Jumat 24 Jul 2015 15:00 WIB

Bea Masuk Dongkrak Industri

Red:

JAKARTA — Kebijakan Menteri Keuangan yang menaikkan bea masuk untuk produk konsumsi dinilai dapat menggenjot pertumbuhan industri makanan dan minuman di dalam negeri. Selain itu, kebijakan tersebut juga merupakan langkah yang tepat untuk melakukan harmonisasi tarif.

"Ini bagus untuk harmonisasi tarif karena ada beberapa tarif bahan baku kena bea masuk, tapi produk olahan tidak kena bea masuk," ujar Ketua Umum Gabungan Industri Makanan dan Minuman Adhi Lukman di Jakarta, Kamis (23/7).

Adhi mengatakan, kebijakan ini tidak berlaku bagi negara-negara yang sudah melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Indonesia, seperti Cina, Korea, Jepang, dan negara-negara Asia Tenggara. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi pemicu serta mendorong industri makanan dan minuman agar memiliki daya saing.

Besarnya bea masuk yang dikenakan untuk setiap produk berbeda, yakni antara 10 persen sampai 150 persen. Menurut Adhi, importasi produk makanan dan minuman dari Eropa serta Amerika Serikat masih cukup signifikan. Produk yang diimpor antara lain permen dan snack atau camilan.

"Dengan demikian, otomatis industri di dalam negeri akan lebih maju karena ada proteksi tarif," kata Adhi.

 

Meski ada kenaikan bea masuk, Adhi mengungkapkan pihaknya belum akan melakukan revisi target pada tahun ini. Hal ini karena efektivitas kebijakan tersebut masih perlu dicermati minimal sampai akhir Juli 2015.

Menurut Adhi, realisasi ekspor impor produk makanan dan minuman sampai Mei 2015 semakin membaik. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya defisit neraca perdagangan mencapai Rp 240 juta. Sementara itu, pada tahun sebelumnya mencapai Rp 900 juta.

Dengan adanya kebijakan bea masuk tersebut, ditargetkan defisit transaksi perdagangan sepanjang 2015 bisa berada di bawah Rp 900 juta. Target tersebut bisa tercapai apabila tidak ada gejolak nilai tukar mata uang. Hal ini mengingat sebagian besar bahan baku yang digunakan oleh industri makanan dan minuman masih impor. 

 

Kenaikan bea masuk itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132 Tahun 2015. Total ada lebih dari 60 pos jenis barang konsumsi yang dikenakan tarif bea masuk. Bahan makanan dan minuman produksi luar negeri yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif bea masuk bervariasi, mulai 10 persen hingga 150 persen dari harga dasar barang.

Minuman etil alkohol dengan kadar alkohol kurang dari 80 persen, seperti brandy, wiski, rum, dan lainnya dikenakan kenaikan tarif bea masuk paling tinggi, yakni sebesar 150 persen. Sementara, minuman anggur atau wine dikenakan tarif bea masuk sebesar 90 persen. Selain itu, kopi dan teh impor juga dikenakan bea masuk sebesar 20 persen. Sementara, produk sosis dan daging olahan juga dikenakan bea masuk sebesar 30 persen.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengaku belum mengetahui isi aturan kenaikan bea masuk secara terperinci. Padahal, aturan kenaikan bea masuk barang konsumsi merupakan hasil pembahasan Tim Tarif yang melibatkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.

"Yang jelas, aturan itu (kenaikan bea masuk) tak akan melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia World Trade Organization (WTO)," ujarnya.

Ia menegaskan, segala kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah seharusnya meningkatkan produktivitas industri nasional. Tetapi, kebijakan juga diminta tidak menghambat kegiatan impor.

Menurut Rachmat, pihaknya belum mendapat laporan terperinci dari Kemenkeu. Ia juga tidak memberikan penjelasan terkait keterlibatan Kemendag dalam menyodorkan rekomendasi perubahan tarif bea masuk. "Saya mau lihat dulu aturannya, mungkin masih dalam pembahasan," ujarnya. N ed: nur aini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement