Senin 23 May 2016 13:00 WIB

Uang Muka Rumah Pertama Diusulkan Nol Persen

Red:

Antara/Aditya Pradana Putra 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA--Rencana Bank Indonesia (BI) yang akan mengkaji ulang aturan rasio pinjaman terhadap nilai aset atau loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR) disambut baik Indonesia Property Watch (IPW). Sebab, peraturan yang dikeluarkan otoritas moneter pada tahun lalu dinilai masih belum bisa mendongkrak pasar KPR. "Maka itu, kita intens ke BI minta lagi, bisa nggak ada relaksasi kebijakan?" ujar Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda kepada Republika di Jakarta, Ahad (22/5).

Proses pengkajian ulang LTV untuk KPR telah disampaikan oleh BI dalam sejumlah kesempatan. Alasan utama di balik pengkajian ini adalah lesunya pertumbuhan kredit sebagai akibat perlambatan ekonomi. Gubernur BI Agus Martowardojo, akhir pekan silam, mengatakan, jika kajian sudah tuntas, hasilnya akan disampaikan kepada publik selekasnya.

Pada pertengahan tahun lalu, otoritas moneter telah melonggarkan aturan LTV terkait kredit perumahan dan kendaraan bermotor. Aturan tersebut tertuang dalam PBI Nomor 17/10/PBI/2015 yang mulai berlaku sejak 18 Juni 2015. Pada aturan yang baru, besaran uang muka kredit perumahan diturunkan menjadi sebesar 10 persen untuk perbankan konvensional dan lima persen untuk perbankan syariah. Untuk aturan yang baru nanti, Ali mewakili IPW meminta besaran uang muka (down payment/DP) untuk rumah menengah ke bawah sebesar nol persen.

Menurut Ali, hal itu memungkinkan sebab berbeda dengan kendaraan bermotor, tanah yang jadi pijakan rumah atau bentuk properti lainnya tidak akan hilang dibawa kabur. "Lalu, kalau untuk menengah ke bawah, yang subsidi FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan) itu kan inden. Itu berarti rumah sudah jadi, pengembang nggak akan kabur. Nah, berarti aman. DP nol persen nggak ada masalah," ujarnya.

Sementara, aturan LTV untuk rumah kedua, uang muka sebesar 10 persen. Sedangkan, untuk rumah ketiga, uang muka sebesar 40 persen, menurut Ali, tidak ada masalah. Ali menjelaskan, untuk rumah pertama, seharusnya diberikan uang muka nol persen.

Sebab, itu merupakan kebutuhan hunian. Sementara, rumah kedua dan selanjutnya merupakan aset. Sehingga, tidak masalah jika harus diperketat aturannya.

"Investasi properti itu nggak masalah. Misalnya, saya beli untuk anak saya satu. Tapi, untuk rumah ketiga hingga kelima, ada motif spekulasi di sana. Silakan diperketat," kata Ali.

Ekonom Indef, Eko Listiyanto, menilai, rencana BI untuk melonggarkan aturan LTV belum akan mampu mendongkrak pertumbuhan kredit pada sektor properti maupun pertumbuhan kredit secara keseluruhan. "Sekarang ini persoalannya adalah walaupun direlaksasi, daya beli masyarakat semakin turun. Kalau mengandalkan LTV, mungkin ada pengaruhnya kalau menyasar ke masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi, kalau sudah disasar menengah ke atas, tidak banyak pengaruh," ujar Eko kepada Republika. Eko menjelaskan, untuk sektor properti, permintaan paling tinggi berada pada rumah sederhana.

Ironisnya, tingginya permintaan tidak diimbangi ketersediaan. Sehingga, harga rumah sederhana naik gila-gilaan. "Kalau direlaksasi, efeknya pasti ada di sektor itu," kata Eko.

Apabila uang muka diturunkan, lanjut Eko, pasti akan mendongkrak permintaan rumah sederhana. Namun, untuk yang sifatnya mewah, memang akan tetap turun. Sebab, sebagaimana dijelaskan di awal, pendapatan masyarakat menengah ke atas sudah turun.

Selain itu, biasanya masyarakat menengah ke atas tidak membutuhkan rumah sebagai kebutuhan primer. Rumah hanya menjadi salah satu instrumen investasi. Artinya, mereka dengan gampang menunda untuk membeli rumah lagi.

Namun, untuk masyakarat menengah ke bawah, menurut Eko, rumah sederhana tidak bisa ditunda untuk dibeli. "Jadi, kalau ada kebijakan sedikit saja langsung beli, itu karena permintaannya sudah tinggi sekali. Biasanya, yang tadinya mengontrak, mereka butuh beli rumah. Maka itu, kalau ada stimulus sedikit saja, mereka langsung positif responsnya," ujar Eko.    c37, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement