Rabu 05 Oct 2016 18:00 WIB

BPK Menilai Perhitungan SKK Migas Lemah

Red:

JAKARTA  --  Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis mengatakan, terdapat kelemahan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). BPK menilai pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja berupa manfaat penghargaan atas pengabdian (MPAP), masa persiapan pensiun (MPP), imbalan kesehatan purna karya (IKPK), serta penghargaan ulang tahun dinas (PUTD) senilai Rp 1,02 triliun tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Laporan keuangan SKK Migas mendapatkan opini Tidak Wajar, ada biaya-biaya yang seharusnya tidak dibebankan kepada negara. Kami merekomendasikan untuk bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah," kata Harry saat Sidang Paripurna ke-79, di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (4/10).

Harry mengatakan, negara harus merogoh kocek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 2,56 triliun untuk membayar pengembalian biaya operasi atau cost recovery. Ia menyebutkan, pada pemeriksaan tujuan tertentu atas cost recovery ada biaya yang seharusnya tidak perlu dibebankan kepada pemerintah. Sayangnya, Harry tidak menjabarkan apa saja biaya tersebut.

Pada semester I 2016, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan atas perhitungan bagi hasil tahun 2014 pada SKK Migas dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) serta instansi terkait, termasuk komersialisasi minyak kondensat dan gas bumi bagian negara tahun 2014 pada SKK Migas, KKKS, PT Pertamina (Persero), PT Tri Wahana Universal dan entitas terkait lainnya. 

Mengacu dari pemeriksaan BPK diketahui masih dijumpai adanya biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery untuk menghitung bagi hasil migas tahun 2014. Namun, tidak ditemukan ketidakwajaran atas perhitungan dan penbayaran litfing minyak, kondensat, dan gas bumi bagian negara tahun 2014.

BPK juga menemukan berbagai pengakuan kewajiban yang merupakan bagian dari persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan terhadap para pegawai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) pada 13 November 2012 lalu.

Harry mengatakan, BPK juga menemukan piutang abandonment & site restoration (ASR) kepada delapan KKKS senilai Rp 72,23 miliar belum dilaporkan. Meski kewajiban pencadangan ASR telah diatur dalam klausul perjanjian atau production sharing contract.

"BPK menyatakan pembebanan cost recovery tidak sesuai ketentuan yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2010 tentang cost recovery, dengan permasalahan antara lain koreksi perhitungan bagi hasil minyak dan gas sebesar ekuivalen Rp 2,56 triliun," ujar Harry. Harry juga menyebutkan, terdapat 10 KKKS kurang menyetor pajak penghasilan badan dan berpotensi untuk tidak dikenakan denda minimal 22,21 juta dolar AS atau seluruhnya ekuivalen Rp 1,08 triliun.

Kepala Humas SKK Migas Taslim Z Yunus, angkat bicara terkait laporan dari BPK. Menurut dia, semua sudah sesuai dengan penerapan PSAK 24 tentang Imbalan Kerja. "Ya, karena sesuai dengan apa adanya PSAK 24 kewajiban pasca itu memang harus dicadangkan, masalahnya kan tahun 2014-2015 SKK Migas masuk APBN," katanya.

Taslim mengatakan, dari 2002-2013 cost recovery selalu dicantumkan dalam laporan keuangan (LK) SKK Migas. "LK SKK Migas sepanjang 2013 oke-oke aja. Nah, pascamasuk APBN, kita dinyatakan tidak berkenan. Enggak mungkin dari awalnya SKK migas kekayaan negara ini dipindahkan terus dimasukkan APBN. Ini kan beban buat SKK Migas," kata Taslim. rep: Intan Pratiwi  ed: Citra Listya Rini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement