Jumat 20 Nov 2015 17:00 WIB

FOKUS PUBLIK- Siapa Keluarkan Dana Lobi?

Red:

JAKARTA — Tak ada asap jika tak ada api. Pepatah itu cocok disematkan atas adanya dugaan skandal penggunaan jasa lobi dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Adalah Michael Buehler, dosen politik Asia Tenggara di Universitas London yang pertama kali mengepulkan asap itu.

 

Lewat artikelnya yang dimuat di laman New Mandala, seksi dari laman resmi Universitas Nasional Australia, Michael, pada Jumat (6/11), menuding ada jasa lobi yang digunakan RI untuk pertemuan dengan Pemerintah AS dan sejumlah pengusaha di negeri Paman Sam. 

Buehler juga menuding penggunaan jasa pelobi swasta taersebut mengindikasikan bahwa kunjungan Jokowi ke AS tak semata dikendalikan Kementerian Luar Negeri. Menurutnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga bergerak.

Kemenlu melalui siaran pers resminya pada Sabtu (7/11) menyatakan, Pemerintah Indonesia tidak menggunakan jasa pelobi dalam mengatur dan mempersiapkan kunjungan Presiden Jokowi ke AS. Luhut Pandjaitan juga menyangkal bahwa kunjungan Jokowi ke AS dibantu broker swasta. Meski begitu, ia mengaku kenal dengan Derwin Pereira, pendiri Pereira International, dan menginginkan pemerintah memiliki pelobi resmi di AS yang didanai APBN.

Hanya, Buehler rupanya tak asal ucap. Ia menilai, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait dugaan itu. Dia menyoroti surat bukti penggunaan jasa pelobi R&R Partners oleh Pereira International untuk Pemerintah RI. Dokumen itu tersimpan dan bisa diakses publik melalui laman Foreign Agent Registration Act (FARA) yang dikelola Kementerian Kehakiman AS.

"Sangat jelas dokumen resmi tersebut didaftarkan ke Departemen Kehakiman AS pada 17 Juni," ujar dia dalam e-mail kepada Republika, Kamis (12/11). Menurut Buehler, Pemerintah Indonesia berbohong terkait dokumen resmi tersebut karena menyatakan tak pernah menggunakan jasa pelobi.

 

Dalam dokumen itu tercantum bahwa ada perjanjian pembayaran senilai 80 ribu dolar AS untuk R&R Partners dari Pemerintah Indonesia melalui Pereira International. Setidaknya 40 ribu dolar AS telah dibayarkan untuk R&R Partners oleh Pemerintah Indonesia melalui Pereira International pada Juni lalu.

Dalam dokumen tercantum bahwa pelayanan yang disediakan R&R Partners meliputi lobi ke kongres AS dan ke pihak-pihak penting lainnya di AS untuk mendukung kunjungan Presiden Joko Widodo pada Oktober lalu. Buehler mengingatkan bahwa hukum AS mengancam penjara selama lima tahun bagi pihak-pihak yang berbohong terkait dokumen resmi.

Pertanyaannya sekarang menjadi jelas. Jika Kemenlu dan Kemenko Polhukam membantah telah mengeluarkan duit negara untuk penggunaan jasa lobi, lalu siapa yang mengeluarkannya? Sayangnya, Istana bergeming saat coba dikonfirmasi kembali soal pertanyaan itu. Istana pun tidak bersikap proaktif untuk menggugat Buehler ke penegak hukum demi membuktikan bahwa lobi itu hanya fitnah belaka.

 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) siap memeriksa dugaan penggunaan jasa pelobi swasta terkait kunjungan Presiden Joko Widodo ke AS beberapa waktu lalu. Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, jika benar ada uang negara yang digunakan, hal tersebut harus dipertanggungjawabkan.

Harry mengatakan, sudah menjadi kewajiban BPK untuk memeriksa penggunaan atau dugaan penggunaan uang negara. "BPK pasti memeriksa setiap rupiah uang negara yang dibelanjakan. Itu sudah menjadi tugas konstitusional BPK," kata Harry saat dihubungi Republika, Rabu (11/11).

 

Ia menegaskan, uang negara sudah semestinya jelas penggunaannya. Penggunaannya juga semestinya untuk kepentingan rakyat Indonesia. "Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa tiap rupiah uang negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," ujar mantan anggota DPR Komisi Keuangan dan Perbankan ini.

 

Harry juga tak menyangkal bahwa tim dari BPK akan diterjunkan untuk menelusuri dugaan penggunaan dana tersebut. "Soal itu tak usah ditanya lagi," kata dia menegaskan.

N ed: a syalaby ichsan

***

Kurangi Sensasi, Perbanyak Prestasi

M Jafar Shodiq Al Alawi, Tegal, Jawa Tengah

Sebagai orang nomor satu di Indonesia, gerak-gerik Jokowi tak pernah lepas dari sorotan pemberitaan media. Beberapa hari terakhir ini, kunjungan Jokowi ke Amerika Serikat mewarnai pemberitaan. Berita tersebut terkait adanya jasa lobi untuk memuluskan kunjungannya ke Amerika Serikat. Berita mengenai jasa lobi ini dilatarbelakangi tulisan artikel dosen ilmu politik Asia Tenggara bernama Michael Buehler.

Buehler menuturkan bahwa kunjungan Jokowi ke AS tak lepas dari kerja para pelobi yang digunakan Pemerintah Indonesia. Untuk menguatkan tudingan itu, ia menautkan dokumen resmi yang dimuat pada laman Foreign Agents Registration Act (FARA). Dokumen itu menjelaskan bahwa sebuah perusahaan konsultan dan lobi politik asal Las Vegas, R&R Partners Inc, dipakai jasanya oleh Pemerintah Indonesia melalui Pereira International PTE Ltd, perusahaan konsultan asal Singapura (Republika.co.id).

Menanggapi berita tersebut, Menteri Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan membantah bahwa kunjungan Jokowi menggunakan jasa lobi. Namun, ia mengaku tengah menimbang agar Indonesia memiliki juru lobi resmi di Amerika Serikat. Saya tidak tahu mana yang benar, apakah pernyataan Luhut ataukah pernyataan Buehler. Namun, saya hanya akan memberi catatan, jika memang pernyataan Buehler yang benar, jangan sampai dana untuk lobi itu merugikan rakyat.

Lobi haruslah membuahkan laba untuk rakyat. Dan jika pernyataan Luhut yang benar, pemerintah perlu lebih serius dalam bekerja. Alangkah lebih bijak jika pemerintah menghentikan kasak-kusuk yang kontraproduktif. Beban rakyat sudah terlalu banyak, maka tunjukkanlah bahwa pemerintah sanggup bekerja dengan baik. Jangan membuat rakyat kecewa, kurangi sensasi, perbanyak prestasi. Karena, hidup bukan sekadar  mencari sensasi, tapi butuh prestasi. Selamat bekerja, kerja, dan kerja.

 

Bikin Malu Bangsa

Mianor Rakinaung, Jakarta

Menterinya Jokowi pada pilong semua, melakukan tindakan yang mempermalukan bosnya. Mengapa melakukan kunjungan kenegaraan harus pakai broker? Lebih baik tak usah melakukan kunjungan daripada bikin malu bangsa, harus menyembah negara lain dengan pakai broker segala.

Harusnya Beri Fakta

Jaswar Koto, Pekanbaru

Jika pemerintah tak pakai broker, seharusnya pemerintah membuat counter back dengan fakta/bukti yang valid. Kalau tidak, berita dari luar itu benar adanya.

Pemerintah Harus Terbuka

Giyat Yunianto, Bekasi

Indonesia merupakan negara yang berdaulat dan setiap negara memiliki kedudukan yang sama dengan negara lain. Adanya jasa perusahaan lobi di balik kunjungan Jokowi ke Amerika Serikat sangatlah merendahkan harga diri bangsa. Karena, hal tersebut menunjukkan posisi Indonesia lebih rendah dari negeri Paman Sam. Bukankah Indonesia telah memiliki kedutaan besar yang dapat mengatur kunjungan Jokowi hingga pertemuan dengan Presiden Obama? Pemerintah harus menjelaskan secara terbuka kepada rakyat Indonesia mengenai jasa lobi tersebut karena telah menggunakan anggaran negara yang notabene merupakan uang rakyat yang tidak sedikit.

Bisa Ya Bisa Tidak

Tatang Muljadi,

Urusan lobi-melobi merupakan hal biasa dan dikenal di kalangan dunia bisnis dan pemerintahan. Cuma masalahnya, apakah jasa lobi itu perlu untuk Indonsia? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Pemerintahlah yang bisa menjawabnya dengan tepat apakah suatu urusan/kepentingan memerlukan jasa lobi atau tidak. Sebenarnya jasa lobi bisa saja dipergunakan, yang penting pelaksanaannya harus transparan. Tujuannya untuk kepentingan dan keuntungan rakyat banyak, bukan orang per orang atau kelompok.

Lagi pula tidak setiap urusan/kepentingan selalu memerlukan jasa pelobi. Pemerintah harus pandai memilah mana urusan yang mesti memakai jasa pelobi dan mana yang tidak. Mungkin cukup saja oleh diplomat atau memanfaatkan orang Indonesia yang berpengaruh di beberapa negara tertentu, misalnya. Karena, jika setiap urusan harus memakai jasa pelobi (apalagi) luar negeri, tentunya akan banyak menyedot anggaran negara. Jika pemerintah pintar memanfaatkan serta dapat meningkatkan kemampuan potensi pelobi domestik, baik para diplomat atau orang Indonesia yang memiliki pengaruh,  alokasi anggaran untuk jasa pelobi luar negeri bisa dialihkan untuk keperluan rakyat yang lain.

Darurat Kedaulatan Politik Luar Negeri

Herwin Nur, Tangerang Selatan

Kita masih ingat geger politik luar negeri, media massa menayangkan dengan berbagai versi, selera dan ragam, yaitu pertemuan Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dengan calon presiden (capres) Amerika Serikat Donald Trump menuai kontroversi. Ketua DPR RI bersama Donald Trump sempat menandatangani  perjanjian dengan Komite Nasional Partai Republik di New York, Kamis (3/9/2015). Trump menyebut Setya Novanto sebagai orang berpengaruh di Indonesia.

Fadli bertemu dengan Trump saat ia sedang berkampanye sebagai calon presiden AS. Kehadiran dan pertemuan Novanto dan Fadli dengan capres AS itu dinilai tidak etis karena keduanya mewakili lembaga DPR RI serta dapat dinilai publik internasional sebagai bentuk dukungan DPR terhadap salah satu calon.

Yang belum terhapus dari memori kita, apalagi sejarah bangsa adalah Presiden RI Joko Widodo bertamu dan bertemu dengan Presiden AS Barack Obama di Gedung Putih, Washington, 27 Oktober 2015, selama 80 menit, berbayar atau seharga 80 ribu dolar AS.

Buku Menyongsong 2014-2019 Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah, hak cipta (copy right) Badan Intelijen Negara (BIN), editor: Muhammad AS Hikam, menyebutkan, "Desain politik luar negeri Indonesia saat ini, harus diakui, bersifat lebih banyak reaktif daripada antisipatif dan visioner. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pelaku hubungan internasional di Kementerian Luar Negeri dan observasi kegiatan mereka, sudut pandang dalam menjalankan tugas adalah melihat bagaimana negara lain akan bertindak atau berkata barulah Indonesia menentukan sikap dan untuk melakukan reaksi post-facto."

Dalam forum-forum internasional, rata-rata diplomat Indonesia punya persiapan terbatas sebelum sidang dan baru membaca situasi ketika di dalam ruang sidang. Di kantor-kantor perwakilan RI, khususnya di wilayah yang banyak migran dari Indonesia, perhatian seluruh diplomat terarah pada pelayanan konsuler atau perlindungan tenaga kerja. Jadi, hal-hal teknis dan rutin saja yang banyak mendapat porsi energi staf.

Jadi, jangan diartikan bahwa slogan politik luar negeri Indonesia, bebas aktif, menjadi dasar hukum terjadinya dua kasus di atas. Secara politik sah-sah saja, tidak ada pasal kode etik yang dilanggar. Atau kita harus memaklumi bahwa ekses politik luar negeri bebas aktif menjadikan kita wajib mengkuti aturan main politik internasional. Politik tetap politik.

Seolah politik luar negeri Indonesia bergantung pada kebutuhan, permintaan, dan harga pasar; mengikuti arus dan aliran kuat; ditentukan siapa pemegang kendali; menaati aturan tak tertulis; manfaatkan jalur pendek nonprotokoler; tidak punya posisi tawar walau mengandalkan jumlah penduduk masuk lima besar dunia.

Trie Jaya, Bogor

Memalukan martabat bangsa ini, tidak ada protokoler resmi atau upacara penerimaan negara. Berita ini tidak ramai dan tidak ada di Kompas, Detik, dll. Tidak berimbang. Tapi, bila beliau disebut-sebut new hope, masuk orang hebat dunia, weleh-weleh beritanya selangit, sudah ke mana-mana nyampe bulan.

Masih banyak yang harus dipikirkan

Muhammad Anwar, Ketapang

Cukuplah! Opini-opini yang selalu menyalahkan yang satu dengan yang lainnya. Masih banyak yang harus dipikirkan untuk membangun Indonesia tercinta ini. Marilah kita semua berpikir bagaimana membangun negeri ini. Jangan selalu memikirkan kekalahan yang sudah terjadi. Majulah Indonesiaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement