Rabu 05 Aug 2015 15:00 WIB

BI: Ekonomi RI Hadapi Tantangan Kompleks

Red:

JAKARTA -- Kondisi ekonomi dunia yang saat ini tengah melambat berimbas pada Indonesia. Dampaknya, perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang cukup kompleks, baik dari  sisi eksternal maupun internal.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, tantangan eksternal bersumber dari perekonomian global yang lebih melambat dari perkiraan, harga komoditas yang masih  menurun, serta potensi gejolak di pasar keuangan global masih tinggi. Dari sisi internal, tantangan bersumber dari reformasi fiskal yang belum secepat perkiraan dalam mendorong pertumbuhan  ekonomi, volatilitas keuangan domestik yang cukup tinggi, serta kendala struktural.

Menghadapi kondisi tersebut, menurut Agus, pemerintah dan BI sepakat untuk memperkuat koordinasi kebijakan. "Kita siapkan bauran kebijakan moneter, fiskal, dan reformasi struktural untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan," ujar Agus dalam konferensi pers seusai menghadiri rapat koordinasi di Jakarta, Selasa (4/8).

Dengan adanya bauran kebijakan, kata Agus, harapannya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dapat tetap terjaga. Saat ini, menurutnya, stabilitas sistem keuangan tetap solid karena  didorong ketahanan sistem perbankan dan terjaganya kinerja sistem keuangan.

Pemerintah, ungkapnya, masih optimistis laju inflasi akan sesuai sasaran, yakni 4 persen plus minus 1 persen pada akhir tahun. Sementara, defisit transaksi berjalan (CAD) diperkirakan akan  turun dan berada pada level sehat.

Sedangkan, rupiah yang saat ini tertekan di level Rp 13.500 per dolar AS dinilai Agus dalam fluktuasi yang terkendali. Menurut Agus, BI akan senantiasa memantau perkembangan nilai tukar  rupiah di pasar dan siap melakukan intervensi secara terukur apabila diperlukan untuk menjaga stabilitas kurs rupiah.

   

"BI akan selalu ada di pasar untuk menjaga rupiah dan intervensi selalu siap kami lakukan dari waktu ke waktu dan dapat terlihat dari menurunnya cadangan devisa kita," ujar Agus.

Agus menuturkan, rata-rata depresiasi rupiah sejak akhir tahun 2014 hingga saat ini sekitar 8,5 persen (ytd), sedangkan secara bulanan atau month-to-date (mtd) berada di bawah satu  persen. Menurutnya, rata-rata tersebut relatif lebih baik apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan regional.

   

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, pemerintah mencoba mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga kestabilan kondisi fiskal, sustainable, dan sinkronisasi dengan kebijakan moneter. Menurutnya, kestabilan penting karena kondisi global mengancam ekonomi domestik.

"Meskipun kita menjaga stabilitas, kita tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan mendorong belanja pemerintah," kata Bambang.

Menurut Menteri Bappenas Andrinof Chaniago, Indonesia menghadapi tantangan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. "Penurunan harga komoditas bukan hanya dikeluhkan, tapi ini untuk mempercepat hilirisasi dan industrialisasi, serta momentum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendapat manfaat yang lebih baik dan berkelanjutan," tuturnya.

Meski kinerja ekspor menurun, menurut Menko Kemaritiman Indroyono, masih ada sektor lain yang memiliki potensi besar untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya  adalah sektor pariwisata yang berpotensi menndatangkan 10 juta wisatawan.

Kendati perekonomian nasional tengah lesu, menurut analis Institute Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto, pasar saham Indonesia masih tetap menarik bagi para  investor. "Meski ada penurunan dua hari terakhir, secara keseluruhan berdasarkan historis yang ada pasar saham Indonesia tetap diminati," ujarnya kepada Republika.

Eko menilai, meski terjadi sejumlah penurunan di level indeks harga saham gabungan (IHSG), investasi di Indonesia masih menarik minat para pelaku pasar. Hal ini dipengaruhi cukup tingginya suku bunga di Indonesia.

Saat ini, BI masih menahan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) di 7,5 persen. Suku bunga Indonesia ini termasuk yang paling tinggi di Asia. "Faktor cukup tingginya suku bunga di Indonesia  masih menarik untuk investasi portofolio," ujar Eko menegaskan.

n antara ed: nidia zuraya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement