Kamis 22 Oct 2015 17:00 WIB

PLN Cabut Subsidi Listrik pada 2016

Red:

JAKARTA -- Setelah harga bahan bakar minyak (BBM) naik beberapa kali dalam setahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK), masyarakat bakal mendapat "kado" di tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK pada tahun depan.

Tepat per 1 Januari 2016, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan mencabut subsidi bagi 20 juta rumah tangga pelanggan listrik. Tujuan pencabutan subsidi ada dua. Pertama, agar penyaluran subsidi listrik tepat sasaran. Kedua, pemerintah berencana mengurangi subsidi listrik dari Rp 66 triliun di 2015 menjadi Rp 38,39 triliun di 2016. Ketetapan itu mengacu hasil rapat panitia kerja dengan DPR RI pada 30 September 2015.

"Telah diputuskan, untuk 2016, pelanggan yang disubsidi sebanyak 24,7 juta rumah tangga, berkurang dari jumlah yang disubsidi di 2015 sebanyak 45 juta rumah tangga," kata Kepala Divisi Niaga PT PLN Benny Marbun dalam diskusi publik bertajuk "Subsidi Listrik Tepat Sasaran untuk Warga" yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada Rabu (21/10).

Pengurangan itu juga atas pertimbangan bahwa jumlah penduduk miskin dan rentan miskin hanya 15,5 juta rumah tangga versi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Jadi, lanjut dia, terjadi penyaluran subsidi salah sasaran yang harusnya bisa diperbaiki pada 2016.

Penyaluran listrik salah sasaran karena selama ini PLN tidak mempertimbangkan status ekonomi pelanggan. Ketika ada masyarakat yang ingin memasang daya listrik untuk penerangan rumahnya di kategori R1 (sambungan 450 VA) dan R2 (900 VA), pelanggan tersebut otomatis mendapat subsidi. "Kita tidak melihat apakah mereka miskin atau tidak," katanya.

Namun, PLN tengah mempersiapkan diri menjelang pelaksanaan pencabutan subsidi dari sebagian pelanggannya pada 1 Januari 2016, di antaranya menyesuaikan data pelanggan dengan data yang dimiliki TNP2K.

Mekanismenya, ujar Benny, sedang dibicarakan, tetapi per 1 Januari 2016, rumah tangga yang dinyatakan tidak layak subsidi otomatis tidak dapat subsidi. Ketika pelanggan yang dicabut subsidinya menginginkan tambah daya menjadi 1.300 VA, PLN siap memprosesnya dengan menggratiskan biaya tambah daya. Bagi pelanggan pascabayar, pelanggan hanya membayar uang jaminan langganan.

Sedangkan, pemerintah berkukuh tidak ada kenaikan tarif listrik per 1 Januari 2016. Kasubdit Harga dan Subsidi Listrik Direktorat Jenderal (Ditjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P Hutajulu menegaskan, tidak ada kenaikan tarif listrik. Namun, pemerintah memberikan subsidi kepada rumah tangga yang benar-benar berhak, yakni masyarakat miskin dan rentan miskin.

Maka itu, PLN selaku pelaksana kebijakan diminta segera menyesuaikan data pelanggan dengan data masyarakat miskin yang dikantongi TNP2K. "Subsidi juga masih diberikan untuk sebagian industri, UKM, layanan sosial, sekolah, warung kecil, langgar, gereja, rumah sakit, masih disubsidi," kata dia di acara yang sama. Ia menekankan agar penyesuaian data harus dibarengi dengan nama dan alamat yang jelas untuk kebutuhan verifikasi.

Penyediaan tenaga listrik di PLN, lanjut dia, harus efisien. Sebab, tenaga listrik dihasilkan dari bahan bakar fosil yang tidak bisa diperbarui. Di sisi lain, masih banyak ketimpangan pelayanan listrik di perkotaan dan di kawasan pedalaman.

Dalam pelaksanaan subsidi, pemerintah melakukan evaluasi biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN dengan berprinsip pada allowable cost. Dalam evaluasi kinerja, PLN harus memaksimalkan efisiensi melalui diversifikasi energi primer dan penurunan loses. Ketika ditemukan penyaluran subsidi listrik salah sasaran, harus segera dilakukan perbaikan.

Rasio elektrifikasi per 2014 yakni 87 persen. Artinya, pelayanan listrik baru sebesar itu dan masih ada 13 persen wilayah di Indonesia yang belum menerima layanan listrik.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengindikasikan adanya upaya menaikkan tarif listrik di balik kedok pemangkasan anggaran subsidi listrik pada 2016. "Saya juga sangat tidak setuju jika pencabutan ini jadi alat pemerintah untuk menyerahkan harga ke pasar," kata Ketua Harian YLKI Tulus Abadi.

Subsidi listrik, lanjut dia, bukan masalah mampu atau tidak mampu si penerima subsidi. Sebab, jika semua yang menyangkut kebutuhan masyarakat diserahkan ke pasar, itu sama dengan menghilangkan peran pemerintah di tengah-tengah masyarakat. Jika begitu, sekalian saja bubarkan pemerintah agar yang masyarakat mandiri menyesuaikan diri dengan pasar.

Tulus menyebutkan, subsidi listrik relatif lebih tepat sasaran daripada subsidi bahan bakar minyak meski memang ada sejumlah ketidakadilan dalam pelaksanaannya. Di antaranya, 90 persen bahan bakar listrik sangat merusak lingkungan. Karena itu, seharusnya sejak awal tidak disubsidi.

Tarif listrik, lanjut dia, di satu sisi meninabobokan masyarakat karena bisa diperoleh dengan harga murah. Di sisi lain, struktur tarif industri tidak ikut murah. Akhirnya, kita menikmati harga hasil industri yang mahal.

Subsidi masih pantas diterima jika masyarakat benar-benar dinyatakan miskin. Namun nyatanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa data miskin kerap rentan manipulasi dan tidak akurat. n ed: zaky al hamzah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement