Rabu 26 Aug 2015 16:00 WIB

Pemerintah Lebih Responsif

Red:

JAKARTA -- Pemerintah dinilai gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penilaian ini berdasarkan sejumlah indikator sosial dan ekonomi pada semester I 2015 menunjukkan  bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tak banyak berkomentar terkait memburuknya indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut dia, untuk meningkatkan  kesejahteraan tidak terlepas dari perbaikan ekonomi secara menyeluruh.

"Tetapi tidak bisa menghilangkan juga seluruh dampaknya yang ada. Jadi tidak ada jalan lain, kecuali masuknya aliran modal dari luar," ujarnya, di Jakarta, Selasa (25/8).

Berbeda dengan Darmin, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memastikan pemerintah akan lebih responsif dalam melihat perkembangan aktual dan akomodatif terkait pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam hal penyusunan asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.

"Pemerintah akan tetap responsif dalam melihat perkembangan perekonomian aktual dan akomodatif," katanya, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (25/8).

Bambang menuturkan, pantauan secara responsif tersebut dilakukan agar asumsi pertumbuhan ekonomi dapat tetap merefleksikan kondisi yang realistis digabung dengan upaya maksimal dari  pemerintah. "Ada beberapa risiko yang harus diwaspadai antara lain dampak kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat, volatilitas harga komoditas yang menurun, dan tren perlambatan  ekonomi Cina," ujarnya.

Menkeu menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didukung oleh permintaan dalam negeri, antara lain kuatnya konsumsi rumah tangga dan peningkatan investasi yang cukup  signifikan melalui belanja infrastruktur pada sektor pertanian, maritim, dan industri pengolahan. Konsumsi rumah tangga tersebut didukung oleh terjaganya daya beli masyarakat yang sejalan dengan perkiraan terkendalinya laju inflasi.

Salah satu upaya pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat, kata Bambang, telah diwujudkan melalui kebijakan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Sementara, untuk mendukung sektor industri pengolahan terutama sektor industri hilir, pemerintah telah menerbitkan peraturan terbaru tentang tax holiday yang bermanfaat meningkatkan investasi langsung, melalui pemanfaatan teknologi dan perluasan kesempatan kerja.

Tak hanya itu, menurut Bambang, pemerintah akan menata ulang penyaluran alokasi anggaran subsidi sehingga penyalurannya bisa efisien dan tepat sasaran. "Hal ini melalui sistem seleksi  yang ketat dan basis data yang transparan, baik untuk subsidi energi maupun subsidi nonenergi," kata dia.

Penetapan tersebut, jelas Bambang, antara lain dengan melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan subsidi dalam bentuk selisih harga untuk minyak tanah dan gas elpiji tabung tiga kilogram (kg) serta perbaikan mekanisme pemberian subsidi listrik.

"Terutama untuk rumah tangga miskin, pelanggan 450 va dan sebagian 900 va," tambah Bambang. Selain itu, kata dia, dengan subsidi pangan melalui pengaturan kembali jumlah rumah tangga sasaran (RTS) berdasarkan basis data terpadu yang dikeluarkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) membantah kalau pihaknya sengaja menahan rilis angka perkembangan indikator ekonomi dan sosial masyarakat, termasuk angka kemiskinan dan pengangguran. Kepala BPS Suryamin menyatakan, mundurnya rilis indikator kesejahteraan lantaran pihaknya memperbanyak jumlah sampel untuk meningkatkan keterwakilan masyarakat.

"Bukan molor. BPS memperbanyak sampelnya menjadi empat kali lipat dari yang biasanya. Yang biasanya kita sampelnya 75 ribu rumah tangga, sekarang jadi 300 ribu," jelas Suryamin kepada  Republika, Selasa (25/8).

Akibatnya, lanjut Suryamin, periode perhitungan yang biasanya hanya memakan waktu satu bulan menjadi empat bulan. Ia menyebutkan, penambahan sampel hingga empat kali lipat dari  biasanya ini guna mendapatkan gambaran lebih mendetail hingga tingkat kabupaten/kota. Sebelumnya, sampel yang diambil hanya sebatas provinsi hingga nasional.

Suryamin juga menegaskan, BPS tidak sedang dalam upaya apa pun terkait mundurnya rilis indikator kesejahteraan ini. Pernyataan ini ia sampaikan untuk menjawab kabar yang beredar bahwa BPS menahan indikator sosial dan ekonomi masyarakat karena diduga hasilnya tidak memuaskan.

"Tidak ada alasan lain. Apa pun hasilnya, ya itulah hasil dari pengolahan itu. Bahkan, kami memperkirakan hasilnya lebih konsisten terhadap data populasi. Makin mendekati dan besar, maka akan mendekati populasi sebenarnya," tuturnya.

n c03/antara ed: nidia zuraya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement