Jumat 05 Jun 2015 15:00 WIB

Menanti Legalitas Jilbab Tentara

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jilbab di kalangan aparat kembali menjadi sorotan. Usai ditekennya peraturan kapolri tentang penggunaan seragam khusus (jilbab) di kalangan polisi wanita (polwan), angin segar pun mendera ke arah korps wanita (Wan) TNI. Adalah Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang pertama mengembuskan angin tersebut.

Saat pengarahan kepada seluruh prajurit TNI bersama istri se-Sumatra Utara di hanggar Lapangan Udara Soewondo, Medan, Sumatra Utara, Jumat (22/5), Jenderal Moeldoko membolehkan Wan TNI mengenakan jilbab selama bertugas. Hal itu menjawab pertanyaan salah seorang Wan TNI berpangkat kapten yang menanyakan seragam bagi yang ingin berjilbab. "Pakai saja, kita nggak melarang kok. TNI wanita mau pakai jilbab, pakai saja," ujar mantan KSAD tersebut.

Sayangnya, petuah manis itu kemudian diklarifikasi. Aturan internal TNI belum membolehkan prajurit perempuan TNI mengenakan jilbab. "Sampai hari ini belum ada aturan yang mengizinkan korps wanita (kowan) TNI menggunakan jilbab dalam pakaian dinas," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal M Fuad Basya saat dihubungi, Selasa (26/5).

Fuad mengatakan, kowan yang "nekat" menggunakan jilbab akan dipindahtugaskan ke Aceh. Sebab, saat ini pembolehan jilbab bagi kowan hanya berlaku di Aceh, tidak di daerah luar Aceh. Hal ini sejalan dengan status Aceh sebagai daerah istimewa yang menerapkan syariat Islam.

"Kalau mau berjilbab, nanti dipindahkan ke Aceh dinasnya. Hanya ada di sana kowan TNI yang berjilbab sebab memang permintaan khusus dari Aceh," ujar Fuad.

Kowan hanya dibolehkan berjilbab ketika di luar tugas kedinasan. Namun, saat menjalankan tugas kedinasan, mereka mesti menanggalkan jilbab. Menurut Fuad, hal ini sejalan dengan aturan yang berlaku di dalam institusi TNI.

Indonesia seharusnya berkaca pada "negara sekuler" macam Amerika Serikat. Di tengah maraknya Islamofobia yang melanda dunia Barat, Pentagon mengeluarkan terobosan baru dalam mendukung kebebasan beragama pada Januari 2014 lalu. Simbol-simbol agama diperbolehkan, termasuk jilbab dan janggut, tato,  turban, kupluk, dan memperpanjang rambut.

Simbol-simbol agama itu diperbolehkan asal tidak mengganggu tugas kemiliteran. Menurut Kementerian Pertahanan AS, Rabu (22/1), aturan baru itu menandai pertama kalinya institusi kemiliteran AS membuat kebijakan umum tentang masalah tersebut.

Perwakilan dari Kelompok Pengajian Silaturahmi Muslimah Wanita TNI-Polwan, Letkol Flora Eka Sari, mengungkapkan, seharusnya TNI bisa mencontoh kebijakan untuk tentara di AS. Menurutnya, aturan penggunaan seragam kedinasan selama ini diatur dalam Surat Keputusan Panglima TNI No SKep/22/VIII.2005 tertanggal 10 Agustus 2005. Aturan tersebut kerap dijadikan dasar bahwa penggunaan jilbab dituding mengandung unsur pelanggaran disiplin prajurit. "Kami juga tidak ingin dianggap melanggar surat keputusan soal disiplin prajurit," katanya.

Flora mengakui, selama ini memang belum ada ketentuan resmi yang mengatur secara terperinci mengenai penggunaan jilbab dalam seragam kedinasan Wan TNI. Penggunaan jilbab untuk Wan TNI hanya khusus diatur untuk wilayah Provinsi Aceh dan tidak secara menyeluruh di wilayah Indonesia.

Publik di Indonesia pun ramai-ramai mendukung legalitas jilbab di tubuh korps wanita TNI. Anggota Komisi I DPR, Syaiful Bahri Anshori, mengkritik aturan internal TNI soal penggunaan jilbab bagi prajurit TNI. Mereka menilai, pembolehan wanita TNI berjilbab hanya untuk wilayah Aceh bertentangan dengan Pancasila UUD 1945.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon berharap agar TNI segera mengizinkan jilbab dalam seragam dinas Korps Wanita TNI (Wan TNI). Terlebih, kata Fadli, kebijakan penggunaan jilbab ini sudah diterapkan Polri pada seragan dinas polisi wanita (polwan). Menurut dia, TNI juga bisa segera mengikuti langkah Polri agar tidak ada kesan diskriminasi yang timbul atas penggunaan jilbab di kedua lembaga tersebut.

"Di TNI harus segera dilakukan (pembolehan penggunaan jilbab). Karena, kalau tidak akan terjadi semacam diskriminasi dengan kepolisian," ungkap Fadli di Jakarta, Sabtu (29/5).

Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menilai, peraturan kapolri yang membolehkan polisi wanita berjilbab perlu dicontoh lembaga dan instansi lain. Aturan itu, kata dia, memenuhi HAM para polisi wanita untuk mengamalkan ajaran agamanya.

"Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi Indonesia dalam sistem presidensial untuk mengambil tanggung jawab dengan menerbitkan semacam peraturan pemerintah yang berkaitan tentang ketentuan pakaian kerja/dinas bagi polwan/TNI-wanita, ans/pns, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain yang berkaitan dengan simbol-simbol dan identitas keagamaan dan kultural," ujar Maneger dalam siaran persnya, beberapa waktu lalu.   ed: A Syalaby Ichsan

***

Lebih Terhormat

Zaki Muttaqien, Depok

Pembahasan jilbab di kalangan militer memang sudah ada sejak lama. Banyak yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra terhadap rencana kebijakan ini. Saya rasa, wanita akan lebih terhormat jika memakai jilbab, toh ini juga tidak mengurangi ruang gerak tentara sebagai militer. Masalahnya juga harus ditentukan bagaimana bentuk dan ragam jilbab yang akan dipakai ketika dinas. Tidak mungkin juga kan memakai gaya ala hijabers, hehehe. Saya mendukung sepenuhnya kebijakan tentara berjilbab!

Konflik Batin

Dito Aryo Prabowo, Depok

Riuh tepuk tangan menyambut pidato Panglima TNI Jenderal Moeldoko pada Jumat (22/5) di Medan. Beliau menyampaikan bahwa pemakaian jilbab diperbolehkan bagi prajurit perempuan TNI atau Wan TNI (Wanita TNI). Sayang, pada Selasa (26/5), Kepala Pusat Penerangan TNI (Kapuspen TNI) M Fuad Basya berujar bahwa pembolehan yang dimaksud adalah di saat Wan TNI tidak sedang bertugas atau dinas. Ketika mereka hendak bertugas, jilbab yang dikenakan harus ditanggalkan atas alasan profesionalitas, kecuali bila mereka mau dipindahtugaskan ke Aceh.

Alasan yang diungkapkan Basya, sebagaimana yang dimuat Republika (30/5), pelarangan jilbab TNI di antaranya disebabkan untuk menghindari sikap diskriminatif bagi Wan TNI yang berjilbab dan kesulitan menjalankan tugas militer.

Persepsi TNI terhadap jilbab tentu menghasilkan sebuah pertanyaan. Bagaimana mungkin institusi dari negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia berpendapat jilbab membatasi gerak prajuritnya? Sementara itu, meskipun banyak pihak yang memberi pendapat terhadap urgensi jilbab TNI, pada akhirnya para petinggi institusilah yang memiliki otoritas untuk memutuskan. Sistem otoritas yang sangat melekat pada diri TNI akhirnya menghasilkan prajurit-prajurit yang hanya dapat patuh terhadap atasan.

Kepatuhan ini secara tidak langsung akan memengaruhi bagaimana individu mencoba berpendapat dalam lingkungannya. Kondisi inilah yang dalam terminologi psikologi sosial disebut sebagai obedience atau kepatuhan. Obedience adalah kondisi di mana seseorang mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan perilaku tertentu disebabkan unsur power. Unsur power dari atasan menyebabkan Wan TNI tak dapat berkata banyak, kecuali menuruti aturan. Konflik batin pun terjadi disebabkan mereka terpaksa menentang keyakinannya demi mematuhi aturan.

Apabila konflik batin ini dibiarkan, kegelisahan (anxiety) akan terjadi. Kegelisahan karena tak bisa menjalankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran dapat berlanjut pada stres dan gejala neurotik. Hal ini tentu tidak menyehatkan secara psikologis karena mengganggu individu secara internal dan memengaruhi pada apa yang ia kerjakan. Bayangkan ketika Wan TNI saat berdinas justru akhirnya terkekang pada perasaan bersalah disebabkan harus melepas jilbabnya, sebuah aturan dari agamanya sendiri. Dinas berpuluh-puluh tahun justru menjadikan kondisi psikologisnya semakin menderita karena dikepung oleh dilema yang harus ditanggungnya.

Regulasi jilbab bagi TNI dapat mencegah risiko terjadinya anxiety tersebut karena regulasi ini merupakan perwujudan ibadah dan profesionalitas seorang Wan TNI. Mengapa? Karena dalam Islam, profesionalitas dan ibadah tak dapat dipisahkan. Ibadah dalam Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk karier yang dipilih. Ketika dilihat sebagai sebuah ibadah, karier akan dilaksanakan seprofesional mungkin. Tentu profesionalitas ini dilakukan tanpa menghalangi ibadah yang lain, dalam hal ini ialah berjilbab.

Jilbab bagi Wan TNI sudah sepatutnya menjadi regulasi logis untuk menyejahterakan tentaranya secara psikologis. Ketika tentara kita justru disibukkan dengan peraturan institusi yang mengekang, lantas bukankah profesionalitas akan mengendur? Mewujudkan jilbab bagi Wan TNI bagai menganugerahkan kesejahteraan untuk jiwa mereka. Kesejahteraan karena dapat berlaku profesional di mata agama dan kariernya.

Jilbab Tentara Wanita, Why Not?

Ade Haryanto, Kebumen, Jawa Tengah

Persoalan jilbab untuk pakaian dinas bagi TNI wanita saat ini santer mengemuka dan mendapat respons antusias umat Islam. Sayangnya, petinggi TNI yang sempat melontarkan gagasan tersebut dikabarkan merevisi dan menarik ucapannya. Hmm, padahal masyarakat telah menaruh harapan adanya support dari petinggi tersebut.

Kenyataan ini membuat kita bertanya- tanya, akankah ada keseriusan dari TNI untuk membuat kebijakan jilbab sebagai pakaian dinas tentara wanita? Janganlah hanya sekadar menjadi wacana. Pakaian dinas jilbab bagi tentara wanita Islam, mengapa tidak? Sepertinya pihak TNI ada baiknya berkaca pada institusi Polri dengan kebijakannya memperbolehkan jilbab bagi polwan.

Semua elemen organisasi masayarakat (ormas) Islam pun sudah semestinya satu suara mendukung dan memperjuangkan adanya seragam jilbab bagi tentara yang Muslimah untuk berpakaian Islami. Anggapan yang mengatakan jilbab bagi tentara hanya membuat mereka terkekang, tak leluasa bergerak, dan membuat ribet hanyalah cara pandang yang sempit dari satu sisi. Bayangkan jika kebijakan jilbab bagi tentara Muslimah benar-benar terwujud dan disahkan, mempunyai landasan dan payung hukum tentu bagi personel tentara Muslimah di nusantara ini akan terlihat anggun dan berwibawa. Hal ini tentu juga akan membawa kebaikan dan perlindungan bagi mereka. Selain itu, akan terpancar inner beauty yang sesungguhnya dari dalam dan dari luar. Hmm...jilbab bagi tentara wanita, mantap!

Tetep Berprasangka Baik

Ahmad Zia Khakim, Surakarta

Belum bisa dipastikan dengan sesegera mungkin jilbab tentara wanita karena memang prosedural perlu dilalui. Konteks keindonesian tentu tidak serta-merta menghalangi kebijakan yang tentu sangat menggembirakan bagi kaum Muslimin Indonesia. Setelah kemarin dibolehkannya jilbab untuk Polri, bisa disimpulkan juga jilbab tentara wanita akan kembali disetujui, sesuai asas  negara kita, yakni Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maka di dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 dinyatakan. Negara berdasarkan asas Ketuhanan yang Maha Esa serta negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. "Seharusnya TNI sebagai pembela negara mendukung pelaksanaan Pancasila dan ketentuan dalam UUD 45". Closing statement dari saya, budaya bangsaku adalah identitasku.

Mengapa Dipersoalkan?

Mahmuddin Madani, Jakarta Selatan

Pro kontra Muslimah berjilbab nyaris tak pernah henti. Pada era 1980-an sering muncul polemik tentang siswi Muslimah SMA negeri yang mengenakan jilbab di Jakarta dan di beberapa kota lainnya.Polemik berakhir setelah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan dibolehkannya siswi SMA negeri mengenakan jilbab dan mengatur model dan bentuk busana Muslimah.

Beberapa tahun terakhir, muncul kembali polemik siswi SMA negeri berjilbab di Provinsi Bali. Beberapa SMA negeri di Bali melarang siswinya berbusana Muslimah.

Berikutnya, tidak lama setelah Jenderal Sutarman dilantik sebagai kapolri, beliau mengumumkan dibolehkannya anggota polisi wanita mengenakan jilbab dan aturan tertulis menyusul. Cukup lama terjadi polemik tentang anggota polwan berjilbab. Kini anggota polwan yang ingin mengenakan jilbab tak ada hambatan lagi.

Kini giliran polemik tentang tentara wanita berjilbab. Ini pun diawali pernyataan panglima TNI yang membolehkan tentara wanita berjilbab. Lalu muncul tanggapan, tak ada aturan tentara wanita berjilbab. Sehingga, muncul pendapat, jika ada tentara yang memaksakan untuk berjilbab, akan ditugaskan di NAD dengan alasan di NAD berlaku penerapan hukum syariah. Pernyataan itu seakan-akan menakut-nakuti wanita TNI yang hendak mengenakan jilbab. Jika wanita TNI yang mengenakan jilbab itu jumlahnya sangat banyak, apakah mereka semua ditugaskan di NAD?

Jika ada tentara wanita mengenakan jilbab, adakah orang atau kelompok yang dirugikan? UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Bagi seorang Muslimah, mengenakan jilbab merupakan bagian dari pelaksanaan ibadah karena memang merupakan perintah agama. Kalau konstitusi negara yang memberi jaminan, mengapa ada pihak-pihak yang mempersoalkannya?

Polemik tentang wanita berjilbab memang dinamika di sebuah negara demokrasi. Namun, hak-hak yang bersifat sangat pribadi dan dijamin konstitusi, mengapa harus dipersoalkan? Di Inggris dan Prancis penduduk Muslim merupakan kaum minoritas, namun tentara wanita diperbolehkan mengenakan jilbab (hijab).

Tidak Adil Kalau Hanya Aceh

Giyat Yunianto, Bekasi

Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Sudah sepatutnya pemerintah memberi kemudahan kepada seluruh warga negara Indonesia yang ingin mengenakan busana Muslimah tanpa memandang status ataupun golongan. Penggunaan jilbab bagi tentara wanita seharusnya tidak menjadi polemik jika panglima TNI taat pada UUD 1945 dan Pancasila.

Tidak adil rasanya jika hanya tentara wanita yang bertugas di Aceh yang boleh mengenakan jilbab. Biar bagaimanapun juga penggunaan jilbab merupakan hak asasi manusia (HAM) dan insya Allah tidak akan mengganggu kinerja para prajurit wanita. Insya Allah Indonesia akan lebih berkah dan berwibawa di mata dunia jika para pemimpinnya mengizinkan tentara wanita mengenakan busana Muslimah. Semoga Allah SWT membukakan hati Presiden dan Panglima TNI.

Jangan PHP

Rasno Ahmad Shobirin, Nusa Kambangan

Pernyataan Panglima TNI Jenderal Moeldoko bahwa prajurit TNI perempuan boleh memakai jilbab merupakan kemajuan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini. Anggapan yang melekat selama ini adalah perempuan di ranah militer (terutama Muslimah) akan terganggu aktivitasnya ketika memakai jilbab, sementara jilbab adalah sudah menjadi kewajiban bagi perempuan Muslim.

Meskipun pernyataan Panglima TNI masih belum jelas mengenai jilbab bagi anggota TNI perempuan, kita perlu apresiasi TNI yang telah mengubah paradigma sempit tentang jilbab selama ini.

Tetapi, kita juga perlu mempertanyakan apakah pernyataan Jenderal Moeldoko tersebut berkaitan jilbab bagi tentara perempuan serius atau hanya pemberi harapan palsu (PHP)? Jangan sampai soal jilbab ini mejadi kontroversi seperti halnya jilbab bagi polisi wanita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement