Jumat 27 Mar 2015 17:48 WIB

Perjuangan Menkumham demi Remisi Koruptor

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wacana pemberlakuan remisi untuk para pelaku tindak pidana korupsi terus diperjuangkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly. Meski ditolak publik, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu jalan terus. Bak berkacamata kuda, Yasonna tetap mengkaji rencana itu.

“Ya, (remisi) itu kita bahas terus. Wacana kan harus kita jalankan terus,” kata Yasonna, di sela-sela acara seminar “Demokrasi Dalam Penegakan Hukum”, di Jakarta, Senin (23/3). Yasonna menegaskan, rencana pengkajian revisi PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan akan terus dilakukan. Dia mengklaim, wacana remisi koruptor merupakan bagian dari upaya memperbaiki sistem peradilan pidana. Remisi dan pembebasan bersyarat akan terus dikaji dengan atau tanpa persetujuan presiden.

PP tersebut mengatur pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, narkotika, dan terorisme. Isinya terkait dengan syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Beleid itu dikeluarkan Amir Syamsuddin, menkumham pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Regulasi itu mencantumkan, terpidana korupsi, narkotika, dan terorisme hanya bisa diberi remisi bila yang bersangkutan bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kasus. Selain itu, disyaratkan juga bahwa remisi terhadap pelaku kejahatan-kejahatan luar biasa itu hanya bisa diberikan setelah ada rekomendasi dari penegak hukum, seperti KPK, kepolisian, maupun kejaksaan.

Yasonna menerangkan, konsep remisi yang diwacanakannya bukan untuk mengurangi hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime), melainkan untuk memperbaiki sistem praperadilan. “Itu sudah diwacanakan, jadi konsepnya itu bukan mengurangi, melainkan memperbaiki sistemnya,” ujarnya.

Staf ahli Menteri Bidang Pelanggaran HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Ma'mun, mencoba menjelaskan visi pimpinannya tersebut. Menurutnya, revisi PP No 99/2012 memiliki dua latar belakang. Pertama, merevisi PP merupakan langkah untuk mengembalikan wewenang Kemenkumham dalam mengatur dan membina para tahanan untuk menjadi lebih baik. Selama ini, kata Ma'mun, dalam konteks vonis, Kemenkumham dan aparat penegak hukum kerap berbeda pendapat dan memiliki standar berbeda.

Alasan kedua, remisi menjadi salah satu cara Kemenkumham agar terpidana korupsi ke depannya tidak terjerembap dalam lubang kesalahan yang sama. “Remisi merupakan hak dari warga negara dan tetap diberikan dengan memperketat persyaratan, tetapi tidak menutup (kemungkinan) untuk mendapatkan remisi. Ketika dia memenuhi syarat, dia berhak diberi remisi,” kata Ma'mun. Ma'mun membantah isu yang beredar bahwa wacana revisi PP 99/2012 didasari pesanan dari kepentingan politik. “Tidak benar, saya tahu betul latar belakang Pak Menteri. Dia paham landasan filosofisnya, paham betul dasar hukumnya.”

Presiden Jokowi dalam pernyataan melalui laman resmi Kesekretariatan Kabinet pada Selasa (17/3) menyatakan, koruptor tak semestinya diberi remisi. “Kalau dari saya, nggak usah aja dikasih remisi,” kata dia. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto juga menyebut Presiden telah meminta Menkumham memperhatikan rasa keadilan masyarakat terkait wacana revisi remisi. Hanya, belakangan pendapat Presiden tampaknya direvisi. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menyebut Presiden Jokowi mendukung Yasonna yang ingin merevisi aturan remisi. Andi menjelaskan, Yasonna telah melaporkan kepada Presiden bahwa Kemenkumham ingin melakukan pembenahan aturan terkait pemberian remisi ke seluruh narapidana, dari kasus ringan hingga kejahatan luar biasa, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme.

Menurut Andi, Yasonna juga telah menegaskan bahwa ada ketentuan khusus pemberian remisi yang berlaku bagi pelaku kejahatan luar biasa. “Yang ingin dilakukan adalah pemberian remisi sehingga rasa keadilan muncul dalam pembinaan narapidana. Pak Jokowi mendukung dan minta disiapkan langkah yang dilakukan, termasuk pengetatan sistem pemberian remisi,” katanya.

Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi menegaskan, revisi beleid remisi untuk koruptor tidak sesuai dengan komitmen pemberantasan korupsi yang diusung pemerintah. “Ini tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Jokowi soal komitmen pemberantasan korupsi,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (24/3).

Menurut Johan, jika PP 99/2012 direvisi dengan semangat semua narapidana mempunyai hak yang sama mendapat remisi, hal itu merupakan sebuah kemunduran. Johan mengatakan, pelaku korupsi tak bisa disamakan dengan maling ayam. “Kalau menganggap semua (narapidana) sama, saya kira kemunduran jauh ke belakang,” ujar Johan.

Johan membantah anggapan pemberian remisi untuk semua terpidana demi prinsip keadilan. Korupsi, kata Johan, masuk kategori kejahatan luar biasa sehingga keringanan hukuman terhadap pelakunya justru akan mencederai rasa keadilan masyarakat. “Korupsi ini menyengsarakan masyarakat, bahkan di dunia disamakan dengan kejahatan HAM. Kalau disamakan (dengan narapidana lain), itu justru ketidakadilan.”  ed: A Syalaby Ichsan

1. Safri Makhfudi, Bandung: Untuk yang Punya Uang

Memang dari dulu hukum di Indonesia itu sangat tidaklah adil. Apa hukum di Indonesia itu adil hanya bagi Anda-Anda yang punya uang? Korupsi merajalela. Harusnya hukum buat koruptor adalah hukum mati, bukan hukuman 20 tahun. Lembek amat, apalagi ditambah remisi? Dan saya harap Menkumham lebih adil dan tegas tentang masalah ini.

2. Kiki Bunga Adriyanie, Kramat, Jawa Tengah: Kembang Biak Korupsi

Berarti korupsi dikembangbiakkan kalau ada remisi.

3. Busrol Chabibi, Demak, Jawa Tengah: Strategi Koruptor

Pemberian remisi untuk koruptor merupakan kebijakan yang dapat dikatakan tidak adil. Sebab, koruptor yang sudah terlihat jelas merugikan masyarakat justru dibela. Jika dibandingkan dengan pencuri-pencuri tingkat bawah, seperti pencuri barang elektronik, ayam kampung, bahkan kayu bakar, hal itu justru hukumannya lebih keras. Ironi bukan? Seakan-akan negeri Indonesia ini menjunjung tinggi koruptor dan membasmi rakyat kecil. Hal inilah yang membuat kepercayaan publik kepada pemerintah semakin menurun.

4. Fahki Fahryansyah, Jakarta: Sama dengan Bandar Narkoba

Seorang koruptor tidak ada bedanya dengan bandar narkoba. Seorang koruptor sudah memakan hak rakyat, banyak rakyat kecil yang mati kelaparan karena haknya diambil oleh mereka. Harusnya seorang koruptor dihukum mati, lebih pantas.

5. Ngabdurrohman, Banjarnegara, Jawa Tengah: Antara Remisi dan Diskriminasi

Remisi terhadap para koruptor merupakan salah satu langkah dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Menurut dia, hak pelaku kejahatan luar biasa tersebut layak memperoleh suatu remisi dan tidak boleh dibedakan dengan pelaku kejahatan biasa. Padahal, kejahatan para koruptor itu sangatlah fatal dan sangat merugikan negara.

Tidak sedikit tindakan para koruptor yang sudah menguras harta negara. Alhasil, banyak rencana pembangunan yang terhambat, bahkan tidak dapat terealisasikan. Itulah yang membuat Indonesia kian terpuruk.

Oleh karena itu, perlu adanya diskriminasi terhadap para koruptor. Selain itu, mereka juga harus diberikan hukuman yang sangat menjerakan, agar mereka menjadi kapok. Bukan malah diberi suatu remisi. Jika demikan, tingkat korupsi di Indonesia akan kian meningkat.

Semoga pemerintah akan lebih bijak dan berpikir kritis dalam menetapkan suatu hukum, tidak semata-mata hanya mementingkan kepentingan individualis atau kelompok, tetapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat, agar Indonesia menjadi negara yang lebih baik dan maju.

6.Muhammad Nor Faiq Zainul Muttaqin, Pati, Jawa Tengah: Haram Remisi Koruptor

Remisi bagi koruptor merupakan bencana besar. Negeri ini sudah terlalu liar dengan koruptor yang tidak punya rasa takut terhadap hukum. Adanya rencana pemberian remisi melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 12 Tahun 2009 justru akan membuat koruptor semakin menjadi-jadi. Seakan-akan keadaan mereka semakin termanjakan.

Justru ini juga akan memancing calon-calon koruptor yang belum terlihat aksinya. Mereka akan semakin berani dan tergiur untuk melakukan tindakan yang serupa. Mengingat, faktor keuntungan besar yang didapat, ringannya hukuman, ditambahkan lagi remisi yang memanjakan mereka.

Perlu dikaji ulang, sebenarnya pemberian remisi ini untuk apa? Karena sangat jelas anak kecil pun tahu bahwa pemberian remisi merupakan tindakan konyol yang akan melahirkan koruptor baru. Jadi, adanya remisi bagi koruptor justru tidak akan memberikan manfaat sedikit pun, tetapi justru jelas menjadi sebaliknya, yaitu memberikan mudharat besar bagi bangsa Indonesia.

7. Ahmad Ainur Rofiq, Bonang, Demak, Jawa Tengah: Dampak Buruk Bagi Bangsa

Presiden Indonesia Joko Widodo harus lebih objektif dalam memberikan hukuman kepada pelaku tindak kejahatan berat. Misalnya, korupsi, narkoba, dan terorisme. Pemberian remisi atau ampunan terhadap pelaku koruptor hanya akan memberikan dampak buruk terhadap kemajuan bangsa. Sebab, hal ini dirasa justru akan melemahkan hukum di Indonesia. Selain itu, peringanan hukuman terhadap pelaku koruptor merupakan suatu bentuk kecurangan politik.

Seharusnya pemberian remisi bagi koruptor tidaklah perlu. Sebab, selama ini koruptor telah banyak mencuri uang rakyat yang dihasilkan dari pajak. Sehingga, hal tersebut menimbulkan kerugian besar terhadap negara Indonesia. Bila Pemerintah Indonesia masih ngotot untuk memberikan remisi bagi koruptor, hal ini dirasa sangat tidak adil. Jika mengingat kembali kasus Nenek Asyani yang hanya mencuri tujuh batang kayu jati sampai-sampai dipenjara. Oleh karena itu, pelaku tindak kejahatan berat seperti koruptor harus dihukum secara berat. Salah satu opsi, yaitu hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.

8. Herwin Nur, Tangerang Selatan: Koruptor, Pahlawan Ideologi Bagi Kawanan Parpol

Aroma irama dan syahwat politik mampu merasuki bahkan mendominasi tatanan dan tataran kehidupan berbangsa dan bernegara di semua tingkatan penyelenggara negara. Emosi rakyat diaduk dan diudak secara masif, terstruktur, dan berdampak sistemik dalam format pesta demokrasi lima tahunan.

Bandar politik sampai kurir politik tidak belajar dari sejarah. Mereka belajar, tetapi untuk membuktikan hal sebaliknya. Ketika para pendiri negara, setelah digodok dalam kawah candradimuka penjara penjajahan kolonial, tanpa diminta bangkit menjadi proklamator, tanpa mencalonkan diri tampil sebagai pemimpin negara. Sekarang, para petinggi parpol yang kebagian kursi trias politika belum jatuh tempo sudah masuk penjara. Status mereka tersangka sampai menjadi terpidana. Pasal tipikor dengan gemilang berhasil menambah populasi koruptor wakil parpol.

Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, kita masih minim binti minus negarawan, tapi surplus koruptor. Kita masih dininabobokan oleh penjajah yang menjadikan kita serbamalas. Rasa malas diimbangi dengan gerak cepat menafsirkan, cepat menyimpulkan. Ahli cepat mengartikan bahwa ideologi bisa diwariskan ke anak cucu. Industri politik menjadikan kawanan parpolis bak memakai kacamata kuda. Merasa menjadi anak ideologis proklamator yang nyaris menjadi presiden seumur hidup. Merasa bisa memimpin negara. Merasa negara sebagai warisan orang tua. Anak dikarbit dan diorbitkan jadi “pembantu presiden.” Apa kata dunia?

Warisan ideologi semakin membangkitkan gairah untuk menjadikan negara sebagai warisan. Politik aji mumpung menjadi pakem para kawanan parpolis. Mumpung kuasa, kalau tidak sekarang, dalam periodenya, kapan lagi? Kesempatan korupsi tidak datang dua kali, apalagi berulang. Pakai pepatah “sekali korupsi, dua tiga generasi tercukupi, tujuh turunan terpenuhi.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement