Senin 03 Aug 2015 15:00 WIB

BI Waspadai Ekonomi Cina dan AS

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,BI Waspadai Ekonomi Cina dan AS


JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan terus memperhatikan pertumbuhan ekonomi di Cina. Dalam 20 tahun terakhir, perekonomian di Negeri Tirai Bambu itu selalu tumbuh di atas 10 persen, tetapi sekarang menurun.

Gubernur BI Agus Martowardojo memprediksi, pertumbuhan ekonomi Cina akan turun menjadi sekitar 6,8 persen pada tahun ini. "Kalau kami lihat kajian dunia di 2016, ekonomi Cina bisa 6,3  persen. Maka tentu berdampak bagi Indonesia karena andalan kita ekspor komoditas," jelasnya, di Jakarta, Jumat, (31/7).

Agus menuturkan, bila ekspor melemah, maka Indonesia tidak berdaya. Karena itu, menurut Agus, BI menyambut baik rencana pemerintah untuk mengandalkan konsumsi dalam negeri.

Agus menjelaskan, perlu konsisten, sinergi, yakin, serta responsnya pun harus tepat waktu dan terukur. Jadi, ia menegaskan, kunci terpenting untuk merealisasikan rencana tersebut adalah  konsisten serta harus sinergis antara fiskal moneter dan sektor riil. 

Tak hanya perekonomian Cina, menurut Agus, perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan memperkuat ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga Bank Sentral AS Federal Reserve  (Fed Fund Rate). Agus menyebut pelemahan rupiah saat ini merupakan dampak eksternal penguatan perekonomian AS.

Melihat kondisi tersebut, Agus menyatakan BI akan tetap melakukan intervensi ke pasar uang demi menekan rupiah agar tak terus terdepresiasi. "Kelihatannya ekonomi AS tumbuh lebih baik 2,3  persen. Ada perbaikan di data employment, kalau kondisi AS baik, Fed Fund Rate akan naik," ujarnya.

Ia menambahkan, melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah disebabkan pula oleh permintaan dolar AS yang cukup tinggi pada akhir Juli 2015 untuk membayar utang valas. Kondisi tersebut membuat kurs rupiah terus tertekan. "Saat ini kondisi rupiah sangat dipengaruhi perkembangan ekonomi dunia," tutur Agus. 

Meski begitu, menurut dia, depresiasi rupiah dianggap masih lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya di regional maupun dunia. "Kalau kita lihat depresiasi rupiah ada di satu persen (month to date), sedangkan mata uang Brasil, Turki, Afrika Selatan, ada di kisaran dua sampai tiga persen (month to date)," jelasnya. 

Secara year to date (ytd) rupiah terdepresiasi 8 persen, sedangkan real Brasil terdepresiasi hingga 25 persen, lira Turki 18 persen, dan rand Afrika Selatan 8 persen. 

Sementara itu, Kepala Perwakilan BI Sumatra Barat (Sumbar) Puji Atmoko berpendapat, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merupakan momen yang tepat untuk meningkatkan ekspor daerah. "Ekspor utama Sumbar crude palm oil (minyak sawit) dan karet ini merupakan kesempatan terbaik meningkatkannya," kata Puji, di Padang, Jumat (31/7).

Akan tetapi, menurut dia, saat ini harga kedua komoditas tersebut secara global sedang turun sehingga potensi ini menjadi tidak maksimal. Pada sisi lain, ia melihat saat ini Indonesia masih mengalami defisit dengan nilai impor lebih besar daripada ekspor.

n antara ed: nidia zuraya 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement