Jumat 03 Jul 2015 16:00 WIB

Banyak Alasan Tolak Dana Aspirasi

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA -- Niat DPR untuk meloloskan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) dalam RAPBN 2016 terus melaju. Dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (1/7), mayoritas fraksi menyetujui untuk meneruskan pembahasan program tersebut. Dari sepuluh fraksi, empat fraksi tidak mengajukan program dalam UP2DP.

UP2DP sebenarnya bukan barang baru. Wacana ini pernah dimunculkan Partai Golkar pada 2009 lalu. Ketika itu, Golkar memaksa agar fraksi-fraksi lain ikut mengegolkan anggaran tersebut. Ketika itu, dana aspirasi pun sudah sampai dibahas di paripurna.

Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak dana aspirasi usulan Partai Golkar. Ia menilai, tidak perlu menciptakan mekanisme baru penganggaran pembangunan yang disebut dana aspirasi karena pemerintah telah memiliki mekanisme penganggaran pembangunan.

Menteri keuangan ketika itu, Agus DW Martowardojo, menyatakan, peruntukan dana aspirasi yang mengacu ke persebaran daerah pemilihan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa akan membuat ketidakseimbangan ekonomi. 

Presiden Joko Widodo juga akan mengikuti pendahulunya. Lewat mulut para pembantunya, Presiden menegaskan UP2DP tak tepat diloloskan DPR. Terlebih, melihat kondisi ekonomi yang sedang melemah saat ini. Presiden mengharapkan semua pihak untuk ikut prihatin dengan kondisi rakyat. Presiden juga mengimbau semua pihak untuk ekstrahati-hati dalam mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan anggaran.

Berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), anggota dewan memang berhak untuk memperjuangkan aspirasi daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Hanya, DPR tak bisa mendasarkan diri hanya pada UU MD3 tersebut.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengungkap bahwa anggaran pembangunan dikuasai eksekutif. Seperti tertera pada ayat 1 pasal 6 itu berbunyi, "Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan".

Selain sisi legal formal, kondisi fiskal saat ini pun disanksikan mampu mengakomodasi UP2DP. Ketua Badan Anggaran DPR Ahmadi Noor Supit menjelaskan, pihaknya pun tak yakin penerimaan negara 2016 dapat melebihi APBN 2014. Terlebih, rapor ekonomi yang masih merah. 

Ia menilai, sebelum ada usulan dari DPR untuk dimasukkan dalam program pembangunan dapil, seharusnya ada evaluasi terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) terlebih dahulu. Sebab, menurut dia, dalam RPJM 2014-2019 yang sudah dibahas 2015 ini sudah banyak terjadi penyimpangan.

Mekanisme pengawasan dana tersebut pun belum jelas. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis menjelaskan, belum adanya payung hukum tentang UP2DP membuat BPK tak bisa mengawasi pelaksanaan program tersebut. BPK bertugas berdasarkan undang-undang. Sedangkan, Undang-Undang tentang Keuangan Negara sudah menjelaskan bahwa kekuasaan anggaran ada di tangan eksekutif alias presiden, bukan DPR.

Sementara itu, anggota BPK Achsanul Qosasih mengungkapkan, pengelolaan dana tersebut akan sulit dilakukan mengingat UP2DP akan diambil dari APBN, sementara penanggung jawabnya adalah dinas terkait di daerah.

Program bernilai Rp 20 miliar untuk setiap anggota itu pun terasa tidak adil mengingat perbedaan signifikan antara sebaran daerah pemilihan antarpulau di nusantara. Ketua DPD Irman Gusman mengungkapkan, dana aspirasi untuk masing-masing daerah pemilihan (dapil) DPR tidak berkeadilan.

"Tentu, dana aspirasi itu harus dikaji lebih mendalam lagi. Sebab, ketika dibagikan menurut daerah pemilihan (dapil), justru akan menimbulkan kesenjangan antardaerah," katanya. Menurut Irman, pola pembagian dana aspirasi untuk dapil terkesan tidak adil dan menimbulkan kesenjangan. Dia menilai, dana APBN tersebut hanya akan dinikmati daerah dengan perwakilan lebih banyak di DPR.

Sebanyak 60 persen dari keseluruhan anggota DPR berasal dari dapil di empat provinsi di Pulau Jawa. Sementara, pembangunan di Indonesia hingga saat ini hampir 58 persen telah dilakukan di Jawa. Daerah lain, seperti Kalimantan, baru delapan persen dan Sulawesi empat persen.

"Sehingga, jika Rp 7 triliun dari Rp 11,2 triliun pada akhirnya diperuntukkan bagi dapil-dapil yang ada di Jawa, lalu kapan kita bangun Papua, Maluku, Kalimantan, dan daerah-daerah perbatasan di Indonesia bagian timur?" kata dia.

ed: A Syalaby Ichsan

***

Dana Aspirasi No, Pembangunan Merata Yes!

Tuswadi, Hiroshima

Sebagai seorang warga negara berprofesi guru dan pendidik, saya pribadi tidak setuju jika anggota dewan diberikan hak untuk mengajukan dana aspirasi Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Cukup pemerintah sebagai pemegang dan pengelola keuangan negara, termasuk alokasi untuk pembangunan di daerah-daerah. Terlalu rentan anggota dewan memegang uang negara apa pun alasannya, apalagi di tengah-tengah ingar-bingarnya arus pola hidup hedonis.

Kami tidak ingin nantinya makin banyak anggota dewan yang terhormat berurusan dengan hukum dan dibui karena kasus korupsi dana aspirasi, sementara kinerja mereka selama ini belum bisa dipastikan sudah optimal. Adalah lebih baik bagi anggota dewan untuk fokus berkaca diri, lebih maksimal dalam menjalankan fungsinya dalam pengawasan, pembicaraan anggaran, dan legislasi. Bukan malah sibuk mencari celah bagaimana memperoleh keuntungan (materi) sebanyak-banyaknya.

Toh jika memiliki program bagus, mereka punya hak untuk mengajukannya kepada pemerintah yang akan memfasilitasi terwujudnya program tersebut tanpa harus memberikan uang cash melalui dana aspirasi. 

Sudah menjadi kebiasaan yang mencolok berlaku di mana-mana di Tanah Air bahwasanya jika seorang pemimpin diberikan amanah dana pembangunan, mau setinggi apa pun gajinya, tetap saja ada nafsu untuk mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan sehingga hasil akhir bagi masyarakat tetap minimalis. Semisal pengerjaan perbaikan jalan raya, baru beberapa bulan saja dipakai, jalan kembali rusak karena rendahnya kualitas dan kuantitas material akibat terlalu banyaknya dana pembangunan yang ditilep oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Jika DPR berasumsi pembangunan dapilnya tergolong lamban, mereka bisa secara cerdas dan ilmiah membeberkan bukti-bukti yang ada berdasarkan data yang rasional kepada pemerintah agar secepat mungkin daerah tersebut ditangani lebih serius. Dengan demikian, pembangunan akan bisa merata di seluruh pelosok Tanah Air.

Masyarakat akan Bersyukur

Ahmad M, Pekan Baru

Eksekutif sudah mulai kepanasan dengan akan adanya dana aspirasi karena dana aspirasi DPR akan memperlihatkan sangat menguntungkan masyarakat serta efektifnya pemakaian anggaran yang digunakan. Masyarakat akan sangat bersyukur memiliki anggota DPR pilihan rakyat yang mampu menggunakan dana aspirasi DPR dengan baik. Tentunya kondisi terbalik jika anggota DPR pilihan rakyat tidak mampu mengelolanya. Sehingga, mereka yang tidak mampu akan menolak dana aspirasi DPR dengan berbagai alasan.

Budaya Politik yang tidak Baik

Mahmudin Madani, Jakarta Selatan

Sistem pembagian kekuasaan di negara RI terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi lembaga legislatif adalah fungsi anggaran, pengawasan, dan pembuatan undang-undang.

Anggaran dan undang-undang yang telah ditetapkan lembaga legislatif (DPR) bersama presiden, dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, yaitu presiden dengan seluruh jajaran eksekutif.

Jadi, yang berwenang melaksanakan pembangunan dan menggunakan anggaran negara adalah lembaga eksekutif (presiden), bukan DPR. Lalu dana aspirasi yang diusulkan sebesar Rp 20 miliar untuk tiap anggota DPR itu untuk apa? Untuk melaksanakan pembangunan di daerah pemilihan? Sudah diuraikan di atas, kewenangan menggunakan anggaran negara untuk pembangunan berada di tangan presiden, bukan DPR. Apakah dana aspirasi itu diberikan kepada konstituen? Ini pun tak ada sama sekali dasar hukumnya. Anggota DPR dipilih oleh rakyat pemilihnya untuk memperjuangkan aspirasi mereka, agar kebijakan dan undang-undang yang dibuat dapat mengakomodasi harapan-harapan mereka, bukan memberikan sejumlah uang kepada rakyat yang telah memilihnya.

Memang banyak budaya politik bangsa Indonesia yang tidak sehat. Misalkan, calon anggota legislatif, baik tingkat kebupaten/kota, provinsi, maupun tingkat pusat (DPR RI), yang akan bertarung dalam pemilu legislatif sering kali memberi sejumah uang kepada calon pemilih.

Ada juga pemilih yang menagih pemberian sejumlah uang dari anggota legislatif yang terpilih. Sehingga, seorang calon maupun anggota legislatif terpilih harus memiliki banyak uang. Sehingga, yang terpilih bukan orang yang terbaik, melainkan orang yang paling banyak mengeluarkan uang.

Budaya politik yang semacam inilah yang memunculkan ide dana aspirasi. Meski banyak uang, pengeluaran yang besar itu tentu ada hitungan untung dan rugi. Agar pengeluaran untuk pemberian kepada rakyat yang notabene adalah bentuk suap, dicetuskanlah ide dana aspirasi.  Jika dana aspirasi berhasil disahkan, itu berarti melegalkan korupsi. Korupsi yang memiliki dasar hukum.

Menghinakan Diri Sendiri

Herwin Nur, Kota Tangerang Selatan, Prov Banten

Kemasan politik sinterklas dalam wujud Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dikenal dengan sebutan dana aspirasi semakin membuktikan bahwa kawanan 565 anggota parlemen Senayan merasa bahwa suara rakyat bisa dibeli.

Apa pun alasannya, dengan dalih balas jasa bagi pemilih di daerah pemilihannya, kenyataannya uang merupakan alat intimidasi yang ampuh. Minimal berlaku skenario udang di balik batu.

Jarang yang menganalisis bahwa dalam Pemilu DPR 2014 terdapat 77 daerah pemilihan yang menengadahkan tangannya siap menerima dana aspirasi dari 565 wakil rakyat tingkat pusat.

Jarang yang menduga fakta yang terjadi, yaitu pertama, jika wakil rakyat di periode pertama berarti mereka berharap terpilih kembali pada pemilu mendatang. Kedua, wakil rakyat sudah di periode kedua berarti ada harapan bisa booking atau indent kursi kepala daerah saat pilkada nantinya.

Artinya, bagi rata dana asipirasi oleh wakil rakyat bukan untuk memuliakan rakyat pemilihnya, melainkan justru menghinakan diri sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara yang berisikan orang-orang pilihan.

Garong Duit Rakyat

Rangga Wijaya

Tak ada rotan akar pun jadi. Di tengah sulitnya para wakil partai menggarong duit rakyat, mereka akan menggunakan cara apa pun, asalkan air liur keserakahannya bisa berhenti menetes.

Dana Aspirasi tidak Aspiratif

Mubarok Budi Luhur

Dana aspirasi yang tidak aspiratif. Legislatif jadi eksekutif. Wakil tapi lebih berkuasa dari yang diwakili.

Lebih Gampang Eksekutif Balas Jasa

Yuhus Sampta, Surabaya

Frankly saya katakan lebih gampang eksekutif untuk melakukan balas jasa, legislatif show me the way? Legal way!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement