Jumat 28 Aug 2015 11:00 WIB

Produsen Sepakat Jaga Stabilitas Pangan

Red:

JAKARTA — Kementerian Pertanian menyatakan bahwa para produsen pangan di dalam negeri telah sepakat untuk bersama-sama dengan pemerintah menjaga stabilitas harga maupun  ketersediaan stok pangan nasional. Kalangan produsen yang sepakat di antaranya pengusaha penggilingan beras, pengusaha ternak sapi, dan pengusaha ternak ayam.

"Kemarin kita mengadakan pertemuan khusus dengan asosiasi penggilingan beras 5.000 orang, ada kesanggupan untuk menjual beras ke Bulog 1,4 juta ton," kata Menteri Pertanian (Mentan)  Andi Amran Sulaiman di Istana Presiden, Jakarta, Kamis (27/8).

Ia mengatakan, selain dengan asosasi penggilingan padi, pihaknya juga sudah bertemu dengan para pengusaha ternak sapi dan ayam untuk memastikan pasokan dengan harga yang wajar.  "Ada kesepakatan, kami sudah ketemu feedlotter untuk melepas dengan harga Rp 38 ribu per kilogram dari kandang, ayam juga sepakat dengan harga Rp 17 ribu sampai Rp 20 ribu per  kilogram," kata Amran.

Ia mengatakan, pemerintah juga telah melakukan upaya untuk memantau pasar memastikan stabilitas harga pangan. Untuk menjaga stabilitas harga pangan, salah satu kebijakan yang dilakukan  pemerintah adalah dengan melakukan impor pangan.

Impor pangan, kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong, bertujuan untuk mengurangi inflasi karena kenaikan harga produk pangan akibat terjadinya kelangkaan stok. Ia menuturkan, pangan  berpengaruh besar dalam barang dan jasa yang memicu inflasi, sedangkan kini impor pangan tidak begitu besar dibandingkan total impor Indonesia.

"Kalau kita buka keran impor (pangan), neraca perdagangan masih oke, tapi dampak inflasi bisa turun besar," ujarnya.

Sementara itu, sejumlah pengusaha penggilingan mempertanyakan kejelasan ketetapan harga beras yang akan mereka jual ke Perum Bulog. Para pengusaha tersebut mengaku khawatir harga  yang dibayar terlalu rendah berdasarkan ketetapan public service obligation (PSO). Sementara, di musim kering harga beras tinggi.

Pemerintah melalui Kementan telah membuat kesepakatan dengan pengusaha penggilingan nasional. Dalam kesepakatan tersebut, para pengusaha sepakat menjual beras ke Perum Bulog  terkumpul 1.436.915 ton hingga September 2015.

Asep Gumilang, salah seorang pengusaha penggilingan beras asal Sukabumi, menginginkan agar harga yang dibayarkan sesuai dengan harga jual di pasar. Ia juga menyatakan kesanggupannya menjual 100 ton beras petani per bulannya. Namun, ia menuntut kepedulian pejabat Kementan terhadap petani di daerahnya.

"Saya juga petani, tapi ke kami belum ada bantuan dana sama sekali, kalau ada juga harus ditebus pakai uang," kata Asep saat ditemui pada acara pembukaan kegiatan upaya khusus  peningkatan perberasan Indonesia di Jakarta, Rabu (26/8).

Rendahnya harga beli Bulog juga dikeluhkan pengusaha penggilingan beras dari Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Hasil Tabrani. Ia mengungkapkan, harga beras dari penggilingan  yang dibeli Bulog berdasarkan pengalamannya kemarin, yakni Rp 6.600 per kilogram. "Padahal, harga jual di pasar sudah Rp 7.000 per kilogram," ujarnya.

Kartel daging

Terkait lonjakan harga pangan, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Rizal E Halim, meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Polri serius dalam menangani  masalah dugaan adanya kartel perdagangan daging sapi. "Kasus melonjaknya harga daging sapi beberapa waktu lalu yang diakibatkan oleh adanya pelaku usaha feedlotter yang menahan  pasokannya ke rumah potong hewan (RPH) merupakan tantangan bagi KPPU dan Polri untuk mengembalikan kewibawaan hukum dan negara," kata dia, Kamis (27/8).

   

Hambatan Perpres 71 Tahun 2015 yang disampaikan Polri sebagai kendala dalam menemukan unsur pidana kasus ini dinilainya sangat mengecewakan. Alasannya, pertama jelas sidak yang  ditayangkan langsung ditemukan beberapa pelaku usaha yang menahan pasokannya. Hal ini diperkuat oleh surat edaran asosiasi pedagang sapi.

Kedua, lanjut dia, ilustrasi tidak terpenuhinya Pasal 11 dalam perpres terlalu dini karena yang perlu dianalisis adalah jumlah sirkulasi keekonomisan sapi dan sirkulasi pasokan ke pasar. "Jangan direduksi, Pasal 11 ini berbicara safety stock. Artinya, stok yang dicadangkan untuk memenuhi permintaan pasar," katanya.

Ketiga, setelah sidak baik KPPU maupun Polri tidak transparan mengumumkan hasilnya ke publik. Di negara-negara yang memiliki anti trust law yang mapan, ungkap Rizal, kasus-kasus  seperti ini selalu dipublikasikan baik temuan, angka, jumlah, maupun nama pelaku usahanya.

"Harusnya diketahui berapa total sapi siap potong yang ditahan oleh pelaku usaha? Berapa sapi yang dalam proses penggemukan. Bagaimana siklus pemotongan sapi dalam rentang waktu  tertentu yang riil terjadi? Berapa kebutuhan atau tingkat permintaan pasar? Ini semua yang perlu dibuka ke publik agar mengetahui," katanya memaparkan.

Padahal, ucap Rizal, kehadiran UU Persaingan Usaha tidak hanya karena ingin memberi level of playing yang adil bagi para pelaku usaha, tetapi yang lebih penting, mewujudkan persaingan yang sehat sehingga diharapkan dapat mendorong efisiensi pasar yang bermanfaat besar bagi konsumen. n antara ed: nidia zuraya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement