, media-media mainstream kebanyakan saat ini tak jarang membebek Barat.

Islam tentu tidak membenarkan tindakan terorisme. Islam punya kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam masalah jihad. Ada fikih jihad yang didalamnya memuat banyak hal yang dibahas mengenai jihad, mengenai syarat yang harus dipenuhi, jadi tidak sembarangan. Ada aturan yang harus dipenuhi dalam kaidah jihad.

Barat, sebagai pencetus HAM, sangat tidak adil, apalagi terhadap umat Muslim. Mereka selalu menetapkan standar ganda antara umat Muslim dan yang lainnya. Bila ada umat non-Muslim yang ingin mendirikan rumah ibadah tapi tidak diizinkan karena sebab yang dibenarkan, Barat segera berkoar-koar berdalilkan HAM atas kejadian itu. Tetapi, bila hal itu terjadi kepada umat Muslim, mereka akan diam seribu kata. Begitu pula dengan gelar teroris.

Apabila pelaku pengeboman atau teror adalah seorang non-Muslim, tidak ada kata-kata teroris di media mereka. Adapun yang muncul adalah gunner man (laki-laki bersenjata) atau yang semisalnya. Tetapi, apabila yang melakukan seorang Muslim, langsung saja hujatan teroris dilabelkan kepada pelaku teror tersebut.

Islam adalah agama yang sempurna, agama yang benar. Tidak akan mengajarkan pemeluknya kecuali kebaikan. Bila ada seorang Muslim yang berbuat teror, jangan salahkan Islam. Islam tidak mengajarkan seperti itu. Itu hanyalah perbuatan segelintir oknum umat Islam yang tentu tidak mencerminkan Islam. Semoga kita bisa semakin bijak dalam menilai segala sesuatunya berdasarkan perspektif kacamata Islam, kacamata syariat. Bukan perspektif kacamata Barat, bukan liberalisme, dan bukan berdasarkan isme-isme yang lainnya.

2.Saat yang Tepat untuk Bermuhasabah

M Jafar Shodiq Al Alawi, Semarang, Jawa Tengah   

Masih teringat jelas dalam benak kita bagaimana dulu gedung kembar pencakar langit di Amerika Serikat diteror. Dalam kasus terbaru di Paris, Prancis, ada enam titik lokasi yang menjadi sasaran pengeboman dan penembakan oleh para teroris, mulai dari restoran, lingkungan stadion, hingga tempat konser musik. Hujan simpati pun mengalir dari berbagai kalangan dan lewat berbagai cara. Termasuk di media sosial yang memasang bendera Prancis sebagai wujud turut berduka cita dan kecaman terhadap aksi terorisme.

Pengakuan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan di Prancis kembali memunculkan ketakutan terhadap Islam. Lantas bagaimana kita sebagai umat Islam menyikapi hal ini? Menurut hemat saya, adanya ketakutan terhadap Islam justru merupakan saat yang tepat untuk bermuhasabah (introspeksi diri). Sebab, seperti halnya manusia, sebaik apa pun manusia pasti ada yang membenci. Seperti itu pun agama. Sebaik apa pun agama pasti selalu ada pihak yang membenci.   

Orang yang berpikir jernih dan memiliki hati nurani tentu tidak akan membenci orang yang berbeda agama. Sebab, setiap agama pasti mengajarkan kebaikan, seperti halnya agama yang bila ditilik dari sudut etimologi, kata 'agama' bersumber dari bahasa Sanskerta. Secara harfiah, agama terbentuk dari dua kata, yakni 'a' (tidak) dan 'gama' (kacau) memiliki makna tidak kacau atau keteraturan.

Bahkan, ketika saya membuka media sosial, saya menemukan adanya meme yang bergambar Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo dengan tulisan, "Jangan hubungkan ISIS dengan Islam. ISIS adalah musuh dunia. Dan wayang terbaru bernama ISIS ini justru merugikan umat Islam. Jadi, setop! Jangan fitnah Islam lagi.     Disadariatau tidak, Islam memberi banyak sumbangsih bagi dunia, bahkan dulu banyak ilmuan Muslim yang terkenal. Tapi, mengapa sekarang justru Islam difitnah?"

Kembali ke jawaban saya mengenai muhasabah sebagai solusi dalam menyikapi Islamofobia. Sudahkah kita sebagai umat Islam benar-benar menjalankan Islam kita? Atau jangan-jangan Islam kita hanya sebatas ritual, belum mencapai tahap substansial? Saat bangun malam kita lebih memilih menonton tayangan sepak bola ataukah melakukan shalat malam?

Akhirnya, Indonesia sebagai negara yang mayoritas beragama Islam jika negara ini maju, yang pertama kali patut bangga adalah umat Islam. Tetapi, jika negara ini terpuruk, yang pertama kali patut bertanggung jawab adalah umat Islam. Semoga kita termasuk Muslim yang kafah dan mampu berkontribusi positif untuk negeri ini pada khususnya dan bagi dunia ini pada umumnya.

3.Antisipasi Islamofobia

Herwin Nur, Tangerang Selatan

Semua rasul membawa ajaran tauhid dan keharusan manusia menyembah Allah. Namun, pengingkaran sampai tindakan penyimpangan bahkan perlawanan manusia dari satu nabi ke nabi berikutnya, dari satu rasul ke rasul berikutnya, sedemikian dahsyat yang sulit diilustrasikan dengan kata-kata. Akhirnya Allah menetapkan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir dengan tujuan menjadi rahmat bagi alam semesta serta untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan.

Islam bertumbuh kembang di atas batu karang. Tak pernah lepas dari terjangan badai, sapuan ombak, hantaman hujan yang malah menjadikan tahan banting, kokoh, membumi, dan mendunia.

Islam bertumbuh kembang beriringan dengan gerakan kaum yang tidak beragama tauhid, bahkan sampai sekarang pun sejalan dengan gerakan antimonoteisme. Padahal, semua manusia menurut fitrahnya beragama tauhid. Karena pengaruh lingkungan dan peradaban, terjadilah pengingkaran.

Untuk mengantisipasi gerakan dan aksi Islamofobia, umat Islam wajib menyikapi dari  dua sisi, bak mata uang.

Pertama, baik kaum maupun bangsa dan negara yang menganut ajaran antimonoteisme, secara sistematis, masif, dan terus-menerus berusaha dan berupaya sampai akhir zaman untuk melakukan aksinya secara legal, formal, dan dalam skala dunia. Mereka menerapkan dan melestarikan stereotip Islam fundamentalis, membuat stigma Islam radikal. Setiap kali ada aksi Islam fundamentalis maupun Islam radikal akan disiarkan besar-besaran dan dibesar-besarkan oleh media massanya dan antek-anteknya di jagat raya.

Kedua, jika urusan agama Islam tanyakan kepada ahlinya, ternyata para ahli lebih giat di ideologi. Wadah juang umat Islam, seperti organisasi kemasyarakatan, partai politik, majelis ulama, atau bentuk lainnya lebih mengutamakan dan mengedepankan perjuangan ideologi Islam daripada menegakkan etika Islam. Umat Islam terbelenggu dengan urusan dunia, lebih cinta dunia ketimbang urusan akhirat. Umat Islam malah tidak merapatkan barisan, lebih pilih sibuk dengan dunianya.

Jadi, maraknya Islamofobia bukan sekadar rasa takut dan benci dari kaum, bangsa, dan negara tertentu terhadap agama Islam tanpa sebab tertentu.

4.Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Hidayatul Khasanah, Purwodadi Grobogan

Lebih dari 100 orang dikabarkan tewas dan lebih dari 300 orang mengalami luka-luka. Beberapa spekulasi muncul karena Prancis menutup gelombang imigran, yaitu orang-orang yang mencari perlindungan dan suaka. Para imigran itu berasal dari sejumlah negara Timur Tengah, Afrika, serta Asia Selatan, dan yang paling banyak berasal dari Suriah.

Akankah serangan teror di Paris akan mengubah kebijakan dan sikap mereka terhadap para imigran? Ini berarti program kemanusiaan itu telah dihancurkan oleh tindakan tidak manusiawi para teroris di Paris. Kejahatan kemanusiaan berkedok agama harus segera diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Mengapa mereka sampai menyerang Prancis?

 

5.Bukan Representatif  Keinginan Umat Islam

Tatang Muljadi, Karawang

         

Pascakejadian teror di Paris, Prancis, beberapa waktu lalu, mungkin saja kecurigaan bahkan kebencian terhadap Islam akan semakin bertambah-tambah dari masyarakat non- Muslim internasional, terutama dari kelompok anti-Islam. Hal ini dapat kita pahami walau peristiwa teror tersebut sebenarnya bukanlah tanpa sebab dan berdiri sendiri. Biasanya hal ini akibat persoalan politik dan perlakuan tidak adil terhadap dunia Islam. Dan teror tersebut merupakan bagian dari bentuk protes.         

Harus dipahami pula oleh masyarakat internasional bahwa kejadian berbagai teror tersebut bukan merupakan representatif perbuatan dan keinginan umat Islam secara keseluruhan. Ini merupakan perbuatan sebagian kecil yang dilakukan oknum umat Islam. Karena, Islam tidak mengajarkan kekerasan dan Islam tidak pula mengajarkan permusuhan. Malah sebaliknya, Islam mengajarkan perdamaian dan persaudaraan dengan umat lain. Sebagai agama yang menyebarkan prinsip rahmatan lil alamin, Islam amat menghargai perbedaan, memberikan hak yang sama, bahkan Islam memberikan perlindungan terhadap umat lain, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berada di Madinah.         

Dari kejadian teror di Paris tersebut, semoga akan menjadi pelajaran buat seluruh masyarakat dunia. Cukuplah peristiwa tersebut menjadi peristiwa duka yang terakhir. Ke depan, mari kita susun format perdamaian yang abadi di antara bangsa-bangsa dan kelompok agama yang berbeda. Masyarakat Barat yang memiliki pemikiran yang terbuka dan kritis diharapkan bisa mengikis kesalahpahaman terhadap Islam. Islam dan umat Islam yang kini tengah kena getahnya semoga dapat bersikap tabah dan tawakal. Tunjukkan ishadu bi anna muslimun secara baik dan benar. Siapa tahu hikmah di balik peristiwa ini, keingintahuan mereka (non-Muslim) terhadap Islam semakin besar  sehingga syiar Islam di Eropa semakin bersinar.

6.Terorisme adalah Musuh Bersama

Taufik Nugroho, Sukabumi

Serangan teroris kembali terjadi untuk kesekian kalinya. Tragedi pengeboman di Paris pada minggu lalu menjadi pusat perhatian dunia. Beribu ucapan duka disampaikan dengan berbagai macam cara, baik melalui media sosial maupun media cetak dan audio visual. Namun, sungguh disayangkan, reaksi terhadap tragedi pengeboman di Paris ini membuat masyarakat di dunia seakan-akan lupa dengan tragedi terorisme yang lebih kejam dan keji. Seperti yang terjadi di negara Palestina, Syria, Myanmar, dan negara lainnya.

Tragedi pengeboman yang terjadi di Paris ini mempunyai pengaruh negatif terhadap umat Muslim sedunia, khususnya di wilayah Eropa. Umat Muslim seakan-akan tertuduh bersalah dan bertanggung jawab atas tragedi ini. Ditambah lagi, negara Prancis merupakan negara yang mempunyai catatan hitam terhadap kejahatan yang berkedok agama, bercermin pada tragedi Revolusi Prancis. Sehingga, menimbulkan kebencian yang lebih kepada umat Muslim.

Jika melihat peristiwa yang terjadi, tak bisa dimungkiri bahwa terorisme menjadi alat untuk mengadu domba antaragama di dunia, menjadi alasan negara-negara adidaya  seperti Amerika serikat menginvansi negara-negara yang mayoritas beragama Islam. Dengan tujuan tak lain mengambil alih sumber daya yang terdapat pada negara tersebut.

Maka, sudah sepatutnya kita sesama umat manusia dengan latar agama yang berbeda menyadari bahwa terorisme adalah kejahatan yang bukan didasari oleh agama. Karena, semua agama di dunia tidak pernah mengajarkan untuk menyakiti sesama manusia. Jelas sudah bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan yang benar-benar dikutuk oleh semua agama dan merupakan musuh bersama.

7. Kekerasan Atas Nama Agama Lahirkan Duka

Rasno Ahmad Shobirin, Nusakambangan, Jawa Tengah

Peristiwa penembakan di gedung konser Bataclan di pusat Kota Paris, Prancis, dan beberapa tempat lainnya secara barbar yang menewaskan 129 orang dan melukai lebih dari 200 orang itu menjadi peristiwa kesekian kalinya yang menyeret label "Islam". Respons terhadap peristiwa 13 November 2015 itu pun beragam. Mulai dari merasa sedih, marah, hingga menimbulkan empati dari belahan dunia.

Duka Paris seolah menjadi duka bersama. Peristiwa Paris menyisakan pelbagai masalah baru, terutama bagi kaum Muslim sebagai minoritas di negara-negara non-Muslim. Islamofobia pun kembali terjadi. Intimidasi dan teror kebencian terhadap warga Muslim tidak terhindarkan. Mereka—yang tidak tahu menahu-menahu bahkan tidak mengenal para pelaku penyerangan—kerap menjadi sasaran empuk.

Stigma negatif terhadap Muslim pascaserangan mematikan itu cukup menyakitkan warga Muslim. Tetapi, kita juga cukup memahami bahwa situasi seperti ini akan terus menimpa warga Muslim selama kekerasan dan pembunuhan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama Islam tetap ada.

Masyarakat Muslim yang percaya bahwa Islam agama yang rahmatan lil alamin akan tetap tegar dalam mengahdapi berbagai tudingan negatif. Bahkan, tidak sedikit dari warga Muslim yang memberanikan diri dan lantang menyatakan bahwa teroris bukan bagian dari Islam. Untuk menangkal Islamofobia, kita harus bahu-membahu meyakinkan mereka bahwa Islam itu rahmatan lil'alamin (rahmat bagi semesta alam)—Islam jauh dari segala macam kebencian dan teror pembunuhan.

Kita berharap peristiwa Paris tidak terulang kembali, begitu pula dengan kekerasan yang melanda negara-negara Muslim lainnya, seperti di Irak, Afghanistan, Lebanon, Yaman, dan Palestina segera berakhir. Pada akhirnya, kekerasan apa pun, terlebih atas nama agama, hanya akan menyisakan duka dan nestapa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement