Jumat 27 Nov 2015 14:00 WIB

Paket Butuh Realisasi

Red:

JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 akan berada pada level 5,0 persen. Nilai ini lebih rendah ketimbang target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, yaitu 5,3 persen. Direktur Eksekutif Indef menilai, kinerja perekonomian Indonesia pada tahun depan tidak akan jauh berbeda dengan tahun ini. Meskipun begitu, akan ada sedikit perbaikan. 

Menurut Enny, tidak signifikannya lonjakan pertumbuhan ekonomi 2016 bisa terlihat dari perkembangan perekonomian sampai kuartal III 2015. Secara kumulatif, ekonomi hanya tumbuh 5,73 persen. "Ini menggambarkan kinerja pemerintah yang masih di bawah ekspektasi," ujar Enny dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2016 di Jakarta, Kamis (26/11).

Meskipun demikian, Enny menyebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,0 persen pada tahun ini juga hanya bisa dicapai asalkan pemerintah benar-benar mengimplementasikan berbagai paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan sepanjang tahun ini. Tercatat, telah ada enam paket kebijakan yang dirilis pemerintah sejak September silam. "Jika paket kebijakan tidak terlaksana dengan baik, akan sulit perekonomian dapat mencapai target sesuai target pemerintah," katanya.

Lebih lanjut, Enny menambahkan, perekonomian Indonesia tahun depan juga akan terpengaruh oleh masih melambatnya perekonomian sejumlah negara mitra dagang.  Ambil contoh Cina. Selain itu, tekanan akibat kenaikan suku bunga bank sentral AS, the Fed, diyakini menjadi faktor pembatas lainnya.

Optimisme BI

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara meyakini, kondisi perekonomian Indonesia pada 2016 akan lebih baik dan stabil. "Kita sambut 2016 dengan optimistis, tapi juga harus tetap waspada," ujar Mirza pada acara yang sama. Menurut Mirza, Indonesia tetap harus waspada sebab masih banyak tantangan yang harus dihadapi.

Ekonomi tahun depan akan lebih stabil karena berkurangnya ketidakpastian lantaran the Fed sudah hampir pasti menaikkan suku bunganya pada akhir tahun ini. "Sepertinya ketidakpastian sudah menjadi pasti. Desember ini suku bunga AS akan naik dari 0,25 persen menjadi 0,50 persen," kata Mirza. Mantan ekonom Bank Mandiri ini pun menyebut negara-negara berkembang seperti Indonesia harus tetap waspada karena bisa saja the Fed akan melakukan kenaikan suku bunga untuk kedua kalinya pada 2016.

Namun, ia memprediksi potensi tersebut terbilang kecil. "Second rate perlu kita waspadai. Tapi, menurut saya, tidak dilakukan dalam tenggat waktu yang singkat setelah kenaikan pada Desember nanti," ujarnya. Di sisi lain, Mirza menambahkan, perekonomian tahun depan akan membaik seiring mulai meningkatnya pertumbuhan ekonomi Cina. Menurut Mirza, Cina yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia memiliki peranan terpenting dalam menentukan arah perekonomian global.

Dia menjelaskan, saat ekonomi Cina masih tumbuh 12 persen, harga komoditas sangat tinggi karena banyaknya permintaan. Kondisi ini menguntungkan Indonesia yang mengandalkan ekspor komoditas. Apalagi, Cina merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Namun, sekarang harga komoditas anjlok ketika ekonomi Cina melambat ke level 6,8 persen. Tak heran nilai ekspor Indonesia pun terus melorot meskipun ada kenaikan ekspor dari sisi volume. Mirza memprediksi, ekonomi Cina baru akan membaik pada semester II 2016 setelah langkah-langkah stabilisasi diambil.

Masih dalam kesempatan senada, Mirza menjelaskan, BI memiliki alasan penting untuk tidak menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) di tengah melambatnya perekonomian. BI tetap mempertahankan suku bunga karena tidak ingin terjadi capital outflow atau arus modal keluar. Penurunan suku bunga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan di pasar modal dan pasar uang, mengingat Indonesia masih menganut sistem devisa bebas.

Apalagi, sekitar 37 persen surat utang pemerintah dimiliki investor asing. "Kita harus benar-benar menjaga modal asing tetap ada di Indonesia," kata Mirza. "Karena, tidak mungkin negara ini bisa tumbuh tanpa modal luar negeri."

ed: muhammad iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement