Selasa 27 Jan 2015 16:00 WIB

Perlukah Suku Bunga the Fed Dikhawatirkan ?

Red:

Kinerja ekonomi domestik 2015 diprediksi masih dipengaruhi ketidakpastian global. Faktor eksternal akan dominan memengaruhi perekonomian Indonesia. Ada dua kebijakan bank sentral yang akan ditunggu investor tahun ini.

Kebijakan itu, yakni rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve (the Fed), dan rencana pelonggaran kuantitatif dari bank sentral Eropa (Europe Central Bank atau ECB). Head Macro Research Asia Standard Chartered Bank David Mann memandang faktor kenaikan suku bunga The Fed lebih memengaruhi perekonomian Indonesia ketimbang pelonggaran kuantitatif di Eropa. Baru-baru ini ECB mengumumkan pelonggaran kuantitatif sebesar 60 miliar euro.

"Kenaikan suku bunga the Fed menjadi faktor eksternal yang akan dominan terhadap perekonomian Indonesia," ujarnya di Jakarta, Senin (26/1).

Kenaikan suku bunga the Fed (the Fed Fund Rate) diperkirakan baru terjadi pada September tahun ini. Kebijakan itu akan diambil meski pertumbuhan ekonomi AS saat ini belum sesuai target. Kenaikan suku bunga tersebut diindikasikan membawa aliran modal keluar dari Indonesia.

"QE dari Eropa bisa memengaruhi market, tapi dampaknya tidak akan terlalu besar," kata David.

Meski lebih besar memengaruhi ekonomi Indonesia, ekonom Standard Charter Fauzi Ichsan memprediksi dampak kenaikan the Fed Fund Rate tidak akan signifikan. Menurutnya, pasar sudah bisa menerima rencana bank sentral tersebut.

Kebijakan itu diprediksi hanya menimbulkan kepanikan pada awal saat kenaikan suku bunga dilakukan. Hal itu diprediksi terjadi melihat gejolak di pasar keuangan saat the Fed menghentikan stimulus ekonomi sebelum Oktober 2014. Namun, ketika kebijakan tersebut terjadi, situasi pasar kembali normal.

Faktor eksternal yang menyeret ekonomi Indonesia itu dinilai tidak akan memengaruhi investasi domestik. Dari survei Standard Chartered terhadap investor di berbagai negara di Asia, sebanyak 46,2 persen masih mengaku optimistis dengan ekonomi Asia. Investor yang berekspektasi ekonomi Asia akan memburuk hanya 11,8 persen.

Fauzi menilai bahwa situasi politik dalam negeri pun tidak akan signifikan berdampak pada perekonomian. Menurutnya, ketegangan yang terjadi antara KPK dan Polri baru-baru ini tidak dianggap sebagai hal yang serius oleh investor.

Investor berpendapat, apa yang terjadi di antara kedua lembaga hukum tersebut tidak akan berdampak pada kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan, kondisi politik domestik saat ini dinilai masih lebih baik dibandingkan 2014 saat Indonesia menggelar pemilu.

Meski demikian, turunnya harga minyal global dinilai tidak terlalu menguntungkan untuk Indonesia. Regional Head of Research South East Asia Standard Chartered, Edward Lee, mengatakan bahwa penurunan harga minyak mentah akan menguntungkan negara-negara Asia, kecuali Indonesia dan Malaysia. Hal ini karena ekspor Malaysia dan Indonesia masih didominasi oleh produk komoditas.

"Kecuali kalau ekspor komoditas tidak menjadi andalan, kedua negara ini akan diuntungkan dengan pelemahan harga minyak dunia," ujar Lee.

Standard Charterd memperkirakan harga minyak masih bisa naik hingga 90 dolar AS per barel hingga akhir tahun ini. rep: Dwi Murdaningsih  ed: Nur Aini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement