Senin 23 May 2016 13:00 WIB

Ekonom: Waspadai Pelemahan Rupiah

Red:

JAKARTA — Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, depresiasi tajam rupiah terhadap dolar AS pada pekan lalu masih dalam rentang yang wajar. "Meskipun demikian, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus tetap waspada," ujarnya kepada Republika di Jakarta, Ahad (22/5). Pada akhir pekan lalu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada pada level Rp 13.573 per dolar AS.

Nilai tersebut merupakan titik terendah dalam beberapa pekan terakhir. Sedangkan, data transaksi antarbank pada Jumat (20/5) menunjukkan, nilai tukar rupiah juga melorot 86 poin menjadi Rp 13.573. Menurut Fithra, pelemahan rupiah tak lepas dari faktor eksternal dan internal.

Dari eksternal, kemungkinan naiknya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed), yaitu Fed Funds Rate secara potensial membuat rentang antara suku bunga acuan domestik dan the Fed Rate menipis. "Hal ini memicu short term capital outflow," kata Fithra. Sedangkan, dari sisi internal, data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I yang berada di bawah lima persen disertai defisit neraca perdagangan disambut negatif investor pasar.

Secara teknis, BI dinilai Fithra telah membuat langkah yang bijaksana dengan mempertahankan level suku bunga acuan pada level 6,50 persen. "Meskipun, menurut saya, proses smoothing down moneter tetap harus dilakukan demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," ujar Fithra. Lebih lanjut, Fithra menyebut, outlook Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat FEB UI sebenarnya telah memproyeksikan nilai terburuk rupiah tahun ini ada pada level Rp 14.800-an.

Meskipun demikian, kemungkinan depresiasi rata-rata per tahun diprediksi hanya menyentuh 7.2 persen sepanjang 2016. Analis pasar uang Bank Mandiri Renny Eka Putri berharap BI melakukan intervensi. Tujuannya agar depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak terlalu dalam. Sebab, ujung-ujungnya dapat mengganggu laju pertumbuhan ekonomi ke depannya.

Pada sisi lain, lanjut Renny, adanya harapan perbaikan peringkat Indonesia dari Standard and Poor's (S&P). Jika kirimannya menjadi layak investasi atau investment grade, juga diharapkan dapat menahan tekanan rupiah lebih dalam.

Ekonom senior FEB UI Chatib Basri menyatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini berkisar Rp 13.300 sampai Rp 13.500 berada pada level yang baik. "Karena, kalau rupiahnya terlalu kuat, ekspor kita akan kena. Pada saat yang sama, Cina pertumbuhannya melambat. Jadi, pertumbuhan ekspor akan melemah ditambah lagi dengan perlambatan Cina," ujarnya. Selain itu, kata Chatib, fluktuasi rupiah juga terkait pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digenjot pemerintah.

"Infrastruktur digenjot, maka import content-nya jadi besar. Tidak salah dengan itu, tetapi dengan kondisi seperti ini kalau kemudian dibarengi dengan rupiah yang terlalu kuat nanti defisit transaksi berjalannya akan naik," katanya. Menurut Chatib, apabila defisit transaksi berjalan meningkat, akan ada potensi dari reverse capital flow.

"Jadi, kalau BI jaga nilai tukarnya di level kompetitif seperti ini, saya kira itu juga masih membantu ekspor kita dan membuat impornya terjaga sehingga saya sebetulnya cukup nyaman dengan level (rupiah) seperti saat ini," kata Chatib.

Faktor Eksternal

BI menilai, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini didominasi faktor eksternal. Terdapat dua indikator utama, yaitu menguatnya sinyal penaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (Fed Funds Rate/FFR) pada Juni nanti dan kemungkinan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Britain Exit/Brexit). "Terlihat pernyataan dari FOMC (Komite Pasar Terbuka Federal) itu mengarah ke pernyataan yang dovish untuk yang bulan Juni. Itu berdampak kepada pasar di dunia," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta, Jumat (20/5).

Agus mengatakan, para peserta FOMC dalam notulensi rapat 26-27 April lalu memang tampak yakin bahwa indikator tenaga kerja dan inflasi Amerika Serikat akan membaik pada kuartal II. Dengan demikian, kenaikan FFR bisa terjadi pada Juni 2016 nanti. Ekspektasi tersebut turut memengaruhi pasokan dolar AS yang masuk ke pasar uang negara-negara berkembang.

Di samping tekanan dari rencana kenaikan the Fed, Agus mengatakan, pasar keuangan global juga tengah dibayangi gejolak akibat rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Gejolak itu timbul karena mata uang Inggris, poundsterling, merupakan mata uang yang sangat berpengaruh pada pasar keuangan global. Dengan keluarnya Inggris dari Britania Raya, akan ada tekanan terhadap poundsterling yang akhirnya berpengaruh terhadap stabilitas mata uang lainnya di pasar keuangan global.   antara, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement