Jumat 14 Aug 2015 17:00 WIB

FOKUS PUBLIK- Delik Karet di Pasal Penghinaan Presiden

Red:

JAKARTA — Pemerintah memasukkan kembali pasal mengenai penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Delik penghinaan presiden yang akan dimasukkan dalam Pasal 264 RUU KUHP tersebut masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2015.

Sebagai simbol negara, Presiden Joko Widodo merasa dirinya harus dihormati. "Begini, kalau saya pergi ke negara lain, di sana dicaci maki, kamu mau?" ujarnya pada wartawan, Rabu (5/8).

Mantan gubernur DKI Jakarta itu menegaskan, pasal yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi itu dihidupkan kembali bukan untuk membungkam rakyat. Menurutnya, pasal penghinaan presiden justru untuk melindungi mereka yang kerap mengkritisi pemerintah lewat cara yang baik demi kepentingan umum. "Kalau tidak ada pasal itu malah bisa dibawa ke pasal-pasal karet," ujarnya.

Jokowi juga menyebut bahwa pasal penghinaan presiden pernah diajukan pemerintah sebelumnya. Namun, saat itu pembahasannya tidak selesai di DPR. Pemerintah sekarang mengajukan kembali pasal penghinaan itu. "Ya, namanya juga rancangan, terserah di dewan dong," kata dia.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengungkapkan, pasal yang diajukan berbeda dengan pasal yang dibatalkan MK. Menurutnya, rancangan pasal tersebut bersifat delik aduan. Sementara, pasal yang dibatalkan pada 2006 lalu merupakan delik umum.

Dia menegaskan, revisi RUU KUHP tentang pasal itu difungsikan sebagai perangkat hukum yang semestinya melindungi dan menjaga hak setiap individu. Tidak terkecuali, presiden dan jajaran pejabat pemerintahan lain.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sangat dilematis."Di satu sisi, pasal itu mengancam demokrasi, sehingga dibatalkan oleh MK, sisi lain, martabat presiden harus dilindungi," tulis Mahfud akun Twitter pribadinya, @mohmanfudmd.

Mahfud menambahkan pasal 263 dan 264 dalam RUU KUHP yang baru telah menimbulkan komplikasi yuridis dan bisa mengancam demokrasi dan hak-hak konstitusional setiap orang. Komplikasi yang dimaksud adalah substansi pasal tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, padahal menurut pasal 24C (1) UUD, putusan MK adalah final.

Pasal-pasal penghinaan tersebut mengancam demokrasi dan hak-hak konstitusional setiap orang karena sulit merumuskan kriteria antara mengritik dan menghina. Jika dilihat, lanjutnya, mengritik dan menghina memang beda jauh, tapi saat akan dirumuskan dalam kalimat hukum menjadi sangat sulit.

"Sebenarnya, RUU KUHAP yang diributkan ini sudah diajukan oleh pemerintahan SBY pada Maret 2013. Waktu itu sudah diributkan, tapi terhenti," ujarnya.

Mahfud menyetujui, orang yang menghina presiden dan wakil presiden harus dihukum. Negara harus menghukum orang yang menggambarkan presiden sebagai hewan yang bodoh. "Negara harus menghukum orang yang mencerca Presiden dengan sarkastis atau menggambarkan di depan umum Presiden sedang berbuat asusila," jelasnya.

Persoalannya, tegas Mahfud, adalah bagaimana membuat rumusan dalam pasal-pasal aturan hukum agar tak bisa digunakan secara "karet" untuk memberangus demokrasi & HAM. "Kita harus beradab membangun demokrasi &konstitusi yang sehat, tapi tak boleh membiarkan penghinaan pada Presiden. Ini yang harus dirumuskan," tegas Mahfud.

Pengamat hukum tata negara M Nasef mengatakan, dalam perspektif ketatanegaraan, rencana positivisasi pasal penghinaan presiden punya risiko konstitusional. "Pertama, materi pasal penghinaan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 264 RUU KUHP itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang telah dibatalkan MK melalui putusan No 013-022/PUU-IV/2006," jelasnya.

Oleh karena itu, sambung Nasef, rencana dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden bisa dianggap sebagai constitutional disobedience. Kedua, lanjut Nasef, materi pasal penghinaan tersebut bisa menjadi "bumerang" bagi pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara. Terutama, dalam hak mengeluarkan pendapat dan hak berekspresi. Sebab, tidak ada batasan definisi yang jelas soal "penghinaan", sehingga pasal tersebut sering disebut pasal karet.

n ed: a syalaby ichsan

***

1.Bukan tanpa Sebab

Resty Septianie SR

Bukan tanpa sebab Presiden Joko Widodo menginginkan kembali dicantumkannya pasal penghinaan presiden dan bukan tanpa sebab pula masyarakat pada umumnya melontarkan perkataan negatif terhadap pemimpin negara.

Saya rasa pemerintah harus lebih bijak dalam mengatasi masalah ini. Tindakan nonpersuasif hanya akan membuat masyarakat semakin memendam amarah bahkan lebih buruk. Hal yang tidak dapat kita bayangkan akan terjadi, seperti tindak kekerasan, demonstrasi di mana-mana, dan sebagainya.

Untuk itu, sebaiknya pemerintah mulai mendengarkan apa permasalahan yang membuat masyarakat Indonesia menjadi menderita sehingga melontarkan perkataan negatif kepada pemerintah. Seperti dihilangkannya subsidi BBM yang membuat harga-harga naik, biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal.

Semoga pemerintah dapat dengan cepat mendengar dan menyelesaikan permasalahan negara ini, agar cita-cita bangsa dapat terwujud.

2. Tergantung Tujuannya

Mahmudin Madani, Jakarta

Negara adalah organisasi terbesar dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam mencapai tujuan bersama. Setiap unit masyarakat diperlukan seorang pemimpin, demikian juga negara. Pemimpin tertinggi negara RI adalah presiden yang kita pilih dan kita sepakati bersama.

Presiden adalah representasi negara RI dan seluruh masyarakat bangsa ini. Maka, jika ada pihak-pihak yang menghina presiden RI, berarti menghina bangsa Indonesa seluruhnya. Sebagai warga bangsa tentu kita tidak rela jika presiden kita memperoleh hinaan dari pihak manapun.

Bagaimana jika undang-undang tentang penghinaan terhadap presiden RI dihidupkan lagi? Jika bertujuan menjaga kehormatan bangsa, jika bertujuan menyelamatkan bangsa dari ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar, dan jika untuk tujuan-tujuan mulia lainnya, tentu semua warga bangsa ini akan sepakat dan setuju.

Namun, jika menghidupkan kembali undang-undang tentang penghinaan presiden bertujuan membungkam masyarakat, membatasi kebebasan berpendapat, membatasi kebebasan berekspresi, dan membunuh kehidupan demokrasi, tentu masyarakat yang telah berjuang mereformasi bangsa ini akan menentang habis-habisan sampai titik darah terakhir.

Mari kita kawal dan awasi bersama, mengapa dan untuk apa rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.

3. Pasal Hina Presiden Vs Pasal Presiden Hina

Saat kita bercermin, tujuannya adalah mematut diri. Mencari setelan busana pantas pakai yang bisa mendongkrak citra diri. Mencari gaya sisiran rambut yang menunjukkan kadar isi kepala. Mencari tampilan diri untuk menutupi rasa kurang percaya diri. Mencari cara sapa, salam, dan senyum untuk dihafalkan sesuai lingkungan. Mencari irama jalan agar tampak berbobot, sopan, dan bermartabat. Mencari ekspresi bicara agar tampak sebagai pemikir, hemat bicara boros kerja.

Ketika ada yang memberi masukan (bentuk penghalusan makna: kritik, caci, maki, cerca, cela, hujat, hardik, sindir, protes, saran, imbau, tuding) langsung kepada kita, apa pun reaksi kita masuk kategori manusiawi. Karena mereka bisa melihat diri kita, yang kita tidak bisa melihat sendiri. Apalagi, tujuannya adalah agar kita lebih benar dan baik. Bahkan, orang yang kita anggap "anak kemarin sore" dengan sikap lugu, polos, jujur ternyata bisa menilai kita.

Ketika kita merasa risih, terusik, bahkan tersinggung atas masukan orang lain, anggap sebagai uji diri, uji nyali, uji mental, uji syukur. Terlebih jika masukan bernuansa menggurui. Memang, ada orang jika dimintai pendapat hanya sekadar mengamini. Jika saat tidak dibutuhkan sarannya, tiba-tiba tanpa pemanasan langsung memberi masukan dengan gagahnya. Merasa dirinya lebih bisa, lebih benar, dan lebih baik.

Memberi masukan butuh ilmu. Ada rukunnya, bahkan agama juga punya resep jitu cara memberi nasihat, saling mengingatkan. Apalagi, masukan kepada yang bukan satu level, bukan satu kasta. Bisa-bisa bak meludah ke atas, terpercik wajah sendiri.

Bagaimana jika kita adalah bukan diri sendiri. Tegasnya sebagai presiden. Ternyata pasal hina-menghina bisa ada sanksinya.

4.Harus Berjiwa Besar

Giyat Yunianto, Bekasi

Semakin tinggi sebuah pohon maka akan semakin kencang pula angin berhembus, begitu juga dengan kedudukan manusia. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka akan semakin besar pula cobaan dan tantangan yang menimpanya. Presiden merupakan sebuah jabatan yang tinggi di sebuah negara. Tidak sembarang orang mampu menjadi presiden. Hanya orang-orang pilihan yang mampu menduduki jabatan tersebut. Oleh karena itu, seorang presiden haruslah berjiwa besar dalam menghadapi segala permasalahan yang ada dalam sebuah negara.

Akan dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden sangatlah tidak tepat dalam negara demokrasi dan era keterbukaan informasi. Dapat dipastikan pasal tersebut tidak disetujui karena akan menjadi masalah baru dan membelenggu kebebasan berekspresi setiap warga negara. Ya Allah, berilah kami pemimpin yang mampu mengayomi dan berjiwa besar dalam menghadapi setiap persoalan.

5.Ganti Presiden Ada Waktunya

Cristian Alexander, Bandung

Coba deh kalau kalian sendiri yang dihina tanpa alasan yang jelas, marah nggak? Orang Indonesia tuh cuma bisa mencari keburukan orang lain. Karena itu, kalau ditanya soal keburukan orang lain, tiga kertas A3 penuh! Tapi, ditanya soal kebaikan orang lain? 1 HVS pun belum tentu penuh.

Udah deh, mau ganti presiden dan wakilnya, mau ganti DPR-nya, mau ganti menteri-menterinya, mau dirombak semua pemerintah, mau diganti seluruh hukumnya, bahkan mau diganti lambang negaranya sekalipun nggak akan pernah bisa maju! Hanya bisa mengkritik, tetapi tidak ada perubahan pada diri sendiri.

6. Jangan Menghina Pemimpin

Tazman Bizot, Makassar

Dengan diberlakukannya UU tersebut, tidak mengurangi sedikit pun dari hak kita untuk menyampaikan pendapat. Sampaikanlah sesuatu dengan baik, jangan menghina, mengolok, siapa pun pemimpin kita, tidak sepantasnyalah seperti itu.

7. Ibarat Tukang Jahit

Asnawi Husin, Bandung

Ibarat tukang jahit baju, kalau hasilnya bagus dipuji-puji Pak, lah hasilnya jelek pastilah dijelekkin. Anda sebagai presiden tampil bagus di mata rakyat, jangan banyak tingkah, pencitraan, blusukan yang nggak jelas, berikan saja yang terbaik buat rakyat, jangan bohong dan bodohin rakyat. Lambat laun Anda akan menuai pujian dan dipilih kembali Pak Presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement