Jumat 13 Nov 2015 13:00 WIB

FOKUS PUBLIK- Bukan Sekadar Kebencian

Red:

JAKARTA -- Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 yang mengatur tentang ujaran kebencian menuai kontroversi. Ada pro dan kontra di balik penerbitan surat tersebut. 

Pihak pendukung, khususnya Polri, beranggapan bahwa surat edaran itu tak lebih dari sosialisasi perundang-undangan yang sudah ada kepada internal Polri. Bentuknya pun dipilih surat edaran. Sementara, kalangan lainnya mengkritik surat itu karena khawatir adanya pengekangan kebebasan berpendapat seperti di zaman Orde Baru.

Sebenarnya apa makna ujaran kebencian yang disampaikan surat edaran itu? Pada Nomor 2 huruf (f) SE itu menyebutkan bahwa "ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP.

Ada tujuh bentuk ujaran kebencian, yakni penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Selanjutnya, disebutkan bahwa ujaran kebencian itu bertujuan untuk menyulut kebencian berbagai individu atau kelompok masyarakat. Kelompok ini lantas dibedakan menjadi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnik, gender, kaum difabel, hingga orientasi seksual.

Ujaran kebencian pun disampaikan dalam berbagai bentuk mulai orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak atau elektronik, dan pamflet.

Setiap personel Polri pun diminta untuk mengawasi dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya pertikaian di tengah masyarakat. Jika dilihat ada gejala tersebut, petugas polisi diharapkan dapat menyelesaikannya dengan perdamaian. Ketika langkah preventif tidak menuai solusi, maka polisi diminta untuk mengambil langkah hukum berdasarkan UU KUHP dan undang-undang terkait lainnya seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Selaku konseptor SE Kapolri tentang Ujaran Kebencian, Kompolnas menyatakan kebencian yang dimaksud dalam surat itu bukan bersifat personal. "Melainkan kebencian yang bersifat serangan pada primordial (SARA)," kata anggota Kompolnas, Adrianus Meliala. Artinya, benci (tidak suka) kepada seseorang itu merupakan hal biasa. Namun, kalau benci itu diwujudkan dengan ungkapan yang berunsur suku/etnis, agama, ras/golongan, dan "kelemahan fisik", maka itu dimaksud dengan ujaran kebencian.

"Jadi, SE itu bukan kriminalisasi," katanya. Tidak hanya serangan terhadap SARA, kebencian yang dimaksud merupakan prasangka aktif atau prasangka yang dimunculkan dalam media tersebut. Menurut dia, ujaran kebencian bukan sekadar menjawab e-mail, meng-hashtag Twitter, me-like Facebook, mengunggah pesan di Whatsapp, dan lainnya, tetapi juga di luar media sosial. Hanya saja, targetnya sama, yakni serangan terhadap SARA.

Adrianus mengakui, regulasi ujaran kebencian itu merupakan rancangan Kompolnas. "Awalnya, kami menerima banyak pengaduan dari dalam dan luar negeri pada tahun 2013. Orang asing itu heran, kenapa orang menghujat orang lain dengan idiom primordial (SARA) di Indonesia kok dibiarkan," katanya.

Menyikapi hal itu, Kompolnas pun melihat regulasi ujaran kebencian di dalam dan luar negeri, terutama Eropa. Dia menjelaskan, Eropa paling ketat dalam hate speech. Sementara, di Indonesia sebenarnya sudah punya KUHP dan UU ITE yang mengatur hal tersebut.

Hanya saja, dia menjelaskan, aparat penegak hukum di Indonesia tidak paham ujaran kebencian. Oleh karena itu, Kompolnas merancang dengan memasukkan regulasi yang ada dalam KUHP dan UU ITE. Namun, dengan petunjuk teknis di lapangan.

Meski demikian, para aktivis hak asasi manusia hingga aktivis keagamaan khawatir tentang keluarnya surat edaran tersebut. Mereka trauma dengan rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berpendapat dan mengemukakan pikiran. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan.

Di bawah tangan besi rezim Soeharto, banyak aktivis di penjara dan perusahaan pers diberedel. Para dai yang menentang asas tunggal pun dikejar-kejar layaknya buronan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta termasuk organisasi yang khawatir dengan ujaran kebencian itu. Penanganan ujaran kebencian (hate speech) oleh Polri dikhawatirkan membatasi partisipasi masyarakat untuk mengkritik pemerintahan.

"(Dengan hate speech) peluang membatasi masyarakat untuk mengkritik pemerintah sangat besar," kata Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, Jakarta, Selasa (10/11). Tujuan dari pengaturan ujaran kebencian adalah untuk mencegah konflik horizontal di masyarakat. Menurut dia, surat edaran Kapolri itu memungkinkan salah penafsiran untuk kebebasan berpendapat. Terlebih adanya pencantuman pasal penghinaan dan pencemaran nama baik sebagai bentuk tindak pidana yang digolongkan sebagai ujaran kebencian.

"Sebagaimana kita ketahui bahwa pasal pencemaran nama baik merupakan pasal karet yang sering digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi," ujarnya.Untuk itu, ia mengatakan, surat edaran itu harus dibuat lebih terperinci sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasi di lapangan oleh kepolisian. Surat edaran pun diminta ditarik agar Polri berfokus kepada pencegahan konflik horizontal dan penyerangan terhadap kelompok tertentu berdasarkan ras, agama, kepercayaan, etnik, gender, warna kulit, dan lainnya.

n ed: a syalaby ichsan

***

1. Jangan Ada Permainan Politik

Nila Munasari, Tangerang Selatan

Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 menuai polemik dari berbagai lapisan masyarakat. Di mana hal ini berasumsi sebagai langkah persuasif agar masyarakat lebih santun dan bijak dalam menyikapi isu serta permasalahan yang merebak di ranah sosial khususnya. Namun lagi-lagi di tengah arus globalisasi dan teknologi yang semakin pesat, banyak hal sepele yang akhirnya menjadi problematika besar.

Tetapi bagaimanapun, Polri harus tegas dan jelas dalam menentukan mana yang termasuk hate speech dan mana yang termasuk kritis. Tujuan ini memang baik, namun bukan berarti masyarakat dibunuh haknya untuk mengkritisi suatu hal yang salah dan berakhir dengan sikap apatis. Jangan sampai suasana Orde Baru terulang lagi, di mana mulut-mulut kebenaran dipaksa membungkam.

Dan kami sebagai masyarakat berharap semoga tidak ada permainan politik di balik surat edaran ini yang secara terselubung memasung hak masyarakat sebagai pengontrol sosial pemerintah. Sebab pendapat akan melahirkan dua sisi yakni positif atau negatif dan setiap sisi itu memiliki dampak yang variatif.

Sejauh ini, hal yang paling terpenting jangan sampai hal tersebut membunuh hak berpendapat masyarakat. Sebab bangsa ini akan hancur jika hanya bahagia lewat pujian. Karena terkadang yang pahit itu justru menjadi obat dan yang manis menjadi racun. Seperti sabda Nabi yang menegaskan "Qulil haqqa walau kaana murran", katakanlah kebenaran walaupun pahit. Yang lebih fatal lagi jika kebenaran itu ada namun dibisukan. Hal ini menyambung erat dengan perkataan Ali bin Abi thalib yang menganggap bahwa kezaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik.

2. Keputusan yang  Gegabah

Handoyo Kusuma, Ciputat.

Surat edaran (SE) Kapolri No SE/06/X/2015 yang diterbitkan oleh Kapolri Badrodin Haiti mengenai hate speech sangat gegabah. Betapa tidak, sejarah kelam yang telah dialami Indonesia tidak diperhatikan lagi. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, banyak sekali pengalaman baik ataupun buruk yang terjadi terutama penutupan aspirasi rakyat ketika zaman Orde Baru. Karena sejarah ibaratkan suatu spion berguna untuk melihat ke belakang agar menghindari dampak kecelakaan ketika mengendara.

Di dalam Alquran Allah berfirman, "Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah (umat) yang telah lalu, dan sungguh, telah kami berikan kepadamu suatu (Alquran) dari sisi kami" (QS, Thaaha: 99).

Ayat ini mengimbau kepada seluruh umat manusia untuk melihat kembali kisah-kisah yang telah lalu agar bisa mengambil manfaat dan faidahnya, khususnya jika ingin mengambil keputusan.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya Kapolri Badrodin Haiti mempertimbangkan aspek sejarah. Karena, sejarah merupakan aset yang berharga. Membuang sejarah itu bagaikan mengabaikan hasil-hasil penilitian berharga yang telah diteliti masa lalu dan mencoba meneliti dari awal tanpa referensi masa lalu.

3.Ada Segi Positif Aturan Hate Speech

Andi Prambudi

"Kebebasan berpendapat semakin dikekang! Orde Baru dihidupkan kembali," dua kalimat tersebut mungkin mulai ramai disampaikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang menolak hadirnya Surat Edaran Ujaran Kebencian atau Hate Speech dari Kapolri. Surat edaran tersebut dinilai sebagai ancaman karena dikhawatirkan akan mengekang kembali kebebasan pendapat di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru. Terlebih jika pendapat yang disampaikan merupakan kritik bagi pemerintah atau bahkan langsung kepada pihak kepolisian.

Pengategorian beberapa ujaran kebencian sebagai tindak pidana seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan dinilai masih sangat umum sehingga berpotensi menimbulkan kesan pasal karet yang terkadang merugikan sebelah pihak.

Bukan tidak mungkin penafsiran yang masih umum itu juga akan digunakan untuk menggeser orang-orang yang selama ini terlalu kritis terhadap pemerintah. Jika memang seperti ini, maka memang benar bahwa kemunculan surat edaran tersebut merupakan sebuah ancaman.Dalam surat edaran tersebut, Kapolri seharusnya mencantumkan secara terperinci definisi dari bentuk-bentuk ujaran kebencian yang dapat menjadi tindak pidana. Selain untuk menghindari pasal karet, pendefinisian tersebut akan membantu kita untuk melakukan banding jika tindakan kita tidak sesuai dengan yang dituduhkan oleh pihak penuntut.

Sebenarnya, jika dilihat dari sisi lain, penerbitan surat edaran ini adalah upaya pihak kepolisian untuk menertibkan penggunaan media sosial yang sering terlibat aksi saling serang opini. Media sosial seharusnya digunakan untuk penyebaran informasi yang bersifat positif. Tidak hanya itu, Surat edaran tersebut juga akan mengajarkan kita untuk memperbaiki etika dalam berkomunikasi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang salah dan menjurus pada terjadinya konflik.

Upaya penertiban sebenarnya telah dilakukan sebelumnya melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tetapi, undang-undang tersebut lebih menekankan pada pemanfaatan media elektronik. Oleh karena itu, dengan munculnya Surat Edaran Kapolri ini, penertiban terhadap ujaran kebencian nonelektronik juga diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik.

4. Aturan yang tak Perlu

Giyat Yunianto, Bekasi

Zaman telah berubah, di era reformasi setiap orang berhak mengungkapkan pendapatnya melalui media manapun.Adanya Surat Edaran Kapolri tentang ujaran kebencian sangatlah tidak sesuai dengan semangat reformasi dan era keterbukaan informasi. Surat Edaran tersebut justru akan membelenggu kebebasan berekspresi dan bahkan bisa dianggap teror bagi mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat atau proreformasi. Kapolri seharusnya peka terhadap perkembangan zaman sehingga tidak mengeluarkan surat edaran yang notabene dapat menimbulkan polemik ataupun kegaduhan.

Insya Allah masyarakat Indonesia semakin dewasa sehingga tidak mudah terprovokasi oleh ujaran-ujaran kebencian atau hasutan yang dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

5.Kritik Itu Wajar

Busrol Chabibi, Demak, Jawa Tengah

Permasalahan surat edaran (SE) sebenarnya hanyalah salah paham. Sangat wajar jika masyarakat mengkritik progam pemerintah lewat media massa atau lain sebagainya. Sebab, kerjaan yang dilakukan pemerintah seperti 'batu duduk' saja. Coba sedikit menilik permasalahan yang terjadi di Indonesia, kabut asap misalnya, apakah ada penanganan cepat yang berdampak baik bagi masyarakat sekitar? Masa masyarakat sampai shalat Istisqa? Seakan masyarakat sudah tidak punya harapan terhadap pemerintah.

Seharusnya pemerintah ketika mendapat kritikan-kritikan dari masyarakat, buatlah hal itu sebagai cerminan diri. Dengan cerminan itu, pemerintah dapat merasakan bahwa pemerintah belum mampu mengatur negeri pertiwi ini dengan baik. Jangan buat-buat SE tidak jelas seperti ini!

6. Bijak Bermedia Sosial agar Tidak Sial

M Jafar Shodiq Al Alawi

Dulu bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh sopan santun. Kini, seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, masihkah bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh sopan santun? Cukup sulit memang untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Tetapi dengan diterbitkannya SE tentang ujaran kebencian dengan Nomor SE/06/XI/2015 yang ditandatangani pada tanggal 8 Oktober (Republika.co.id), bisa jadi ini merupakan salah satu indikator bahwa bangsa kita telah berubah. Sehingga, kapolri saja sampai perlu untuk membuat surat edaran yang mengatur prosedur penanganan ujaran kebencian.

SE tentang ujaran kebencian ini seyogianya bisa menjadi bahan refleksi untuk kita semua. Kita dituntut agar lebih bijak dalam berujar, termasuk ketika berujar di media sosial. Kita perlu menahan diri dalam menggunakan media sosial, tidak semua hal layak kita umbar di media sosial. Sebab dewasa ini, seakan-akan semua serbaditampilkan di media sosial. Mau makan diunggah di media sosial, marah dengan sesuatu diunggah ke media sosial. Hal ini bisa jadi akan menimbulkan masalah bagi diri kita sendiri. Alih-alih bermedia sosial malah justru akan menyebabkan sial.

Oleh karena itu, alangkah lebih bijak jika sedang marah-marah ditulis saja di buku diary, sehingga hanya kita yang mengonsumsi ungkapan marah kita, tanpa orang lain merasa tersinggung. Kita memang tidak bisa mengatur orang lain untuk berujar, tapi setidaknya kita bisa mengatur diri sendiri untuk berujar. Akhirnya, mari kita ingat dan jalani pesan Nabi, "Fal yaqul khoiron aw liyashmut."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement