Kamis 20 Oct 2016 14:38 WIB

Mencari Ruang di Sempitnya Fiskal

Red:

 

Republika/ Wihdan Hidayat   

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menghadapi masa sulit ketika memasuki tahun kedua ini. Penerimaan perpajakan yang terus menurun, belum lagi pelemahan ekonomi dunia yang berimbas pada anjloknya harga komoditas, membuat pemasukan secara menyeluruh ikut terpangkas dari target.

 

Anggaran pun semakin sempit, di tengah kebutuhan pembiayaan proyek-proyek infrastruktur serta belanja pemerintah pusat dan daerah terus berjalan. Target penerimaan negara tahun ini, yang diambil dari perpajakan atau nonpajak, tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar Rp 1.786,2 triliun. Namun, kebutuhan belanja negara mencapai Rp 2.082,9 triliun.

 

Kondisi ini praktis membuat keuangan negara mengalami defisit sebesar Rp 296,7 triliun atau 2,35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia senilai Rp 12.600 triliun. Namun, tantangan besar pemerintah tak berhenti di situ.

 

Anjloknya penerimaan pajak sebesar Rp 219 triliun membuat proyeksi defisit anggaran diperlebar di kisaran 2,5 hingga 2,7 persen dari PDB. Semua tekanan ini membuat pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi harus memutar otak, mencari ruang di tengah sempitnya fiskal tahun 2016 ini agar aktivitas ekonomi dan pembangunan negara tetap berjalan.

 

Pemerintah yang menyadari hal ini lantas mengambil langkah penyelamatan, pemangkasan anggaran. Pemangkasan anggaran pertama dalam tahun fiskal 2016 dilakukan pada Mei lalu, dengan penghematan anggaran menyentuh Rp 50,02 triliun dari total alokasi untuk kementerian/lembaga sebesar Rp 784,1 triliun.

 

Sementara penghematan yang kedua, dilakukan pada 26 Agustus 2016 melalui Inpres Jilid 2. Dalam pemangkasan ini, kementerian dan lembaga terpaksa diminta menghemat Rp 64 triliun. Bahkan, pemerintah pusat juga menunda transfer daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 19,4 triliun kepada 169 daerah.

 

Berbagai skenario antisipasi pun disiapkan. Pelebaran defisit anggaran dari 2,35 persen menjadi 2,7 persen dari PDB, diproyeksikan akan menambah utang pemerintah sebesar Rp 44 triliun. Pemerintah menghitung, pelebaran defisit fiskal sampai 2,5 persen bakal memaksa pemerintah menambah pinjaman sebesar Rp 17 triliun.

 

Sedangkan, pelebaran kembali menuju angka 2,7 persen membutuhkan pinjaman ekstra sebesar Rp 27 triliun. Sehingga kalau ditotal, pemerintah harus menambah sebesar Rp 44 triliun.

 

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, pinjaman sebesar Rp 27 triliun yang diperlukan bila defisit bertambah hingga 2,7 persen, akan dicari dari lelang surat berharga negara (SBN) di dalam negeri. Ia menyebutkan, pemerintah tidak akan menambah penerbitan surat utang luar negeri apabila defisit menyentuh 2,7 persen. Sehingga, target realisasi penerbitan surat utang hingga November tahun ini bisa mencapai Rp 628 triliun.

 

"Itu kan kita perkirakan penerbitannya selesai minggu pertama November 2016, dan marketnya mestinya bisa diserap karena masih banyak waktu dan masih sesuai. Itu sesuatu yang bisa dilakukan, ada penambahan sekitar 17 triliun (proyeksi defisit 2,5 persen) dari APBNP," ujar Robert.

 

Selain penerbitan surat utang, pemerintah juga menyiapkan opsi lain untuk menambal kebutuhan dana pada tahun anggaran kali ini. Opsi lain yang disiapkan adalah private placement atau pinjaman kepada pihak swasta.

 

Meski begitu, Robert meyakinkan bahwa lelang SBN hingga November tahun ini sebetulnya sudah cukup untuk menutup defisit anggaran, tanpa menambah lelang pada Desember bulan berikutnya. Alasannya, kebijakan front loading atau menarik utang pada awal tahun 2016 ini memberikan ruang lebih lega bagi pemerintah untuk menutup defisit.

 

Solusi jangka pendek juga dilakukan pemerintah, dengan menerbitkan surat utang yang secara rutin tiap-tiap tahunnya melalui Obligasi Ritel Indonesia (ORI) seri ORI013, dengan periode penawaran dari 28 September hingga 20 Oktober 2016 mendatang. Pada penerbitan ORI013 ini, pemerintah menetapkan penawaran kupon atau tingkat imbal hasil sebesar 6,6 persen dengan tenor tiga tahun.

 

Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Lotto Srinata Ginting menyatakan, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) berpotensi naik dari Rp 43 triliun menjadi Rp 654 triliun. Hal ini lantaran defisit fiskal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 diproyeksikan bakal melebar, dari 2,35 persen menjadi 2,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

 

"Dan ini kalau kita terbitkan sebesar itu, ini mencatat sejarah pertama kalinya menerbitkan SBN di atas Rp 600 triliun," katanya.

 

Pemerintah menyadari, SBN menjadi instrumen utama dalam pemenuhan pembiayaan pemerintah terlebih melihat defisit yang kian melebar. Lotto menegaskan, akan terus menyempurnakan pengembangan instrumen ritel ke depannya.

 

Penerbitan SBN juga sejalan dengan program amnesti pajak yang dijalankan pemerintah. Aliran dana repatriasi yang masuk ke Indonesia diharapkan bisa diinvestasikan oleh pemilik modal untuk membeli surat utang, yang pada akhirnya bisa menyelamatkan defisit fiskal.

 

"Besar harapan kami penjualan ORI013 dapat lancar seperti penjualan ORI sebelumnya. Dan seri ORI013 ini memiliki tingkat kupon 6,60 persen. Berangsur turun dari penerbitan pada seri-seri sebelumnya karena perekonomian terus membaik," ujar Lotto.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sempat menyampaikan ucapan maafnya kepada jajaran pimpinan daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota atas kebijakan penghematan anggaran, yang dilakukan pemerintah pusat dalam tahun anggaran kali ini. Sri menjelaskan, berbagai sebab termasuk pelemahan ekonomi dunia dan rendahnya harga komoditas, membuat perekonomian nasional lesu.

 

Ujungnya, anggaran negara tahun ini diproyeksikan mengalami shortfall atau defisit anggaran sebesar Rp 219 triliun. Artinya, target penerimaan pajak sebesar Rp 1.355 triliun bakal meleset.

 

Sri menekankan, penurunan penerimaan negara ini harus dikelola secara baik dan adil, antara pemerintah pusat dan daerah. Ia menegaskan, penghematan anggaran tidak akan menyetop pembangunan di daerah, terutama proyek-proyek prioritas.

 

"Ini dilakukan, baik melalui pelebaran defisit maupun berbagai kebijakan yang secara selektif ingin dilakukan dengan cara penundaan. Ini karena kami harus kelola APBN secara berkelanjutan dan berhati-hati. Saya benar-benar minta maaf kepada pimpinan K/L dan pemda, karena pasti cukup banyak yang terkena imbas dari kondisi APBN ini," kata Sri.

 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, meski pemerintah sudah memperhitungkan berbagai kemungkinan, sebisa mungkin pelebaran defisit akan dijaga tidak melampaui 2,7 persen. Keyakinan yang mulai ada dari penerimaan amnesti pajak, menurut Suahasil, memberikan peluang lebih besar bagi pemerintah untuk tetap menjaga ruang defisit agar tak terlalu lebar.

 

Suahasil menambahkan, pelebaran defisit fiskal yang ada saat ini terjadi lebih karena belanja yang lebih tinggi dibandingkan target. Selain itu, Kementerian Keuangan juga mendapat proyeksi akan adanya upsize atau pembengkakan kebutuhan untuk cost recovery.

 

Suahasil menyebutkan, pemerintah bersama dengan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), terus menjaga dan memastikan agar pengeluaran untuk cost recovery tidak lebih besar dari yang dianggarkan dalam APBNP 2016 sebesar 8 miliar dolar AS. Kekhawatiran tentang upsize cost recovery muncul setelah diketahui realisasi cost recovery hingga Juli 2016 saja, sudah menyentuh angka 6,5 miliar dolar AS.

 

Sementara itu, Bank Indonesia mengingatkan pemerintah pusat untuk tetap waspada dalam melihat angka inflasi untuk melakukan penghematan anggaran. Seperti rencana pengurangan subsidi energi dalam RAPBN tahun depan, yang dinilai bisa membuat inflasi lebih tinggi.

 

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai, upaya memperkecil defisit anggaran tersebut harus dibarengi pemerintah, dengan memperhatikan potensi kenaikan inflasi dari pemangkasan subsidi tersebut.

 

"Kita mau jaga anggaran, namun kita juga mau jaga inflasi. Anggaran tidak boleh defisit terlalu besar karena defisit itu dibiayai dengan utang dan kita tidak mau utang kita nambah terus. Di satu sisi kita tidak mau inflasi melonjak. Memang biasanya kalau subsidi dikurangi maka akan terjadi inflais yang melonjak," kata Mirza.

 

Mirza mengaku optimistis bahwa pemerintah sudah menyiapkan langkah untuk tetap menjaga laju inflasi, meski di sisi lain ada kebijakan penghematan yang berpotensi menaikkan inflasi. Ia mengaku, penghematan anggaran dalam kondisi perekonomian saat ini memang perlu dilakukan.

 

"Kami yakin bahwa dengan koordinasi yang baik, pengurangan subsidi yang memang diperlukan untuk kesehatan anggaran. Kita lihat timing bisa dikoordinasikan dengan baik agar inflasi bisa terjaga," katanya.

 

Mirza memproyeksikan hingga akhir tahun ini, angka inflasi masih bisa terjaga di bawah empat persen. "Tahun 2015 lalu 3,3 persen, tahun ini mudah-mudahan mungkin bisa di bawah 3,5 persen dan tahun depan, bisa kita pertahankan maka harapan kita punya inflasi dan suku bunga rendah bisa tercapai," katanya.

 

Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati menjelaskan, defisit keseimbangan primer memang bakal meningkat, menyusul pelebaran defisit anggaran saat ini. Hal ini, menurut Enny, sebetulnya bisa saja dihindari apabila ada efisiensi luar biasa, dalam hal belanja dan pengeluaran di semester kedua ini. Pengeluaran yang produktif dan peran stimulus yang optimal bisa menekan defisit keseimbangan primer.

 

"Kalau nambah utang defisit keseimbangan primer bisa meningkat. Walaupun sebetulnya gak harus. Kalau benar-benar efektif. Namun persoalannya, tambahan utang itu kan tidak langsung tambahkan produksi. Jadi memang untuk 2016 sudah pasti kalau terjadi pelebaran defisit, ya terjadi sekaligus penambahan defisit keseimbangan primer," ujar Enny.

 

Awal Oktober, Kementerian Keuangan memang mengakui, keseimbangan primer pemerintah masih defisit. Artinya, negara terpaksa menambah utang demi membayar bunga utang sebelumnya. Diketahui bahwa defisit keseimbangan primer yang dihitung dari total penerimaan dikurangi belanja negara, tanpa adanya pembayaran bunga utang, mencapai Rp 111,4 triliun. Angka ini lebih besar dari RAPBN 2016 sebesar Rp 105,5 triliun.

 

Sedangkan opsi penarikan utang lebih awal yang mungkin saja akan dilakukan. Namun, pemerintah masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut dengan parlemen. Pengambilan keputusan bakal melihat beberapa hal, termasuk sisi kebutuhan anggaran belanja pada awal tahun depan. Pertimbangan ini akan menentukan besaran surat berharga yang akan diterbitkan oleh pemerintah.

 

Guru Besar Ekonomi Universitas Padjadjaran Ina Primiana menilai, penambahan utang harus diikuti dengan perhitungan yang cermat, khususnya terkait dampak fiskal yang bakal dialami pemerintah tahun berikutnya.

 

Ina menjelaskan, langkah untuk membuka keran utang sebetulnya sah-sah saja bila memang dilakukan dengan penuh perhitungan. Artinya, pemerintah harus tahu seberapa banyak utang yang akan diambil, dan sejauh mana utang yang dilakukan bakal memberikan keuntungan pada tahun depan. Utang, menurut Ina, harus dibelanjakan untuk sektor-sektor produktif, bukan justru untuk membiayai sektor konsumtif.

 

"Pemerintah saat ini butuh dana besar untuk bangun infrastruktur. Ini sah saja, asal harus tahu nanti bayar ini utang dari mana asalnya. Intinya, utang harus dilakukan untuk sektor produktif," kata Ina, Ahad (18/9).

 

Selain itu, Ina juga mendesak pemerintah untuk memiliki proyeksi yang cermat terkait pertumbuhan ekonomi mendatang, berdasar pada penambahan utang yang diambil. Di sisi lain, Ina menilai, pelebaran defisit APBN yang dilakukan pemerintah merupakan hasil dari kesadaran bahwa persediaan dana untuk belanja sudah menipis. Pemikiran yang realistis, menurut dia, menuntun pada langkah-langkah antisipasi yang justru bisa menyelamatkan APBN tahun ini sekaligus tahun depan.

 

Di sisi lain, pemerintah masih berupaya untuk mengejar target penerimaan pajak tahun ini, yang masih tertahan di angka 54 persen dari targetnya sebesar Rp 1.355,2 triliun. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, hingga September lalu penerimaan pajak baru mencapai Rp 729 triliun.

 

Pemerintah akan fokus di sisa waktu kuartal keempat ini untuk mengejar ketertinggalan. Salah satu penerimaan yang terus digenjot, yakni penerimaan dari program amnesti pajak yang maskih berlangsung hingga Maret 2017 mendatang.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah terus memonitor potensi penerimaan negara. Untuk mengejar penerimaan dari program amnesti pajak, misalnya, Sri menyebutkan, pihaknya meningkatkan pertemuan dengan para wajib pajak, khususnya wajib pajak besar untuk periode pertama program ini. Tak hanya itu, dia juga telah menginstruksikan peningkatan kapasitas petugas untuk melayani wajib pajak, yang akan menyerahkan Surat Pernyataan Harta (SPH) demi mendapat pengampunan pajak.

 

"Strateginya, (kejar target pajak) sama terus saja melihat potensi penerimaan, terus menggiatkan pertemuannya dengan para wajib pajak, terutama yang berpotensi dan melakukan pekerjaan memberi semangat kepada anak buah supaya tidak menyerah. Yang paling penting itu," ujar Sri.

 

Penerimaan pajak hingga September lalu terdiri atas penerimaan pajak nonminyak dan gas bumi (migas) memberikan porsi Rp 705,2 triliun, yang terdiri atas PPh nonmigas sebesar Rp 431,7 triliun, PPN Rp 252,5 triliun, dan PBB serta pajak lainnya sebesar Rp 20,8 triliun. Sementara PPh migas memberikan porsi sebesar Rp 24,5 triliun. Sedangkan raihan amnesti pajak hingga 28 September 2016 pukul 08.00 WIB, tercatat uang tebusan terkumpul Rp 54,3 triliun. Sedangkan harta deklarasi tercatat Rp 2.514 triliun, dengan dana repatriasi sebesar Rp 128 triliun.     rep: Sapto Andika Candra, ed: Ichsan Emrald Alamsyah

 

***

 

APBNP 2016                          Rp 1.786,2 triliun

Kebutuhan Belanja                 Rp 2.082,9 triliun

 

Defisit                                      Rp 296,7 triliun (2,35 persen dari PDB senilai Rp 12.600 triliun)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement