Rabu 27 Jul 2016 15:00 WIB

Revisi UU Minerba Terancam Molor

Red:

JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara yang diharapkan rampung tahun ini terancam molor. Hal ini karena hingga tengah tahun 2016 ini belum ada progres tambahan atas  pembahasan RUU Minerba.

Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menjelaskan, pembahasan RUU Minerba tidak terkunci sebatas tahun ini. Ia menyebutkan, proses pembahasan RUU Minerba masih perlu menempuh beberapa tahapan, termasuk penggodokan naskah akademik di internal komisi, pembahasan di badan legislatif, dan pembahasan tingkat badan musyawarah.

Lepas dari badan musyawarah, tahapan ternyata masih panjang. Satya menyebutkan, bahan RUU Minerba masih harus dibahas melalui pansus atau panja untuk kemudian dibawa ke rapat paripurna. "Begitu diketok seluruh anggota dewan, ketua DPR akan kirim surat kepada presiden untuk meminta kementerian untuk melakukan diskusi tingkat satu sama pansus atau panja," kata Satya menjelaskan di Komisi VII DPR, Selasa (26/7).

Dengan berbagai tahapan tersebut, lanjut Satya, RUU Minerba bisa rampung apabila rancangannya bisa sampai pada tahapan paripurna Agustus mendatang. Sedangkan, bila kondisinya sebaliknya, bisa jadi pembahasan masih menjadi pekerjaan rumah parlemen pada tahun berikutnya.

"Kalau sampai Agustus belum bisa diparipurnakan, kecil kemungkinan untuk selesai hari ini. Tapi, berproses. Kan kita tidak perlu selesai tahun ini. Kalau, misalnya, ternyata diparipurnakan bulan September, dia tidak selesai tahun ini tapi selesai kuartal pertama tahun depan," kata Satya.

Parlemen, lanjut Satya, mendesak pemerintah untuk menerbitkan perppu (peraturan pemerintah pengganti UU) yang fungsinya menyubstitusi RUU Minerba. Ide ini berdasarkan ketetapan pemerintah yang mengacu pada UU Minerba Tahun 2009 bahwa mineral mentah dilarang untuk diekspor.

Larangan ini berlaku sejak Januari 2014, tapi secara spesifik ada korporasi yang masih memperoleh izin ekspor, seperti Freeport. Satya menilai, langkah pemerintah ini sudah melanggar UU sehingga perlu adanya ketegasan yang tertuang dalam perppu.

"Perppu itu kan bisa mengandung unsur emergency-nya, emergency-nya apa? Pendapatan negara kurang. Jadi, ekspor konsentrat belum dimurnikan, jelas pendapatan negara turun, dalam konteks Freeport yang bisa dimurnikan di Gresik itu cuma 40 persen," kata Satya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot mendesak parlemen untuk bisa segera merampungkan pembahasan soal RUU Minerba. Meski sampai saat ini belum ada kemajuan berarti, Bambang yakin akhir tahun ini pembahasan RUU Minerba bisa rampung.

Ia mengacu pada pembahasan RUU Panas Bumi yang bisa selesai dibahas hanya dalam tiga bulan. "Kita berharap UU itu selesai akhir tahun ini. Kita fokus pada itu saja," ujarnya.

Sementara itu, proses divestasi 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia terancam mandek. Alasannya, baik pihak Freeport dan pemerintah masih berbeda pandangan soal skema penghitungan nilai divestasi.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, Freeport masih berpegangan pada skema penghitungan yang mereka gunakan, yakni berdasarkan harga pasar atau fair value. Hal ini yang membuat penawaran harga saham yang Freeport tawarkan juga melambung tinggi.

Pemerintah, lanjut Bambang, berharap agar penghitungan nilai saham didasarkan pada skema replacement cost. Artinya, perhitungan saham wajar didasarkan pada nilai investasi yang telah dikeluarkan hingga saat penawaran saham dilakukan. Metode ini mengabaikan nilai investasi yang bakal dilakukan Freeport. Metode ini bersandar pada nilai aset yang dimiliki Freeport, bukan pada market value atau nilai pasar.

Menurut Bambang, ketidaksepahaman soal skema penghitungan nilai saham ini, ia akui, memang sulit disatukan. Ia menilai, solusi yang paling ampuh agar bisa ada kata sepakat, baik Freeport maupun pemerintah, adalah dengan membuat satu aturan yang bisa menjembatani kepentingan kedua pihak. Caranya, dengan memasukkan peraturan ini dalam Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Bambang berharap RUU Minerba bisa rampung sebelum 2017 sehingga pembahasan soal divestasi yang seharusnya sudah rampung tak lagi molor. "Seharusnya ada kepastian juga. Harus ada yang mengatur itu lagi. Untuk kepastian harus ada regulasi yang menjembatani dong. Kalau enggak ada, susah dong. Kalau kami, revisi UU sebelum 2017 itu bagus," katanya.    rep: Sapto Andika Candra, ed: Ichsan Emrald Alamsyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement