Senin 05 Jan 2015 14:25 WIB

BI Perketat Utang Luar Negeri Swasta

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memperketat aturan pengelolaan utang luar negeri (ULN) bagi korporasi nonbank. Langkah ini diambil BI mengingat jumlah ULN swasta terus meningkat, bahkan melebihi ULN pemerintah.

Terkait pengelolaan ULN swasta ini bank sentral menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Selain itu, BI juga menerbitkan Surat Edaran Nomor 16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati- hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.

Kedua aturan tersebut merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya, PBI Nomor 16/20/PBI/2014 tanggal 28 Oktober 2014. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI, Juda Agung, mengatakan bahwa penerbitan aturan tersebut bertujuan menyelaraskan dengan praktik umum kegiatan usaha, upaya mendorong pembangunan infrastruktur, serta menyelaraskan dengan ketentuan lain BI yang akan dikeluarkan.

Jumlah ULN swasta terus meningkat. Data per Oktober 2014 menunjukkan bahwa ULN Swasta mencapai 161,3 miliar dolar AS atau 54,8 persen dari total ULN  sebesar 294,5 miliar dolar AS.

“BI melihat ULN swasta tersebut rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar, risiko likuditas, dan risiko beban utang yang berlebihan. Risiko ULN swasta juga

semakin tinggi karena prospek perekonomian masih diliputi berbagai ketidakpastian,” ujar Juda di Jakarta, Jumat (2/1).

BI memperkirakan bahwa likuiditas global akan mengetat bersamaan dengan berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di Amerika Serikat. Saat bersamaan, ekonomi negara emerging market yang menjadi mitra dagang utama Indonesia diperkirakan masih mengalami perlambatan dan harga komoditas ekspor masih rendah. Kondisi ini menyebabkan beban pembayaran ULN berpotensi meningkat, sebaliknya kapasitas membayar ULN berpotensi menurun.

Penyempurnaan yang termuat dalam PBI dan SE tersebut, antara lain, penyesuaian terhadap cakupan komponen aset dan kewajiban valuta asing (valas), ketentuan pemenuhan kewajiban lindung nilai (hedging), serta ketentuan pemenuhan kewajiban peringkat utang.

Penyesuaian terhadap cakupan komponen aset dan kewajiban valas, di antaranya dilakukan dengan memperhitungkan piutang kepada bukan penduduk dan piutang kepada penduduk yang memenuhi persyaratan tertentu sebagai aset valas; persediaan (inventory) sebagai komponen aset valas bagi korporasi yang berorientasi ekspor; dan utang dagang (trade credit) sebagai komponen kewajiban valas.

Selain itu, penyesuaian terhadap ketentuan pemenuhan kewajiban hedging, antara lain, dilakukan dengan penetapan threshold selisih negatif antara aset dan kewajiban valas yang wajib dilindungnilaikan; pengecualian kewajiban hedging bagi korporasi berorientasi ekspor yang melakukan pencatatan laporan keuangan dalam dolar AS; dan penetapan keharusan pelaksanaan hedging dengan perbankan domestik mulai 1 Januari 2017.

Threshold ditetapkan sebesar ekuivalen 100 ribu dolar AS. Bila selisih negatif lebih kecil dari threshold, perusahaan tidak wajib memenuhi rasio lindung nilai minimum.  PBI sebelumnya mengatur korporasi nonbank yang memiliki ULN valas wajib melakukan hedging terhadap rupiah dengan rasio 20 persen terhadap selisih kekurangan valas atas kewajiban yang jatuh tempo pada tiga hingga enam bulan sebelum jatuh tempo.

Sedangkan, penyesuaian terhadap ketentuan pemenuhan kewajiban peringkat utang, di antaranya dilakukan dengan memperpanjang masa berlaku peringkat utang menjadi dua tahun; memperkenankan korporasi nonbank untuk menggunakan peringkat utang perusahaan induk atas ULN dari perusahaan induk atau yang dijamin oleh perusahaan induk; memperluas pengecualian kewajiban peringkat utang atas ULN terkait proyek infrastruktur dan ULN yang dijamin lembaga internasional (bilateral/ multilateral).

Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih mengatakan bahwa perbankan nasional harus meningkatkan kapasitas untuk bisa memberikan layanan hedging ULN swasta. Pasalnya, nilai ULN swasta sangat besar.

Menurutnya, mau tidak mau perbankan harus dituntut semakin kompetitif dengan perbankan luar negeri. Selama ini, masih cukup banyak perusahaan swasta yang melakukanhedging dengan menggunakan jasa bank atau lembaga keuangan di Singapura.

“Yang penting bank nasional harus ditingkatkan agar memiliki kemampuan untuk memberikan layanan hedging, jangan sampai nanti merugikan pengusaha,” kata Sri, kepada Republika, Ahad (4/1).

Mengenai threshold pada ULN swasta yang tidak di-hedging, menurutnya, tidak begitu berpengaruh terhadap perekonomian nasional jika perusahaan mengalami gagal bayar. Namun, katanya, perusahaan tetap harus memiliki manajemen risiko yang baik terhadap pengelolaan utang.

“BI perlu memitigasi risiko bukan hanya melihat dari aset valas saja, melainkan juga pendapatan valas yang dimiliki perusahaan,” ujarnya.

 rep: dwi murdianingsih c87 ed: nidia zuraya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement