Senin 23 Nov 2015 16:00 WIB

RI-Malaysia Bentuk Dewan Sawit

Red:

KUALA LUMPUR--Indonesia dan Malaysia menandatangani piagam pembentukan Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) di Kuala Lumpur, Sabtu (21/11). Kesepakatan itu ditandatangani oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Indonesia Rizal Ramli dan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Amar Douglas Uggah Embas yang disaksikan Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Seperti dilansir kantor berita Antara, Ahad (22/11), CPOPC bertujuan untuk mempromosikan, membangun, dan memperkuat kerja sama industri minyak kelapa sawit dengan negara-negara anggota untuk menjamin kontribusi industri tersebut terhadap pembangunan ekonomi serta kemakmuran rakyat.

Dewan tersebut akan berperan mempromosikan pengembangan industri kelapa sawit di kalangan para pihak di negara produsen, mendorong kesejahteraan petani kecil, dan membangun serta membentuk kerangka global minyak sawit yang berkelanjutan. CPOPC juga mempromosikan kerja sama dan investasi dalam membangun kawasan industri minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan serta mengatasi hambatan dalam perdagangan komoditas tersebut.

Selain Indonesia dan Malaysia sebagai negara-negara pendiri, anggota CPOPC terbuka bagi semua negara penghasil kelapa sawit, termasuk Brasil, Kolombia, Thailand, Ghana, Liberia, Nigeria, Papua Nugini, Filipina, dan Uganda. Untuk operasi awal CPOPC, Indonesia dan Malaysia berkontribusi masing-masing lima juta dolar Amerika Serikat (AS) sebagai dana awal. Sekretariat CPOPC ini akan berlokasi di Jakarta.

Indonesia sebagai inisiator terbentuknya CPOPC menaruh harapan tinggi dengan terbentuknya dewan tersebut. Pengelolaan sawit ke depan diharapkan dapat berkelanjutan, ramah lingkungan, serta mendukung para petani dan pengusaha sawit skala kecil. "Ini merupakan upaya maraton, bukan sprint. Tapi, kita telah memastikan langkah pengelolaan sawit berkelanjutan," kata Rizal kepada Republika, Ahad (22/11).

Dengan kerja sama dan koordinasi yang lebih besar serta kehadiran pemerintah, kata dia, Indonesia bersama negara-negara penghasil sawit lainnya akan dapat mengubah pola industri sawit yang tadinya kelam menjadi ramah lingkungan. Rizal menjelaskan, hasil produksi sawit selama ini banyak digunakan untuk produk-produk rumah tangga skala besar. Namun, tidak dapat dimungkiri proses pengelolaannya dibarengi konversi hutan ke perkebunan kelapa sawit.

Hal ini berkontribusi pada risiko lingkungan, seperti kebakaran hutan dan lahan yang berujung pada kabut asap. Pelaksanaannya juga berkontribusi pada peningkatan konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat pribumi yang berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka melawan ekspansi pembangunan perkebunan. Oleh karena itu, pertumbuhan di industri sawit harus dikendalikan hingga 30 persen pada 2020.

Tujuannya, mengantisipasi lebih banyak lagi pembukaan lahan untuk sawit. "Ini wajib dilakukan sekarang juga agar terjadi pelaksanaan industri sawit yang bertanggung jawab dan berkelanjutan," ujar Rizal. Industri minyak sawit dunia bukan hanya urusan korporasi besar semata, melainkan juga melibatkan petani sawit tingkat rumah tangga. Di Indonesia, kata dia, ada sekitar empat juta pengusaha kecil dan ada 500 ribu di Malaysia.

Mereka berkontribusi 40 persen untuk produksi minyak sawit dunia. Sayangnya, mereka kekurangan kapasitas untuk memenuhi standar pengelolaan sawit berkelanjutan. Seiring dengan konsumen global yang meningkat, para pengusaha sawit skala rumah tangga pun harus diperkuat agar dapat melakukan pengelolaan sawit secara tepat.

Tetap waspada

Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Ermanto Fahamsyah mengingatkan Pemerintah Indonesia agar tetap waspada ketika menjalin kemitraan sawit dengan Malaysia. Menurut Ermanto, terdapat sisi positif dan negatif dari jalinan kerja sama dalam bentuk CPOPC. 

Positifnya, perjanjian berfungsi membangun bargaining position produsen sawit di tingkat perdagangan internasional. Asumsinya, Indonesia dinilai kurang kuat jika berjalan sendirian. Untuk itu, daya tawar akan menguat jika dilakukan bersama dengan negara-negara produsen sawit lainnya. Namun, negatifnya, jika Malaysia menelikung dari belakang, dalam arti tidak mematuhi perjanjian, tentu hal tersebut akan merugikan Indonesia.   

ed: muhammad iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement